"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Inda."
Sebaris kalimat via chat WA itu perlahan mengusik. Mata gadis itu terasa panas oleh gumpalan air mata yang siap tumpah. Awalnya, sekuat tenaga dia membendung. Namun, rasa sebak di dada akhirnya meluluhlantakkan pertahanan. Akhirnya, satu per satu bulir bening itu jatuh membasahi kedua pipi. Dia bertanya mengapa selalu berakhir begini? Dan … sesakit ini?Sore yang hangat di musim kemarau. Indana memandang ke arah jendela kamar yang terbuka, angin bertiup pelan membuat dedaunan pohon mawar yang tumbuh di taman menari seirama. Indana berjalan mendekat ke sisi jendela. Dia metengadahkan wajah. Di langit, awan putih berarak indah membentuk pola abstrak yang memantik imajinasi bagi sesiapa yang memandang. Sementara itu, di ufuk barat, sinar jingga senja perlahan memerangkap langit turut menjadi panorama indah di sore hari. Namun, pemandangan yang sangat memikat ini tak lantas membuatnya terkesan. Indana tengah diserang rasa gundah. Sebab, baru saja Furqon, lelaki yang akan mengikat janji dengannya, ia mengabarkan akan datang untuk membicarakan sesuatu tentang hubungan mereka. Sialnya, itu bukan suatu kabar baik.Ponselnya berdenting. Indana segera mengambil benda pipih itu di meja rias. Ada pesan masuk dari Furqon. Dia mengabarkan bahwa dalam waktu beberapa menit akan tiba di sana. Indana segera menyambar kerudung, memoles sedikit gincu warna nude, lalu bergegas menuju ruang tamu.Di ruang tamu, ada Papa Surya dan Mama Cahaya yang sudah menunggu dan tengah duduk di sofa. Setelah sebelumnya Indana mengatakan kepada mereka bahwa Furqon akan bertandang.Indana menghirup udara. Perlahan, menapaki lantai marmer dengan sederet kecamuk di dalam dada. Sesaat, ruang tamu berukuran 10×10 meter persegi dengan cat dinding warna putih bersih ini terasa sempit."Duduk, Inda." Suara Mama Cahaya membuyarkan lamunan. Indana tergagap, lalu menoleh ke arah sumber suara. Wanita paruh baya yang mengenakan hijab berwarna broken white itu tersenyum sambil menepuk-nepuk sofa, mengisyaratkan agar sang putri duduk di dekatnya.Baik mama maupun papanya, belum ada yang tahu perihal maksud kedatangan Furqon. Wajah kedua orang tuanya berseri. Mungkin, mereka mengira akan ada kabar baik tentang kelanjutan hubungan anak semata wayangnya. Indana tidak sanggup mengatakan maksud kedatangan Furqon yang sebenarnya. Biarlah mama dan papa mendengar sendiri penjelasan dari lelaki itu.Tak lama berselang, suara pintu pagar yang dibuka disusul deru mesin mobil memusatkan perhatian mereka. Mama Cahaya segera memerintahkan ART untuk menyajikan jamuan. Sementara Indana dan Papa Surya menyongsong kedatangan orang yang mereka tunggu di ambang pintu utama.Sosok lelaki berbadan tegap keluar dari mobil Pajero Sport hitam. Dia melepas kacamata hitam dan tersenyum saat melihat sepasang ayah dan anak. Indana meremas dada. Ada desir halus yang merambat di dalam hati. Indana mengakui, Furqon yang saat itu memakai kemeja yang digulung lengannya memang sangat tampan. "Assalamu'alaikum, Inda, Om." Furqon menyalami Papa Surya dengan senyum lebar. Begitu juga papa yang tampak bersuka cita menyambut kedatangan Furqon."Wa'alaikumsalam. Mari, masuk, Nak Furqon." Indana dan Furqon membiarkan orang tua Indana berjalan terlebih dahulu dan keduanya mengekori langkahnya dari belakang.Sekilas, pandangan keduanya bertemu. Tanpa senyuman. Kedua manik hitam lelaki itu menatap tajam dengan isyarat yang tak dia mengerti. Saat pertama kali Furqon datang dan menyatakan kepada kedua orang tua ingin membina hubungan yang serius, Mama Cahaya dan Papa Surya sangat setuju. Itu tak lain karena mereka sudah lama menginginkan Indana menikah dan bisa segera menimang cucu. Ditambah lagi, secara kesiapan finansial, Furqon memenuhi standar. Lelaki ramah itu merupakan seorang pebisnis muda yang sukses. Ragam kue mewah dan mahal tersaji di meja. Mama Cahaya yang menyiapkan semua. "Buat calon mantu." Begitu kata Mama Cahaya dengan wajah semringah dan antusias saat Indana tanya mengapa pesan kue sebanyak ini."Kami senang sekali dengan kedatangan Nak Furqon. Semoga setelah ini kami bisa segera melihat Indana duduk di pelaminan bersama lelaki yang dicintainya. Bukan begitu, Pa?" Perempuan paruh baya itu memulai obrolan diiringi anggukan kepala sang suami. Indana tersenyum getir. Sementara Furqon, terlihat ada senyuman paksa yang terukir di wajah. Kepala Indana mendadak terasa pening dan sangat berat saat membayangkan bagaimana jika kedua orang tua yang sangat dia sayangi mendengar apa yang akan disampaikan Furqon."Bapak dan Ibu tidak ikut?" tanya Papa Surya."Tidak, Om. Emmm, beliau ada kesibukan. Sehingga saya sendirian yang datang.""Orang bisnis memang selalu sibuk," kelakarnya dengan suara tawa bariton yang khas."Apa yang mau Nak Furqon sampaikan? Apa mengenai tanggal pertunangan dan pernikahan?" tanya Mama Cahaya bersemangat. Melihat wajah bahagia itu, dada Indana kembali terasa nyeri. Furqon membetulkan duduk sementara wajahnya tampak tegang. "Sebelumnya, saya meminta maaf. Om, Tante. Kedatangan saya