Share

Bab 5 Kemarahan Husam

Sadia bangun di pagi pertama di rumah seseorang yang sama sekali tak pantas disebut suami. Ia bergegas untuk mandi dan berganti pakaian karena ia mendapat kabar bahwa ibu dan ayah mertuanya akan mengunjungi mereka.

Ia membalut rambut lebatnya dengan pashmina merah jambu, senada dengan gaun yang ia kenakan. Ia berjalan ke luar, namun pandangan matanya tersangkut pada kamar di sebelahnya. Pintu kamar itu sedikit terbuka membuat Sadia tertarik untuk melihat ke dalam. Entah kenapa ia begitu penasaran.

Gadis dengan punggung telanjang tidur tengkurap di kamar itu. Untung saja setengah dari tubuhnya tertutup oleh selimut. Ia terlihat begitu pulas. Sadia mengintip lebih dalam, namun tak terlihat Husam di sana.

Bergegas Sadia menuruni tangga memutar yang membawanya ke aula besar yang sangat indah penuh dengan hiasan yang biasanya hanya bisa ditemui di hotel-hotel bintang tujuh.

Sadia kembali melangkah menyusuri rumah mewah itu, langkah kakinya membawanya ke dapur. Sadia membuka lemari es untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa mengganjal perut laparnya. Ada banyak makanan tapi ia memilih untuk minum segelas susu.

Ketika ia menuangkan susu itu dari botol ke dalam gelas, ia mendengar suara langkah kaki yang berat di belakangnya. Ia menoleh, dan sosok pria itu sudah berada di depannya.

Husam berjalan setengah telanjang, ia masuk hanya dengan mengenakan bawahannya. Dada bidangnya terlihat jelas. Ia pria yang cukup tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis dan sepasang mata yang dalam, yang bisa membuat semua wanita tak bisa berpaling begitu saja ketika tanpa sengaja menatapnya. Rambut acak-acakan dan tubuh yang dipenuhi peluh semakin menambah aura kejantanannya.

Sadia menepis pikirannya yang menebak-nebak apa yang baru saja pria itu lakukan, ia membenci pikirannya sendiri namun ia lebih membenci pria itu.

Husam terus melangkah tanpa melirik Sadia sedikitpun. Ia mengambil segelas susu yang terletak di meja, susu yang baru saja ingin Sadia minum. Ia menghabiskannya hanya dengan sekali teguk. Sadia menatap marah pria itu, namun ia tak bisa berkata-kata.

Husam bisa melihat dengan jelas kemarahan di wajah Sadia, namun itu justru membuatnya merasa menang. Sadia meletakkan dengan keras botol susu itu di atas meja sebelum ia melangkah keluar dari dapur. Ia tak sudi berada di ruangan yang sama dengan pria bajingan itu.

Baru saja Sadia hendak keluar, tiba-tiba suara pria itu menghentikan langkahnya. "Lain kali, jangan mengintip kamat orang lain."

Sadia berbalik sembari menatap tajam pria itu. Pria itu terlihat marah, namun ia tak peduli. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak berbicara dengan pria itu dan tidak melakukan apapun yang ia katakan.

Sadia kembali mengalihkan pandangannya dan bergegas pergi sebelum Husam sempat mengatakan sesuatu. Ia begitu kesal, karena pria brengsek itu ia harus menahan laparnya lebih lama lagi. 

Sadia memutuskan untuk melihat lingkungan sekitar rumah itu, ada taman besar di sampingnya dengan berbagai bunga dan pepohonan serta air mancur di tengah-tengahnya.

Sadia membuka pintu utama dan ia dikejutkan oleh dua pria bersenjata yang berdiri si samping pintu dalam posisi waspada. Sadia terperangah melihat pistol di tangan mereka, pistol yang penuh peluru, pistol yang bisa merenggut nyawa siapa saja dan kapan saja.

Kedua pria itu tampaknya menyadari kegelisahan Sadia, mereka menggeser pistol itu kebelakang sembari menundukkan kepala dengan hormat. Sadia ragu antara keluar atau tetap di dalam. Namun, ketika tiupan angin menerpa wajahnya, ia tak bisa menahan diri untuk keluar.

Sadia melangkah keluar. Terlihat semakin banyak pria bersenjata. Ia bertanya-tanya apakah mereka tidak tidur.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mengagumi bunga-bunga indah dihiasi embun pagi di sana.

