Share

Bab 4.

Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda.

"Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."

Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.

Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang.

Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagalan membina hubungan dengan Furqon, Indana menjadi lebih tertutup dan tidak yakin dengan keadaan dirinya sendiri. Indana selalu merasa bahwa dia adalah wanita yang tak pantas untuk dinikahi oleh siapa pun.

Apalagi, sekarang yang berniat meminang adalah lelaki yang boleh dibilang memiliki kasta tinggi. Dia lebih pantas meminang wanita terhormat yang lebih segalanya dibanding dengan perempuan yang tak sempurna sepertinya.

"Apa yang kamu risaukan, Inda?"

Pemuda itu menatapnya tajam. Namun, Indana tidak sedikitpun merasa terintimidasi karena matanya yang teduh. Indana membenamkan wajah pada setangkup tangan. Berusaha menyembunyikan kesedihan dan air mata yang siap tumpah.

Indana mengusap wajah kasar. "Saya merasa tidak pantas untuk dokter."

"Kenapa?"

"Karena masa lalu saya. Dokter berhak menikahi gadis lain yang lebih baik dari saya."

"Indana, andai kamu tahu, betapa beratnya seorang lelaki jika wanitanya berkata begitu. Kamu pikir itu mudah?"

"Maksudnya?"

"Kamu pikir, jika kamu berkisah tentang semua keburukanmu dan berharap lelaki yang mencintaimu itu memilih wanita lain, apa itu hal yang mudah baginya?"

"Ya. Saya pikir itu hal yang sangat mudah. Tinggal cari saja wanita lain yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya. Beres. Toh, ada banyak wanita di dunia ini."

Lelaki berkulit putih itu mengangkat satu bibirnya seraya menggeleng. Dokter Utsman menatap gerombolan ikan koi yang berada di bawah saung. Sesaat, rahang pemuda itu mengeras diikuti tatapan tajam lurus ke depan.

"Itu menurutmu, Inda. Sebagian lelaki, khususnya Aku, tidak seperti itu."

Indana terdiam, lalu kembali menundukkan wajah. Dia merasa bersalah karena telah terlalu dini menghakimi dengan pernyataan yang berdasarkan opininya sendiri.

"Butuh waktu bagiku untuk tumbuh rasa cinta. Dan kamu tahu? Saat benih-benih cinta itu tersemai, aku selamanya akan menjaga dan merawatnya. Tak peduli jika yang tumbuh itu tanaman berdaun cacat atau tanaman cebol yang sungguh tak menarik dipandang. Namun, dengan kesetiaan dan keikhlasan, aku akan menjaganya. Karena cinta. Ya, cinta memang sekonyol itu." Pemuda itu menjeda kalimatnya.

"Apalagi yang kudapatkan adalah ternyata mawar merah yang ranum. Tentu aku tidak akan melepaskan begitu saja. Mawar merah itu kamu, Inda. Aku tak mungkin berpaling hanya karena satu ketidaksempurnaan yang ada pada dirimu. Sementara, aku pun manusia biasa yang penuh kekurangan. Yang bisa jadi lebih tidak sempurna dibanding dirimu."

Perlahan, air mata Indana jatuh. Dirinya sungguh terharu dengan kesungguhan dr. Utsman. Namun, entah mengapa, Indana terus saja dihantui oleh masa lalu. Sesuatu yang terus membenamkannya pada jurang kesedihan. Sehingga binar kebahagiaan tak tampak olehnya sedikitpun.

Masih dengan perasaan sesak dan isak tangis, Indana mencoba meyakinkan sekali lagi. Apakah pemuda itu benar-benar mencintainya.

Indana beranjak dari saung tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan dr. Utsman yang masih duduk termangu.

Indana menuju taman untuk mengambil sekuntum mawar merah yang tengah merekah. Dihirup aromanya dalam-dalam. Lalu, dia kembali menemui lelaki itu dengan membawa mawar merah di tangan.

Indana duduk berhadapan dengan pemuda itu. Dia memberi isyarat untuk melihat bunga mawar yang berada di telapak tangannya yang terbuka. Wajah dr. Utsman menyiratkan kebingungan. Tapi, tak mengapa. Setelah ini pemuda itu akan menemukan jawaban. Pikir Indana.

"Apa yang dokter lihat tentang mawar ini?" Indana bertanya sambil menatap kedua mata dr. Utsman.

"Indah."

"Apa yang membuatnya indah?"

"Bentuk dan warnanya."

Perlahan, Indana mulai melepas satu per satu mahkota bunga itu. Dr. Utsman memilih diam. Tak bertanya apa pun tentang yang di lakukan Indana.

Perempuan itu terus melepas mahkota bunga berwarna merah itu dari kelopak hingga ke atas sampai habis tak bersisa. Tak hanya itu, dia menghancurkan bagian benang sari dan putik hingga bunga yang tadinya menawan itu kini menjadi mengerikan.

"Mahkota bunga ini adalah ibarat diri saya. Sekarang, beginilah keadaan saya. Tak punya sesuatu yang istimewa. Begitu mengerikan. Mahkota yang seharusnya saya persembahkan untuk Anda, kini sudah tiada lagi. Dengan keadaan demikian, apa saya masih pantas untuk dimiliki?" Indana mengatakan hal ini dengan rasa sebak.

Lelaki bermata teduh itu memandangnya dengan tatapan iba. Dr. Utsman mengerjapkan kedua kelopak mata, lalu mengembuskan napas panjang.

"Indana, Aku yakin kamu wanita baik-baik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu sehingga kamu kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirimu. Seperti mawar tadi. Sebelum terlepas mahkotanya, ia pun sudah berusaha melindungi dirinya dengan duri-duri tajam yang tertancap di pohonnya. Aku tidak berhak menghakimi. Namun, satu yang kupahami. Itu adalah masa lalu. Semua orang memiliki masa lalu. Tak peduli baik atau buruk. Yang terpenting adalah masa kini dan mendatang. Aku sangat yakin, kamu berusaha untuk memperbaiki diri dengan berkaca pada masa lalu. Sangat tidak adil jika aku menghakimimu berdasarkan masa lalu saja."

Ah, mengapa semua yang kamu katakan sangat mengena di hatiku?batin Indana.

"Aku menerima kamu, Indana. Apa adanya kamu. Aku tidak akan menuntut macam-macam. Karena Aku mencintaimu. Percayalah, Aku tidak pernah peduli dengan apa pun tentang masa lalumu. Yang Aku pedulikan hanya keinginan untuk membina bahtera rumah tangga denganmu."

Sekali lagi, kalimat-kalimat itu beruntun membuat Indana terharu sekaligus meruntuhkan pertahanan. Seandainya sudah halal, tentu Indana akan memeluk pemuda itu erat dan berbisik di telinganya, "Terima kasih, Sayang."

Setelah itu keduanya diam. Hanya terdengar suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan. Sesekali, Indana menatap dr. Utsman. Lelaki tampan itu terlihat asyik melihat ikan berlalu lalang dengan wajah datar yang mungkin menyimpan sesuatu di pikiran.

"Bagaimana, Inda? Apa Indana sudah cukup meyakinkanmu?"

Indana masih terdiam. Rasanya masih tidak percaya ada lelaki sebaik Utsman. Dia lelaki sempurna yang banyak diidam-idamkan wanita, tapi dia justru lebih memilihnya.

Entah, apakah Indana harus bersuka cita atau sebaliknya. Karena, jujur saja, dirinya masih gamang dan mengkhawatirkan kehidupan rumah tangga yang akan mereka bina.

"Bagaimana jika semua yang Anda katakan belum membuat saya yakin?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status