kali ini adalah untuk membatalkan pertunangan saya dengan Indana."Bak mendengar petir di siang bolong, kedua orang tua Indana lantas terperanjat. Keduanya saling pandang dengan ekspresi kaget dan kebingungan. Indana tertunduk lesu. Akhirnya, bom waktu itu meledak juga. Tak hanya dirinya yang dipaksa menelan pil pahit ini, akan tetapi, Mama Cahaya dan Papa Surya juga turut merasakan."Ta-pi. Kenapa? Bukankah Nak Furqon sendiri yang menyatakan ingin melamar Indana? Apa yang salah?" tanya wanita paruh baya itu masih dengan mimik wajah tak percaya. Indana iba melihatnya.Furqon menelan ludah. Jakunnya naik-turun disertai deru napas yang memburu."Saya telah dijodohkan dengan wanita lain. Dan saya tidak dapat menolak perjodohan itu karena permintaan orang tua." Indana melihat mimik wajah Furqon yang datar. Kentara sekali pernyataan itu bukan berasal dari hatinya.Indana tahu, tak mudah bagi Furqon untuk mengatakan hal tersebut. Ia terpaksa mengarang alasan yang terkesan masuk akal di depan orang tua Indana. Dan Indana sudah tahu akan hal ini."Apa sebelumnya Nak Furqon tidak pernah cerita kepada orang tuanya tentang niat untuk melamar Inda?" Kali ini sang kepala keluarga yang mencoba bersuara setelah sebelumnya dilanda rasa kaget yang luar biasa.Lelaki beralis tebal itu terdiam. Ia sekilas melirik Indana . Mungkin, untuk meminta petunjuk, hal apa lagi yang harus disampaikan."Kita terima saja keputusan Furqon, Ma, Pa. Berat bagi seorang anak lelaki untuk tidak mematuhi keinginan orang tuanya. Apalagi jika itu keinginan dari seorang ibu. Bukankah, selamanya lelaki tetap milik ibunya?" Indana mencoba mengurai ketegangan dan berusaha meyakinkan kedua orang tua. Agar mereka tak mengusut alasan-alasan lain terhadap Furqon.Setelah jeda beberapa saat, akhirnya mama dan papa legowo menerima keputusan Furqon. Mereka lantas memeluk Indana erat setelah Furqon pamit. Di tengah derai air mata yang menganak sungai, sekelebat ingatan tentang pertemuannya dan lelaki itu hadir dalam benak. Keduanya pertama kali bertemu secara tidak sengaja ketika mobil perempuan itu mogok. Rupanya, Furqon tertarik dengannya. Indana pun begitu. Keduanya sepakat untuk saling bertukar nomor WA.Waktu berlalu. Perkenalan singkat itu ternyata membuahkan keyakinan Furqon untuk meminang. Indana menyambut sukacita maksud baiknya. Hingga pada akhirnya, Indana menjelaskan sesuatu yang membuat lelaki itu urung untuk melanjutkan hubungan.Indana melihat deretan guci mewah di sebuah kastil yang megah. Guci-guci besar berwarna keemasan setinggi pinggang itu tampak mengkilap. Sangat memesona.Indana takjub, lalu membelai salah satunya menggunakan ujung jemari dengan penuh hati-hati. Namun, tiba-tiba secara tak sengaja, tangannya malah menyenggol benda itu hingga oleng dan pecah. Dapat dia saksikan serpihan-serpihannya yang berserakan di lantai. Perempuan itu kalut. Lantas, memunguti satu per satu serpihan itu dan mencoba menyatukannya kembali. Dahinya basah oleh peluh. Sementara, hari mulai gelap, tapi tak jua Indana berhasil menyatukan kembali serpihan itu kembali ke bentuk semula. Indana meraung dan menangis sejadi-jadinya dengan masih menggenggam serpihan-serpihan guci itu di telapak tangan hingga terdengar gema suaranya sendiri di dalam kastil.Suara itu beradu dengan tayangan cepat kilasan peristiwa saat dia pertama kali bertemu dengan Furqon. Lelaki yang mencintainya. Indana teramat sangsi, apakah Furqon bisa meneri
Indana tersedak mendengar pertanyaan dokter muda itu. Apa dia tidak salah dengar?"Sebaiknya Nak Dokter tanyakan sendiri dengan orangnya." Mama tersenyum menggoda, memberi isyarat agar Dokter Utsman bertanya kepada sang putri.Loh, kok Aku? batinya bertanya.Indana tergagap saat dr. Utsman menoleh dan kedapatan dirinya sedang mencuri pandang. Indana refleks berpura-pura mengecek selang infus. Pemuda yang berprofresi dokter itu tersenyum melihat aksi konyolnya."Bagaimana, Inda?" Suara lembutnya sungguh sangat mengusik naluri.Indana menegang. Oh, Tuhan. Memangnya kamu mau apa jadi tanya-tanya begitu? Namun, itu hanya berani dia ungkapkan dalam hati saja."Eeemmm, saya … masih sendiri, Dok. Belum ada yang mau," jawabnya cengengesan."Kalau ada cowok yang mau, kamu mau, nggak?""Gimana?" Indana mengerutkan kening meminta penjelasan sekali lagi. Biasa, wanita memang butuh penjelasan dan pengakuan berkali-kali.Dokter Utsman tersenyum lebar. "Maksudnya, kalau ada yang suka sama kamu, dan
Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda."Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang. Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagal
"Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu."Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana. Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendir
Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut."Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget."Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?""Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?""Besok malam.""Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asis