Share

Bab 2.

Indana melihat deretan guci mewah di sebuah kastil yang megah. Guci-guci besar berwarna keemasan setinggi pinggang itu tampak mengkilap. Sangat memesona.

Indana takjub, lalu membelai salah satunya menggunakan ujung jemari dengan penuh hati-hati. Namun, tiba-tiba secara tak sengaja, tangannya malah menyenggol benda itu hingga oleng dan pecah. Dapat dia saksikan serpihan-serpihannya yang berserakan di lantai. Perempuan itu kalut. Lantas, memunguti satu per satu serpihan itu dan mencoba menyatukannya kembali. Dahinya basah oleh peluh. Sementara, hari mulai gelap, tapi tak jua Indana berhasil menyatukan kembali serpihan itu kembali ke bentuk semula. Indana meraung dan menangis sejadi-jadinya dengan masih menggenggam serpihan-serpihan guci itu di telapak tangan hingga terdengar gema suaranya sendiri di dalam kastil.

Suara itu beradu dengan tayangan cepat kilasan peristiwa saat dia pertama kali bertemu dengan Furqon. Lelaki yang mencintainya. Indana teramat sangsi, apakah Furqon bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah bunga dengan mahkota yang telah terenggut? Dan pada akhirnya, lelaki itu memang mengambil keputusan untuk melepaskannya.

Indana tersadar saat dia mendengar suara dan tepukan keras mendarat di bahu kirinya.

"Indana!"

Refleks perempuan itu membuka mata. Dadanya berdegup kencang seperti sehabis berlari jarak jauh. Dia mendapati Mahiya berdiri di depannya dengan ekspresi bingung.

"Elo kenapa?" tanya sang sahabat sembari melambaikan telapak tangan tepat di depan mata. Indana langsung menegakkan punggung. 

"Emmm, Aku ketiduran tadi," jawabnya dengan napas tersengal. 

"Mimpi apa, sih, lo sampe ngos-ngosan gitu? Aha, gue tahu. Pasti lo lagi mimpi dikejar-kejar Bonge Citayam, ya, kan? Lo kan, ngefans berat ama dia." Mahiya menjentikkan jari dengan senyum menyeringai, khas jika sedang bercanda.

"Ck! Apaan, sih? Ngapain juga harus Bonge? Lee Min Ho, kek." Indana mencebik kesal. Dia merapikan kembali hijab, lalu menata map-map yang berserakan di meja.

"Lagian, masih pagi udah bobo cantik aja. Habis ngapain kemaren?" Mahiya duduk di kursi putar yang berada di depannya. Indana tak menggubris dan kembali melanjutkan pekerjaan. Indana masih sangat syok dengan mimpi tadi.

Sahabatnya itu mendekatkan wajah ke arah Indana. "Hey. Indana Maheswari. Elo itu pewaris tunggal perusahaan Maheswarya Group. Kerjaan-kerjaan ini bisa dihandel sama gue atau asisten elo."

"Aku hobi kerja, Sayang," jawab perempuan itu lembut sambil terus menekan tuts keyboard laptop.

"Hobi, kok, kerja. Hobi cewek itu hang out. Shooping. Nonton. Nyalon. Gitu, Tuan Putri."

Indana menghela napas dan menatap Mahiya dalam-dalam. Dia memang sahabat yang sangat perhatian. Indana tak mungkin berkata jujur jika menyibukkan diri dengan perkerjaan adalah upayanya untuk melupakan rasa sakit akibat gagal bertunangan. Meski setahun telah berlalu namun sakit dan trauma akibat pertunangan yang batal membuatnya tak ingin segera mencari pengganti Furqon dan bekerja merupakan salah satu alasan untuk tetap menjaga kerawasan hati juga pikiran. 

"Oke, deh. Kayaknya elo bener-bener gila kerja." Mahiya beranjak dari kursi, lalu berjalan menuju ke arah luar ruangan. Saat berada di ambang pintu, dia membalikkan badan. "Entar kalo ada apa-apa atau butuh temen curhat, temen hang out, or apa aja, calling gue."

Indana mengangguk pelan sambil tersenyum dan membiarkan sahabatnya berlalu. 

***

Musik instrumental Nocturne by F. Chopin mengalun lembut. Nada-nadanya yang terdengar menyayat hati semakin mengiris luka yang terlanjur menganga. Indana menyandarkan punggung di kursi kemudi. Tak terasa, air matanya kembali jatuh, mengingat diri yang sudah tak suci lagi sehingga berimbas pada kehidupan asmaranya yang kandas. Dalam hati tebersit tanya, apakah dia memang ditakdirkan untuk tidak berjodoh. Karena pasti semua lelaki lajang menginginkan calon istrinya dalam kondisi belum ternoda.

