Share

CHAPTER 3: OBSESI PADA JADWAL SATU SAMA LAIN

“Katanya motor kesayangan, kok ditinggal sendirian di kampus?” tanya Cassie sok polos. Diliriknya Dhika dengan pandangan mengejek saat mereka berdua terjebak di lampu merah perempatan, lima ratus meter jauhnya dari kampus Dhika.

Mendengar dengan jelas nada ejekan dalam pertanyaan Cassie barusan, cowok itu tampak sebal setengah mati. “Kalau nggak ikhlas anterin aku ke kampus ya udah. Aku bisa naik taksi online.”

Nope,” tanggap Cassie singkat sembari melajukan mobilnya kembali. Party in The USA, salah satu lagu kesukaan cewek itu diputar di dalam mobil. “Kamu punya mobil, tapi ditinggal entah sudah berapa lama di parkiran apartemen.”

“Aku masih suka bawa minimal 2 minggu sekali ya!” bantah Dhika. Walaupun begitu, dalam hati cowok itu sadar bahwa mobilnya sudah hampir tak pernah ia kendarai. Dua minggu sekali itu pun hanya dibawanya sebentar untuk memanaskan mesin. Tapi memangnya dia mau memberi kepuasan pada Cassie dan menyatakan bahwa pernyataan cewek itu benar? Hell no.

“Dulu katanya teman sejati, eh nggak lama ditinggal selingkuh sama motor gede yang sekarang malah ditinggal di kampus,”lanjut Cassie, masih dengan nada menyebalkan yang sama. Diliriknya Dhika sekilas. Bukannya mau bersikap menyebalkan, Cassie berpendapat bahwa Dhika belum cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas assetnya sendiri. Apabila Cassie tidak mengontrolnya seperti ini, bisa-bisa mobil atau motor Dhika (atau lebih parah lagi, keduanya) bisa hilang entah kemana dan cowok garis miring bocah tak sesuai umur itu hanya akan nyengir tanpa persaaan bersalah.

Cewek itu melihat Dhika memainkan sabuk pengaman di bahu kanannya. “Bukan ditinggal kali, tapi ketinggalan. Lagian mana boleh sama polisi-polisi itu kalau aku ke kantor mereka pake kendaraan pribadi?”

Deg. Rahang Cassie mengeras. Cewek itu meniup poni kirinya yang jatuh menghalangi pandangan dengan kesal. Secara personal, kalau ada yang bisa menghapus ingatannya akan kejadian semalam, ia rela membayar dengan gajinya selama satu bulan.

Cassie mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kejadian semalam sudah lewat dan luka Dhika hanyalah sebuah memar kecil. “Lalu kenapa motormu bisa ada di parkiran kampus, dan bukannya di parkiran kafe?”

“Ck,” Dhika mendecak kesal. Cowok itu mencondongkan badannya ke arah Cassie untuk membenarkan jepitan rambut mutiara cewek itu. Kenapa sih poninya terus turun? “Dosennya keasyikan bahas soal, jadinya aku hampir telat masuk shift. Berhubung parkiran kampus dan kafe ada di sisi yang berlawanan, aku mutusin untuk ke kafe aja dulu jalan kaki. Rencananya bakal ngambil motor di parkiran setelah selesai shift.” Dhika kembali ke tempatnya duduk dan menatap lurus ke jalanan di depan. “Beli jepit baru sana, yang ini udah kendur.”

Thank you, tapi aku masih suka jepit ini.” Cassie menganggukkan kepalanya di reff terakhir lagu Party in The USA, mengikuti alunan lagu kesukaannya tersebut, yang malah membuat Dhika mendesis kesal melihat helai-helai poni itu kembali terancam jatuh.

“Apa gaji CEO PT Bellezza sekarang bahkan nggak cukup untuk beli jepit rambut baru?” tanya Dhika frustrasi. Helaian poni Cassie sudah menutupi mata cewek itu lagi. “Apa aku perlu beli beberapa perusahaan aksesori sekarang? Aku bisa tanda tanganin beberapa dokumen siang ini juga.”

