Share

Tertawan Masa Lalu
Tertawan Masa Lalu
Penulis: Arieanies Yanies

Bab 1.

"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Inda."

Sebaris kalimat via chat WA itu perlahan mengusik. Mata gadis itu terasa panas oleh gumpalan air mata yang siap tumpah. Awalnya, sekuat tenaga dia membendung. Namun, rasa sebak di dada akhirnya meluluhlantakkan pertahanan. Akhirnya, satu per satu bulir bening itu jatuh membasahi kedua pipi. Dia bertanya mengapa selalu berakhir begini? Dan … sesakit ini?

Sore yang hangat di musim kemarau. Indana memandang ke arah jendela kamar yang terbuka, angin bertiup pelan membuat dedaunan pohon mawar yang tumbuh di taman menari seirama. Indana berjalan mendekat ke sisi jendela. Dia metengadahkan wajah. Di langit, awan putih berarak indah membentuk pola abstrak yang memantik imajinasi bagi sesiapa yang memandang. 

Sementara itu, di ufuk barat, sinar jingga senja perlahan memerangkap langit turut menjadi panorama indah di sore hari. Namun, pemandangan yang sangat memikat ini tak lantas membuatnya terkesan. Indana tengah diserang rasa gundah. Sebab, baru saja Furqon, lelaki yang akan mengikat janji dengannya, ia mengabarkan akan datang untuk membicarakan sesuatu tentang hubungan mereka. Sialnya, itu bukan suatu kabar baik.

Ponselnya berdenting. Indana segera mengambil benda pipih itu di meja rias. Ada pesan masuk dari Furqon. Dia mengabarkan bahwa dalam waktu beberapa menit akan tiba di sana. Indana segera menyambar kerudung, memoles sedikit gincu warna nude, lalu bergegas menuju ruang tamu.

Di ruang tamu, ada Papa Surya dan Mama Cahaya yang sudah menunggu dan tengah duduk di sofa. Setelah sebelumnya Indana mengatakan kepada mereka bahwa Furqon akan bertandang.

Indana menghirup udara. Perlahan, menapaki lantai marmer dengan sederet kecamuk di dalam dada. Sesaat, ruang tamu berukuran 10×10 meter persegi dengan cat dinding warna putih bersih ini terasa sempit.

"Duduk, Inda." Suara Mama Cahaya membuyarkan lamunan. Indana tergagap, lalu menoleh ke arah sumber suara. Wanita paruh baya yang mengenakan hijab berwarna broken white itu tersenyum sambil menepuk-nepuk sofa, mengisyaratkan agar sang putri duduk di dekatnya.

Baik mama maupun papanya, belum ada yang tahu perihal maksud kedatangan Furqon. Wajah kedua orang tuanya berseri. Mungkin, mereka mengira akan ada kabar baik tentang kelanjutan hubungan anak semata wayangnya. Indana tidak sanggup mengatakan maksud kedatangan Furqon yang sebenarnya. Biarlah mama dan papa mendengar sendiri penjelasan dari lelaki itu.

Tak lama berselang, suara pintu pagar yang dibuka disusul deru mesin mobil memusatkan perhatian mereka. Mama Cahaya segera memerintahkan ART untuk menyajikan jamuan. Sementara Indana dan Papa Surya menyongsong kedatangan orang yang mereka tunggu di ambang pintu utama.

Sosok lelaki berbadan tegap keluar dari mobil Pajero Sport hitam. Dia melepas kacamata hitam dan tersenyum saat melihat sepasang ayah dan anak. Indana meremas dada. Ada desir halus yang merambat di dalam hati. Indana mengakui, Furqon yang saat itu memakai kemeja yang digulung lengannya memang sangat tampan. 

"Assalamu'alaikum, Inda, Om." Furqon menyalami Papa Surya dengan senyum lebar. Begitu juga papa yang tampak bersuka cita menyambut kedatangan Furqon.

"Wa'alaikumsalam. Mari, masuk, Nak Furqon." Indana dan Furqon membiarkan orang tua Indana berjalan terlebih dahulu dan keduanya mengekori langkahnya dari belakang.

Sekilas, pandangan keduanya bertemu. Tanpa senyuman. Kedua manik hitam lelaki itu menatap tajam dengan isyarat yang tak dia mengerti. 

Saat pertama kali Furqon datang dan menyatakan kepada kedua orang tua ingin membina hubungan yang serius, Mama Cahaya dan Papa Surya sangat setuju. Itu tak lain karena mereka sudah lama menginginkan Indana menikah dan bisa segera menimang cucu. Ditambah lagi, secara kesiapan finansial, Furqon memenuhi standar. Lelaki ramah itu merupakan seorang pebisnis muda yang sukses. 