Dalam kekalutan, dia jadi tidak stabil mengemudikan mobil. Indana dikejutkan oleh sosok bocah lelaki yang tiba-tiba akan menyeberang jalan. Perempuan itu lantas banting setir ke kiri, atau jika tidak dia akan menabrak bocah itu.

"Aaargh!"

Kepalanya terasa berdenyut dan terbentur benda yang keras. Setelah itu, pandangannya mulai mengabur, lalu gelap.

***

Perlahan, Indana membuka kelopak mata yang terasa berat. Dilihatnya langit-langit ruangan bercat putih dengan lampu downlight. Suara-suara riuh dan teriakan terdengar mengusik telinga. Indana menolehkan wajah. Di sana sudah berdiri Mama Cahaya beserta Papa Surya dengan wajah cemas.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sayang. Terima kasih, Ya Allah. " Mama yang wajahnya tengah sembab memeluknya erat. Indana benar-benar bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.

"Syukurlah," sahut Papa Surya.

"A-ku, kenapa, Ma? Aw!" Indana memekik sambil memegangi kepala. Dia merasakan pusing yang luar biasa saat berusaha mengangkat kepala. Dilihat tangannya yang terhubung selang infus. Terbersit tanya apa dia sedang sakit? Tapi, dia benar-benar lupa dengan kejadian sebelumnya.

"Kamu, kecelakaan, Inda. Nabrak pohon. Mungkin kamu kelelahan. Kalau lagi capek sepulang dari kantor, kamu, kan, bisa telepon supir untuk menjemput. Mama sangat khawatir."

Indana mengangguk pelan sambil berusaha mengingat rangkaian peristiwa yang dijelaskan mama. Dia hanya berhasil mengingat seorang bocah lelaki yang akan menyeberang pohon. Itu saja.

Tak berapa lama, tirai putih yang membatasi antarbilik disibak oleh seseorang. 

"Sudah sadar? Syukurlah." Lelaki berjas putih itu menyapa singkat dengan melengkungkan senyum. Dia memakai stetoskop dan memeriksa area dada. Diceknya posisi selang infus, lalu mengangguk.

"Bagaimana, Dokter Utsman? Apa Indana baik-baik saja?" tanya Papa Surya.

"Iya. Kondisi Inda baik. Hanya saja sepertinya masih terjadi syok di area kepala karena benturan ringan. Tapi insya Allah akan lekas membaik."

Kedua orang tua Indana mengembuskan napas lega. Indana sedikit bingung, mengapa mereka mengenali sosok dokter tampan di depannya ini? Indana mengurungkan tanya karena masih dilanda rasa sakit yang luar biasa.

"Sayang, kenalkan, ini Dokter Utsman Al-Habsyi," ucap Mama Cahaya memperkenalkan.

Indana mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. "Indana."

"Mama kenal?" tanyanya lirih.

"Iya. Dia putra dari sahabat Mama dan Papa," jawab mama dengan menatap Indana dan dr. Utsman secara bergantian.

Lelaki berkulit putih dan hidung bangir itu menatap ke arah Indana. Dr. Utsman tersenyum manis sehingga tampak semburat kemerahan di kedua pipi. Indana menundukkan wajah saat dirasakan pipinya mulai memanas.

Meskipun ini ruang IGD, dokter itu tampak tak keberatan melayani pembicaraan dengan kedua orang tua Indana. Pemuda itu terlihat sangat sopan dan ramah. Mereka asyik bercerita satu sama lain. Dibumbui tawa renyah membuat rasa syok akibat kecelakaan tadi mulai berkurang.

Dapat Indana lihat cara dokter itu berbicara, lemah lembut, sepertinya dia lelaki yang baik. Wajahnya yang rupawan sejenak berhasil menghipnotis. Ada harapan yang hinggap di hati. Namun, perempuan itu tiba-tiba teringat akan kegagalan yang dia alami. Indana berpikir, sebaik-baik lelaki, mereka pasti akan menolak menikah dengannya jika mengetahui keadaan yang sesungguhnya.

Baru saja Indana berharap mendapat perhatian lebih dari dr. Utsman, dia dipaksa dihentak oleh kenyataan. Seandainya lelaki itu masih sendiri, tidak mungkin rasanya jika dr. Utsman mau membina bahtera rumah tangga dengannya.

Sambil berbicara dengan kedua orang tua Indana, lelaki bertubuh proporsional itu sesekali melihat Indana dengan senyum. Sampai pada suatu pertanyaan yang mengagetkannya.

"Apakah Indana masih sendiri?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status