Cassie mengabaikannya. Memang benar meskipun sekarang pemimpin tertinggi PT Bellezza adalah Cassie, cewek itu tetaplah hanya CEO sementara. Perusahaan ini tetap milik Dhika sehingga keputusan-keputusan bisnis penting tetap memerlukan tanda tangan cowok itu meskipun ia nyaris tak pernah mengurus kantor selama empat tahun terakhir. Bukan salahnya kalau ia punya prioritas di tempat lain, batin Cassie.

By the way, gimana magang?”

Dhika tampak berpikir. Sebagai mahasiswa semester tujuh, memang sudah seharusnya ia mencari magang di perusahaan. “Akhir minggu ini atau minggu depan kukirim ke kantor ya Cass. Aku masih belum dapat surat rekomendasi dari TU,” jawab Dhika.

Kali ini, Cassie melirik Dhika pelan. Aneh rasanya jika Dhika, pemilik legal PT Bellezza, sebuah perusahaan FMCG di bidang health and beauty, malah mengajukan magang secara diam-diam di perusahaannya sendiri. Mau tak mau, Cassie kembali merasakan nyeri di dadanya. Seharusnya Dhika yang duduk di kursinya. Seharusnya Dhika yang menikmati kekuasaannya. Seharusnya Dhika yang mendapatkan warisan ayahnya. “Kamu… propose posisi apa?”

“Tentu aja IT specialist,” seru Dhika tanpa ragu. “Aku kuliah jurusan informatika, Cass. Nggak lupa, kan?” tanya Dhika heran. “Aku peringatin ya, jangan sampe ada orang kantor yang tau aku siapa.”

Berbeda dengan Cassie, Dhika memang tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan yang melibatkan Dhika –mostly hanya tanda tangan, itu pun Dhika menyerahkan semua keputusan kepada Cassie, mana yang harus ia tanda tangani dan mana yang tidak—dibawa ke rumah. Orang-orang di kantor, terutama yang baru, tidak akan mengenali Dhika.

Cassie membelok ke arah kanan. Cewek itu masih merasa tidak enak dengan keputusan magang Dhika namun memutuskan untuk mengabaikannya sementara. Kampus Dhika ada di ujung jalan ini. “Kamu yakin nggak mau jadi semacam… I dunno, CEO assistant?”

Dhika tertawa dengan tidak ikhlas“Nggak usah ngayal. Memangnya ada posisi semacam itu?”

“Nggak usah ngeyel.” Cassie langsung membalas Dhika. “Kamu kan bukannya mau jadi staff IT setelah lulus kuliah.”

Aunt Cassie, aku punya laporan magang. Apa yang mau kutulis nanti jika dapat posisi nggak resmi yang sama sekali beda konteksnya dari dunia IT yang kupelajari selama hampir empat tahun kuliah?”

Mendengar panggilan Aunt Cassie itu membuat Cassie lemah. Keponakannya ini benar-benar menyebalkan. “Oke, oke. Tapi kalau waktunya udah tiba, kamu nggak boleh lari. Janji?”

Anything for Aunt Cassie.” Diusapnya pundak cewek itu sebagai tanda terima kasih.

Cassie hanya mendengus. Dihentikannya mobil tepat di depan gerbang kampus. “Here you go. Jangan kemana-mana, aku bakal jemput tepat jam tiga.”

“Kamu ada meeting sama external jam dua. Mana mungkin jam tiga udah selesai? Hush hush, aku bisa pulang sendiri nanti.” Dhika membuka sabuk pengaman yang dikenakannya dengan hati-hati. Ketika meraih ranselnya di bangku belakang, Dhika merasakan telapak tangan dingin di dahinya.

“Berani ngelawan ya sekarang. Masih panas begini kok.” Cassie melotot sedikit. “Lagian dari mana kamu tahu aku ada meeting hari ini?”

