Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda.
"Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang.Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagalan membina hubungan dengan Furqon, Indana menjadi lebih tertutup dan tidak yakin dengan keadaan dirinya sendiri. Indana selalu merasa bahwa dia adalah wanita yang tak pantas untuk dinikahi oleh siapa pun.Apalagi, sekarang yang berniat meminang adalah lelaki yang boleh dibilang memiliki kasta tinggi. Dia lebih pantas meminang wanita terhormat yang lebih segalanya dibanding dengan perempuan yang tak sempurna sepertinya."Apa yang kamu risaukan, Inda?"Pemuda itu menatapnya tajam. Namun, Indana tidak sedikitpun merasa terintimidasi karena matanya yang teduh. Indana membenamkan wajah pada setangkup tangan. Berusaha menyembunyikan kesedihan dan air mata yang siap tumpah.Indana mengusap wajah kasar. "Saya merasa tidak pantas untuk dokter.""Kenapa?""Karena masa lalu saya. Dokter berhak menikahi gadis lain yang lebih baik dari saya.""Indana, andai kamu tahu, betapa beratnya seorang lelaki jika wanitanya berkata begitu. Kamu pikir itu mudah?""Maksudnya?""Kamu pikir, jika kamu berkisah tentang semua keburukanmu dan berharap lelaki yang mencintaimu itu memilih wanita lain, apa itu hal yang mudah baginya?""Ya. Saya pikir itu hal yang sangat mudah. Tinggal cari saja wanita lain yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya. Beres. Toh, ada banyak wanita di dunia ini."Lelaki berkulit putih itu mengangkat satu bibirnya seraya menggeleng. Dokter Utsman menatap gerombolan ikan koi yang berada di bawah saung. Sesaat, rahang pemuda itu mengeras diikuti tatapan tajam lurus ke depan."Itu menurutmu, Inda. Sebagian lelaki, khususnya Aku, tidak seperti itu."Indana terdiam, lalu kembali menundukkan wajah. Dia merasa bersalah karena telah terlalu dini menghakimi dengan pernyataan yang berdasarkan opininya sendiri."Butuh waktu bagiku untuk tumbuh rasa cinta. Dan kamu tahu? Saat benih-benih cinta itu tersemai, aku selamanya akan menjaga dan merawatnya. Tak peduli jika yang tumbuh itu tanaman berdaun cacat atau tanaman cebol yang sungguh tak menarik dipandang. Namun, dengan kesetiaan dan keikhlasan, aku akan menjaganya. Karena cinta. Ya, cinta memang sekonyol itu." Pemuda itu menjeda kalimatnya."Apalagi yang kudapatkan adalah ternyata mawar merah yang ranum. Tentu aku tidak akan melepaskan begitu saja. Mawar merah itu kamu, Inda. Aku tak mungkin berpaling hanya karena satu ketidaksempurnaan yang ada pada dirimu. Sementara, aku pun manusia biasa yang penuh kekurangan. Yang bisa jadi lebih tidak sempurna dibanding dirimu."Perlahan, air mata Indana jatuh. Dirinya sungguh terharu dengan kesungguhan dr. Utsman. Namun, entah mengapa, Indana terus saja dihantui oleh masa lalu. Sesuatu yang terus membenamkannya pada jurang kesedihan. Sehingga binar kebahagiaan tak tampak olehnya sedikitpun.Masih dengan perasaan sesak dan isak tangis, Indana mencoba meyakinkan sekali lagi. Apakah pemuda itu benar-benar mencintainya.Indana beranjak dari saung tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan dr. Utsman yang masih duduk termangu.Indana menuju taman untuk mengambil sekuntum mawar merah yang tengah merekah. Dihirup aromanya dalam-dalam. Lalu, dia kembali menemui lelaki itu dengan membawa mawar merah di tangan.Indana duduk berhadapan dengan pemuda itu. Dia memberi isyarat untuk melihat bunga mawar yang berada di telapak tangannya yang terbuka. Wajah dr. Utsman menyiratkan kebingungan. Tapi, tak mengapa. Setelah ini pemuda itu akan menemukan jawaban. Pikir Indana."Apa yang dokter lihat tentang mawar ini?" Indana bertanya sambil menatap kedua mata dr. Utsman."Indah.""Apa yang membuatnya indah?""Bentuk dan warnanya."Perlahan, Indana mulai melepas satu per satu mahkota bunga itu. Dr. Utsman memilih diam. Tak bertanya apa pun tentang yang di lakukan Indana.Perempuan itu terus melepas mahkota bunga berwarna merah itu dari kelopak hingga ke atas sampai habis tak bersisa. Tak hanya itu, dia menghancurkan bagian benang sari dan putik hingga bunga yang tadinya menawan itu kini menjadi mengerikan."Mahkota bunga ini adalah ibarat diri saya. Sekarang, beginilah keadaan saya. Tak punya sesuatu yang istimewa. Begitu mengerikan. Mahkota yang seharusnya saya persembahkan untuk Anda, kini sudah tiada lagi. Dengan keadaan demikian, apa saya masih pantas untuk dimiliki?" Indana mengatakan hal ini dengan rasa sebak.Lelaki bermata teduh itu memandangnya dengan tatapan iba. Dr. Utsman mengerjapkan kedua kelopak mata, lalu mengembuskan napas panjang."Indana, Aku yakin kamu wanita baik-baik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu sehingga kamu kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirimu. Seperti mawar tadi. Sebelum terlepas mahkotanya, ia pun sudah berusaha melindungi dirinya dengan duri-duri tajam yang tertancap di pohonnya. Aku tidak berhak menghakimi. Namun, satu yang kupahami. Itu adalah masa lalu. Semua orang memiliki