Share

Bab 2 Sadia dan Husam

Sadia melangkahkan kakinya menyusuri koridor SMA Melati, sebuah sekolah dimana ia bekerja sebagai guru honorer. Ia membutuhkan uang untuk biaya pendidikan Naya dan dirinya. Meskipun ia tak menghasilkan banyak, setidaknya itu bisa mencukupi kebutuhan dasar mereka.

Kejadian kemarin terus berputar di kepala Sadia. Ia bimbang untuk memutuskan apakah ia harus pergi atau tidak. Jawaban yang terlintas di benaknya jutaan kali sudah pasti adalah 'tidak', bukan karena ia takut atau apa. Ia sama sekali tidak takut padanya. Hanya saja, ia tak suka dengan cara pria itu mengancamnya atau memaksanya melakukan sesuatu. Selain itu, ia seharusnya tak peduli dengannya setelah apa yang terjadi kemarin membuatnya benar-benar yakin untuk tidak menikahi pria itu.

Sadia menghela napas sembari mempercepat langkah kakinya ke kantor staf. Baru saja ia hampir sampai, namun ia mendengar seseorang berteriak memanggil namanya.

"Sadiaaa.."

Sadia membalikkan tubuhnya dan melihat Ahsan terengah-engah.

"Apakah kau habis lari maraton?" Ia bertanya padanya dengan sinis.

"Tidak, tidak, aku mencarimu dari tadi. Sekarang, ceritakan tentang kemarin. Apa yang terjadi?" tanya Ahsan. Sadia tak habis pikir, bagaimana ia bisa begitu bersemangat ingin tahu tentang hal itu?

Ahsan begitu dekat dengan Sadia. Usianya terpaut satu bulan lebih tua darinya, ia adalah saudaranya sekaligus satu-satunya teman yang ia punya. Mereka sudah bersama sejak kecil. Sejak kedua orang tua Sadia meninggal, hingga akhirnya ia dan adiknya dirawat oleh bibinya, adik dari ayahnya yang juga ibu dari Ahsan.

"Akan kuberitahu nanti, aku harus pulang sekarang. Aku lelah." Sadia beranjak memasuki kantor, Ahsan mengekor di belakangnya. Ia juga berkerja di sini, karena bantuan Ahsanlah Sadia mendapatkan pekerjaan di sini. Sayangnya, Ahsan tak lagi tinggal di rumah orang tuanya, ia lebih memilih menyibukkan diri mengurus bisnisnya.

"Kalau begitu ayo! Aku akan mengantarmu pulang. Ini sudah jam empat lewat tiga puluh menit."

Sadia terjingkat, ia baru tersadar sekarang sudah lewat jam empat sore. Husam pasti sudah menunggunya dari tadi. Tapi itu bagus, pria itu harus belajar menunggu, ia harus belajar bersabar. Dan ia harus menerima bahwa Sadia sama sekali tak punya keinginan untuk datang menemuinya.

Dalam perjalanan pulang, Sadia menceritakan semua kejadian kemarin. Ahsan memperingatkannya untuk memblokir nomor Husam. Sadia sudah merasa senang bisa mengabaikan pria itu, ia tidak pergi dan Husam tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Senyum puas tergambar di wajah Sadia ketika memikirkan kekesalan Husam.

Ahsan menurunkan Sadia beberapa meter dari rumahnya karena ia tak ingin bibinya melihat ia selalu merepotkan Ahsan. Saat itu juga, Sadia sudah tak sabar ingin memblokir nomor itu. Ia menggeledah tasnya mencari ponselnya. Sesaat kemudian, matanya melebar kaget ketika melihat sesuatu yang tak biasa terpampang di layar ponselnya.

30 panggilan tak terjawab dan 8 pesan.

24 panggilan tak terjawab dari Husam sementara 6 dari bibinya. Dan semua pesan itu dari orang yang sama, Husam.

Dengan tangan gemetar, Sadia mulai membuka pesan itu satu per satu.