“Aku rajin ngecekin kalendermu tiap hari, tau?” aku Dhika.

Cassie menggeleng. “Dasar stalker.”

Cowok di hadapannya menyeringai. Tangannya terangkat untuk membenarkan posisi poni dan jepit rambut Cassie. “Terpaksa. Soalnya aku punya tante yang suka ngepoin jadwalku juga. Tau dari mana aku pulang jam 3?”

Dhika membuka pintu mobil tanpa Cassie sempat menjawab. Dilambaikannya tangan pada mobil Cassie, paham benar cewek itu pasti memelototinya lagi dari dalam mobil. Dhika paham bahwa Cassie hanya mengkhawatirkannya. Cewek itu selalu seperti itu sejak mereka TK dan ia dikenalkan sebagai ‘Kakak Dhika’ yang lebih tua tujuh bulan. Bukannya Dhika tidak suka, hell, siapa yang bisa menolak perhatian semacam itu saat kau tidak punya sosok ibu atau wanita lebih tua yang bisa mengurus segala keperluanmu? Yang jelas bukan Dhika. Sekasar apa pun dia pada Cassie, cowok itu akan selalu menyayanginya—walaupun ia hanya mengingat Cassie selama empat tahun ke belakang dan mendengar kisah seumur hidupnya dari orang lain. Cassie needs him, as much as Dhika needs her.

Belum ada lima menit berjalan, Dhika merasakan lengan seseorang menggeplak bahunya dengan keras dan khas cowok.

“Hei, Putra.” Di sampingnya kini berjalan seorang cowok yang tak asing dengan tampang super menyebalkan.

Hey yourself. Tumben setengah jam sebelum kelas udah nyampe. Biasanya nggak telat juga sudah untung.”

Putra, cowok tinggi besar dengan rambut cepak yang barusan menghampirinya adalah salah satu teman terdekat Dhika di kampus. Keluarganya cukup kaya, terbukti dari outfit-nya yang tidak pernah kurang dari lima juta rupiah dari atas ke bawah setiap datang ke kampus (dan mungkin, bahkan di rumah juga, kabarnya ada beberapa merk piyama mahal yang sedang ngetrend belakangan ini).

“Nginep di rumah Cassie, tadi dianter ke sini,” ucap Dhika malas. Disingkirkannya tangan Putra yang berat. Melirik jam tangan yang dikenakannya, Dhika baru menyadari betapa awalnya ia datang ke kampus. Dasar Cassie dan kebiasaannya untuk selalu datang lebih awal.

Mendengar nama Cassie, mata Putra langsung berbinar“Kakak lo yang cantik itu? Mana dia? Masih di parkiran?” Dhika menarik bagian belakang topi Putra dengan kesal, menyebabkan cowok itu hampir terjengkang. “Gila lo!”

“Lo kali. Ngapain Cassie nungguin gue diparkiran padahal guenya udah pergi?”

Putra nyengir lebar menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi seperti pagar (dia mengaku tidak pernah memakai behel, tapi Dhika curiga Putra tidak mengatakan yang sebenarnya). “Nungguin gue, kan gue belum dateng.” Saat Dhika akan menarik topinya kali ini, Putra menghindar dengan mudah. “Bantuin gue jadi kakak ipar lo dong. Sumpah, gue bakal jadi kakak ipar terbaik sedunia.”

“Ogah. Lagian Cassie kan tante gue.” Dhika berjalan mendahului Putra. Bukan kali pertama Putra meracau seperti ini tentang Cassie.

“Kalau gitu, lo mau gue jadi om ipar lo? Nggak masalah! Hei keponakan ipar, mau om traktir minum kopi?”

Dhika memberi Putra tatapan tak terkesan, lalu berjalan menjauh. Mungkin dia akan jajan di kantin dulu sebelum masuk kelas. And nope, cowok itu tidak akan jajan kopi, apalagi yang ditraktir Putra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status