masa lalu. Tak peduli baik atau buruk. Yang terpenting adalah masa kini dan mendatang. Aku sangat yakin, kamu berusaha untuk memperbaiki diri dengan berkaca pada masa lalu. Sangat tidak adil jika aku menghakimimu berdasarkan masa lalu saja."Ah, mengapa semua yang kamu katakan sangat mengena di hatiku?batin Indana."Aku menerima kamu, Indana. Apa adanya kamu. Aku tidak akan menuntut macam-macam. Karena Aku mencintaimu. Percayalah, Aku tidak pernah peduli dengan apa pun tentang masa lalumu. Yang Aku pedulikan hanya keinginan untuk membina bahtera rumah tangga denganmu."Sekali lagi, kalimat-kalimat itu beruntun membuat Indana terharu sekaligus meruntuhkan pertahanan. Seandainya sudah halal, tentu Indana akan memeluk pemuda itu erat dan berbisik di telinganya, "Terima kasih, Sayang."Setelah itu keduanya diam. Hanya terdengar suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan. Sesekali, Indana menatap dr. Utsman. Lelaki tampan itu terlihat asyik melihat ikan berlalu lalang dengan wajah datar yang mungkin menyimpan sesuatu di pikiran."Bagaimana, Inda? Apa Indana sudah cukup meyakinkanmu?"Indana masih terdiam. Rasanya masih tidak percaya ada lelaki sebaik Utsman. Dia lelaki sempurna yang banyak diidam-idamkan wanita, tapi dia justru lebih memilihnya.Entah, apakah Indana harus bersuka cita atau sebaliknya. Karena, jujur saja, dirinya masih gamang dan mengkhawatirkan kehidupan rumah tangga yang akan mereka bina."Bagaimana jika semua yang Anda katakan belum membuat saya yakin?""Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu."Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana. Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendir
Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut."Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget."Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?""Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?""Besok malam.""Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asis
"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Inda."Sebaris kalimat via chat WA itu perlahan mengusik. Mata gadis itu terasa panas oleh gumpalan air mata yang siap tumpah. Awalnya, sekuat tenaga dia membendung. Namun, rasa sebak di dada akhirnya meluluhlantakkan pertahanan. Akhirnya, satu per satu bulir bening itu jatuh membasahi kedua pipi. Dia bertanya mengapa selalu berakhir begini? Dan … sesakit ini?Sore yang hangat di musim kemarau. Indana memandang ke arah jendela kamar yang terbuka, angin bertiup pelan membuat dedaunan pohon mawar yang tumbuh di taman menari seirama. Indana berjalan mendekat ke sisi jendela. Dia metengadahkan wajah. Di langit, awan putih berarak indah membentuk pola abstrak yang memantik imajinasi bagi sesiapa yang memandang. Sementara itu, di ufuk barat, sinar jingga senja perlahan memerangkap langit turut menjadi panorama indah di sore hari. Namun, pemandangan yang sangat memikat ini tak lantas membuatnya terkesan. Indana tengah diserang rasa gundah. Sebab, b
Indana melihat deretan guci mewah di sebuah kastil yang megah. Guci-guci besar berwarna keemasan setinggi pinggang itu tampak mengkilap. Sangat memesona.Indana takjub, lalu membelai salah satunya menggunakan ujung jemari dengan penuh hati-hati. Namun, tiba-tiba secara tak sengaja, tangannya malah menyenggol benda itu hingga oleng dan pecah. Dapat dia saksikan serpihan-serpihannya yang berserakan di lantai. Perempuan itu kalut. Lantas, memunguti satu per satu serpihan itu dan mencoba menyatukannya kembali. Dahinya basah oleh peluh. Sementara, hari mulai gelap, tapi tak jua Indana berhasil menyatukan kembali serpihan itu kembali ke bentuk semula. Indana meraung dan menangis sejadi-jadinya dengan masih menggenggam serpihan-serpihan guci itu di telapak tangan hingga terdengar gema suaranya sendiri di dalam kastil.Suara itu beradu dengan tayangan cepat kilasan peristiwa saat dia pertama kali bertemu dengan Furqon. Lelaki yang mencintainya. Indana teramat sangsi, apakah Furqon bisa meneri
Indana tersedak mendengar pertanyaan dokter muda itu. Apa dia tidak salah dengar?"Sebaiknya Nak Dokter tanyakan sendiri dengan orangnya." Mama tersenyum menggoda, memberi isyarat agar Dokter Utsman bertanya kepada sang putri.Loh, kok Aku? batinya bertanya.Indana tergagap saat dr. Utsman menoleh dan kedapatan dirinya sedang mencuri pandang. Indana refleks berpura-pura mengecek selang infus. Pemuda yang berprofresi dokter itu tersenyum melihat aksi konyolnya."Bagaimana, Inda?" Suara lembutnya sungguh sangat mengusik naluri.Indana menegang. Oh, Tuhan. Memangnya kamu mau apa jadi tanya-tanya begitu? Namun, itu hanya berani dia ungkapkan dalam hati saja."Eeemmm, saya … masih sendiri, Dok. Belum ada yang mau," jawabnya cengengesan."Kalau ada cowok yang mau, kamu mau, nggak?""Gimana?" Indana mengerutkan kening meminta penjelasan sekali lagi. Biasa, wanita memang butuh penjelasan dan pengakuan berkali-kali.Dokter Utsman tersenyum lebar. "Maksudnya, kalau ada yang suka sama kamu, dan