[ Kau ada di mana? Jangan menguji kesabaranku! ]

[ Kau yang datang, atau aku yang harus datang ke rumahmu? ]

[ Ke mana saja kau? Angkat teleponku! ]

[Aku bersumpah aku akan membuatmu menyesali setiap menit yang kau sia-siakan agar menunggu. ]

[ Siapa pria yang bersamamu itu? ]

[ Balas sekarang! ]

[ Jangan membuatku emosi! ]

[ Baiklah, tunggu aku datang! ]

Ponselnya dalam mode senyap, itu sebabnya Sadia tak dapat mendengar panggilan siapa pun. Seketika ia merasa ada sesuatu yang salah dengannya, tubuhnya terasa limbung. Ia gemetar. Sadia menerka-nerka apakah pria itu mengikutinya sejak tadi. Pria itu benar-benar gila.

Sadia menelan ludah dengan gugup sembari melihat sekeliling untuk mencari aktivitas yang mencurigakan, tapi ia tidak menemukannya. Seluruh jalanan terlihat sepi. Dengan segera, ia memblokir nomor pria itu, dan bergegas ke rumahnya sesegera mungkin.

Ia menghela napas lega ketika pintu rumahnya terlihat dari kejauhan. Namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya, sebuah mobil mewah terparkir tepat di halaman rumahnya. Ia meraih pintu rumahnya yang sudah dibiarkan terbuka. Ia memasukinya dan mendapati seorang pria muda dalam tuksedo duduk di sofa usang di ruangan itu. Mata pria itu bertemu dengan milik Sadia, dan ia berdiri.

"Permisi nona, Pak Husam sudah menunggu Anda di Kafe El Mounte dan saya sarankan Anda untuk segera datang."

Dengan mata bingung, Sadia memperhatikannya, tidak dapat memahami kata-katanya.

"Maaf aku tidak akan pergi. Katakan saja pada bosmu bahwa aku tidak akan... Tidak akan menikah dengannya. Dia tidak perlu.. khawatir." Dengan suara yang hampir tergagap, Sadia memohon.

"Tapi Nona, dia menyuruh saya untuk membawa Anda dengan cara apa pun. Dia sedang tidak dalam mood yang baik jadi saya sarankan Anda untuk tidak menunda-nunda," pria itu menjelaskan.

"Aku bilang aku tidak akan pergi!" Hampir saja Sadia berteriak padanya. Butir-butir keringat bercucuran di dahinya.

"Keluarga anda telah dibawa pergi dan jika Anda ingin keselamatan mereka, Anda harus ikut dengan saya."

Mata Sadia membuat, ia melihat sekeliling tetapi tidak menemukan siapa pun di rumahnya.

"Beraninya kau!? Di mana mereka? Aku bersumpah aku tidak akan melepaskan kalian jika terjadi sesuatu pada keluargaku," ucap Sadia dengan gugup. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah pria itu seorang gangster?

"Tolong, nona. Jika Anda ingin keselamatan mereka maka Anda harus datang." Ia terus mengulangi kalimat yang sama lagi dan lagi.

Sadia mencoba mengesampingkan semua egonya, ia memutuskan untuk pergi dengannya dan menemui Husam. Kafe El Mounte tak begitu jauh. Sepanjang perjalanan, ia terus berdoa agar keluarganya diberi keselamatan.

Setelah sepuluh menit, mereka sampai di kafe itu. Pria itu mengantarkan Sadia masuk. Seisi tempat itu penuh sesak. Ia berharap semoga Husam tak membuat keributan dengannya di depan semua orang. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak tahu di mana keberadaan pria itu. Bahkan, pria yang tadi membawanya ke sini pun sudah pergi. Ia bertanya-tanya apa yang mereka lakukan. Jantungnya mulai berdetak tak karuan, hingga orang-orang di dekatnya bisa saja mendengar degupnya. Ia menekan pelipisnya yang berdenyut untuk mengurangi rasa gugupnya.

"Keluar semuanya!"

Sebuah suara keras mengejutkan Sadia, ia membalikkan tubuhnya dan hampir tersandung. Suara itu adalah milik Husam yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan maut. Sadia memalingkan wajahnya, kepanikan begitu jelas terlihat melanda dirinya meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

Orang-orang di kafe itu memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya mereka berhamburan keluar. Sadia terus bertanya-tanya kenapa mereka semua takut padanya?

Dalam satu menit, tempat seramai itu berubah menjadi tepat yang sunyi senyap. Yang terisa hanya Sadia dan Husam di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status