Tanpa sadar, sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya. Pria itu berjalan mendekat Sadia.

"Assalamu'alaikum," ucap pria itu. 

Sejenak Sadia merasa tak yakin apakah pria itu berbicara dengannya. Ia memperhatikan pria itu yang tak berpakaian seperti para penjaga lainnya, bahkan tak membawa pistol di tangannya. Pria itu tersenyum.

"Walaikum assalam," ucap Sadia sembari mengalihkan pandangannya. Ia tak suka dengan cara pria itu mengamati wajahnya.

"Namaku Ken. Aku kepala keamanan di sini dan juga sepupu sekaligus sahabat Husam." Pria itu memperkenalkan diri masih dengan senyum yang tersemat di wajahnya. Pria itu berwajah tampan dengan ambut hitam pekat. Perawakannya kekar hampir seperti Husam.

"Aku Sadia," jawabnya dengan ragu-ragu.

"Aku tahu. Aku hadir di pernikahanmu kemarin. Husam adalah pria yang beruntung bisa mendapatkanmu." 

Pipi Sadia memanas mendengar perkataannya, membuatnya merona.

"Sebenarnya, aku hanya ingin memberitahumu bahwa tidak aman untuk berjalan di luar sendirian. Karena itu, lain kali, mungkin salah satu anak buahku bisa menemanimu."

"Kau kira aku takut sendirian? Kau meremehkanku? Apakah ada yang akan mencoba membunuhku?"

"Tidak. Tidak. Tidak. Tidak ada yang akan membunuhmu. Tidak akan ada, selama aku masih hidup." Pria itu tertawa, membuat Sadia tersenyum kecut. Ia tak sadar dengan perkataannya sebelumnya.

"Baiklah! Aku akan kembali ke rumah." Dengan cepat Sadia membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah untuk kembali.

"Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku bisa menemanimu." Ken menyahut dengan cepat.

"Tidak apa-apa. Lebih baik aku pulang, aku lapar." Sadia tak ingin berlama-lama di sana, ia bergegas masuk, tanpa menoleh untuk melihat Ken. 

Baru selangkah ia menginjakkan kakinya, Sadia dikejutkan oleh suara yang begitu keras seolah ada benda yang dengan sengaja dibanting ke lantai. Bergegas ia masuk menuju sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur.

Husam berdiri tepat di depan serpihan kaca. Sedang di tangannya masih tergenggam piring yang lain yang siap ia banting juga. Mata Husam bertemu dengan milik Sadia, terlihat jelas kemarahan berpendar di matanya.

Sadia tergelagap, ia mengira Husam akan melempar piring itu ke arahnya. Namun akhirnya, suara benturan piring itu di lantai kembali mengejutkannya. 

Sadia tersentak. Para pelayan tiba-tiba masuk dengan tubuh gemetaran, mereka ketakutan setengah mati.

"Mana makananku?" tanya Husam geram.  Kegugupan menjalar di tulang punggungku saat isi perutku mengepal saat mendengar suaranya yang keras.  

"Bibi baru saja akan menyiapkannya, Nak. Kenapa kau ke dapur. Aku sudah pasti akan mengantar makanannya ke kamarmu," ucap pelayan tua itu dengan tergagap.

"Berapa lama aku harus menunggu? Apakah kalian ingin aku memecat kalian semua?" Hardiknya sembari meludah, membuat Sadia langsung merasa jijik. Pria itu sama sekali tak tahu bagaimana caranya berbicara dan menghormati orang yang lebih tua.

"Nak, biasanya kau selalu bangun jam 8 pagi dan aku tidak tahu kalau kau akan bangun secepat ini hari ini. Maafkan aku," lirih pelayan tua itu.

Husam menatap wanita tua itu, kemarahan di matanya mulai memudar. Ia tak mengatakan sepatah kata pun, jakunnya terlihat bergerak naik turun.

Sejenak kemudian, ia berbalik menatap Sadia dengan mata menghunus seolah ingin menerkamnya saat itu juga. Rahang pria itu terlihat mengeras membuat nyali Sadia sedikit menciut, namun ia masih bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Sadia, membuatnya merasa takut kalau-kalau pria itu akan mencelakainya. Namun akhirnya pria itu terus berjalan melewatinya dengan menyenggol keras bahu Sadia dengan lengan kekarnya.

"Ken!!" teriaknya.

Pria malang. Sekarang, ia harus menghadapi kemarahan Husam.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status