Ragam kue mewah dan mahal tersaji di meja. Mama Cahaya yang menyiapkan semua. 

"Buat calon mantu." Begitu kata Mama Cahaya dengan wajah semringah dan antusias saat Indana tanya mengapa pesan kue sebanyak ini.

"Kami senang sekali dengan kedatangan Nak Furqon. Semoga setelah ini kami bisa segera melihat Indana duduk di pelaminan bersama lelaki yang dicintainya. Bukan begitu, Pa?" Perempuan paruh baya itu memulai obrolan diiringi anggukan kepala sang suami. 

Indana tersenyum getir. Sementara Furqon, terlihat ada senyuman paksa yang terukir di wajah. Kepala Indana mendadak terasa pening dan sangat berat saat membayangkan bagaimana jika kedua orang tua yang sangat dia sayangi mendengar apa yang akan disampaikan Furqon.

"Bapak dan Ibu tidak ikut?" tanya Papa Surya.

"Tidak, Om. Emmm, beliau ada kesibukan. Sehingga saya sendirian yang datang."

"Orang bisnis memang selalu sibuk," kelakarnya dengan suara tawa bariton yang khas.

"Apa yang mau Nak Furqon sampaikan? Apa mengenai tanggal pertunangan dan pernikahan?" tanya Mama Cahaya bersemangat. Melihat wajah bahagia itu, dada Indana kembali terasa nyeri. 

Furqon membetulkan duduk sementara wajahnya tampak tegang. "Sebelumnya, saya meminta maaf. Om, Tante. Kedatangan saya kali ini adalah untuk membatalkan pertunangan saya dengan Indana."

Bak mendengar petir di siang bolong, kedua orang tua Indana lantas terperanjat. Keduanya saling pandang dengan ekspresi kaget dan kebingungan. 

Indana tertunduk lesu. Akhirnya, bom waktu itu meledak juga. Tak hanya dirinya yang dipaksa menelan pil pahit ini, akan tetapi, Mama Cahaya dan Papa Surya juga turut merasakan.

"Ta-pi. Kenapa? Bukankah Nak Furqon sendiri yang menyatakan ingin melamar Indana? Apa yang salah?" tanya wanita paruh baya itu masih dengan mimik wajah tak percaya. Indana iba melihatnya.

Furqon menelan ludah. Jakunnya naik-turun disertai deru napas yang memburu.

"Saya telah dijodohkan dengan wanita lain. Dan saya tidak dapat menolak perjodohan itu karena permintaan orang tua." Indana melihat mimik wajah Furqon yang datar. Kentara sekali pernyataan itu bukan berasal dari hatinya.

Indana tahu, tak mudah bagi Furqon untuk mengatakan hal tersebut. Ia terpaksa mengarang alasan yang terkesan masuk akal di depan orang tua Indana. Dan Indana sudah tahu akan hal ini.

"Apa sebelumnya Nak Furqon tidak pernah cerita kepada orang tuanya tentang niat untuk melamar Inda?" Kali ini sang kepala keluarga yang mencoba bersuara setelah sebelumnya dilanda rasa kaget yang luar biasa.

Lelaki beralis tebal itu terdiam. Ia sekilas melirik Indana . Mungkin, untuk meminta petunjuk, hal apa lagi yang harus disampaikan.

"Kita terima saja keputusan Furqon, Ma, Pa. Berat bagi seorang anak lelaki untuk tidak mematuhi keinginan orang tuanya. Apalagi jika itu keinginan dari seorang ibu. Bukankah, selamanya lelaki tetap milik ibunya?" Indana mencoba mengurai ketegangan dan berusaha meyakinkan kedua orang tua. Agar mereka tak mengusut alasan-alasan lain terhadap Furqon.

Setelah jeda beberapa saat, akhirnya mama dan papa legowo menerima keputusan Furqon. Mereka lantas memeluk Indana erat setelah Furqon pamit. 

Di tengah derai air mata yang menganak sungai, sekelebat ingatan tentang pertemuannya dan lelaki itu hadir dalam benak. Keduanya pertama kali bertemu secara tidak sengaja ketika mobil perempuan itu mogok. Rupanya, Furqon tertarik dengannya. Indana pun begitu. Keduanya sepakat untuk saling bertukar nomor WA.

Waktu berlalu. Perkenalan singkat itu ternyata membuahkan keyakinan Furqon untuk meminang. Indana menyambut sukacita maksud baiknya. Hingga pada akhirnya, Indana menjelaskan sesuatu yang membuat lelaki itu urung untuk melanjutkan hubungan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status