Mereka berdua ternganga, menatap satu sama lain dalam waktu cukup lama. Keduanya seolah menolak untuk memalingkan wajahnya."Husam sayang, kau di mana? Aku lelah sudah mencarimu sejak tadi." Suara seorang wanita dari luar sana membuat Sadia tersentak, dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dari Husam.Wanita pemilik suara itu memasuki kamar di mana Husam dan Sadia berada. Wanita itu memakai kaus yang dipakai oleh Husam tadi malam. Tubuh tinggi semampainya membuatnya tetap terlihat cantik dengan pakaian apapun.Sadia mengingat apa yang ia lihat semalam, wanita ini tengah berciuman dengan Husam di depan kamar mereka. Dan ia yakin, pria brengsek itu pasti telah memberi wanita ini segalanya. Namun, ia tak peduli. Ia juga teringat, wanita inilah yang juga datang bersama Husam ke rumahnya ketika pertama kalinya mereka bertemu."Itu wajah dia kenapa?" tanya wanita itu sambil menunjuk wajah Sadia."Ini bukan urusanmu!" ucap Sadia cepat, ia benar-benar tak suka mendengar ocehan wanita it
Hari demi hari, kebencian dan rasa muak Sadia terhadap Husam semakin berkembang. Ia tak menghiraukan pria itu hampir setiap waktu. Terutama jika pria itu masuk ke kamarnya, tak segan Sadia akan langsung pergi meninggalkannya tanpa berkata apa-apa. Hari terus berjalan hingga hampir satu bulan, Sadia tak lagi menghiraukan perkataannya.Sadia sudah mulai paham dengan waktu kapan ia pergi dan kapan ia kembali, ia mengambil keuntungan dari itu. Ia akan mengunci rapat-rapat pintu kamarnya sebelum pria itu kembali dari pekerjaannya atau apapun yang ia lakukan di luar sana.Bahkan Sadia pun tak pernah turun untuk makan malam bersama, ia lebih memilih makan sendirian daripada harus bertemu dengan pria itu. Sudah hampir seminggu ia melakukan ini, dan sejauh ini pula ia beruntung.Mungkin, Husam pun menyadari bahwa Sadia dengan sengaja menghindarinya. Seringkali pada malam hari ia sengaja mengeraskan suara-suara tertentu dari kamarnya yang ada di sebelah kamar Sadia. Seolah dengan sengaja ia ing
Hari ini adalah hari yang begitu menyenangkan bagi Sadia. Akhirnya ia akan bertemu Ahsan! Ahsan akan datang menemui Sadia, karena Sadia tak diizinkan untuk pergi dari rumah itu. Sadia sudah membuat nasi goreng dan sup kesukaannya, sebagai kejutan. Ia juga meminta Bi Sum dan pembantu lainnya untuk beristirahat hari ini, karena ia ingin memasak sendiri untuk makan siang hari ini.Sama sekali tak ada laki-laki di rumah itu, kecuali para penjaga di luar. Karena itu, Sadia memutuskan untuk tidak mengenakan jilbab. Ahsan adalah sepupunya sekaligus saudara susunannya, karena ibunya dulu ikut memberinya asi ketika ia bayi ketika bibi Alya selalu sibuk. Jadi, Ahsan adalah mahramnya juga.Hari ini, Sadia merasa bebas. Ia menyenandungkan lagu kesukaan Naya, adiknya, sambil memasak. Jam setengah dua belas siang, semuanya sudah siap. Seketika Sadia merasa seolah ada seseorang yang sedang memperhatikannya di belakangnya. Langkahnya terhenti."Tidak! Jangan sampai itu adalah pria brengsek itu! Aku s
Sadia masih terlelap dalam tidurnya. Namun dari jarak sekian meter, ia mendengar suara-suara keributan di luar sana, membuat tidurnya terganggu."Beraninya kau bicara seperti itu padaku!? Aku akan meminta Husam untuk mengusirmu dari rumah ini, jalang!" Pekik suara wanita itu tak mau kalah dengan suara wanita lainnya.Sadia tergelagap bangun dari tidurnya."Kau pikir, Husam memilihmu? Hahah, kau salah besar! Dia tidur bersamaku selama empat malam berturut-turut," balas wanita yang suaranya sudah sering Sadia dengar, sudah pasti suara Kiara, membuat Sadia langsung merasa jijik.Sadia tak ingin menguping, namun suara mereka benar-benar keras sehingga mau tak mau ia tetap mendengarnya. Bergegas ia bangkit dari tempat tidurnya, mengucek kedua matanya yang masih terasa lengket di pagi yang masih begitu dingin itu.Ia membasuh muka lalu beranjak keluar kamar setelah melingkarkan jilbab longgar di kepalanya. Keributan dari ruang depan benar-benar mengganggunya, membuatnya ingin tahu apa yang s
"Bocah itu benar-benar sudah kehilangan akal!" Bi Sum terus menggerutu sambil memeriksa memar di leher Sadia.Mulut Sadia terkatup rapat tak bicara sepatah kata pun. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Selama ini belum pernah ada orang yang menyakitinya begitu keras, bahkan bibinya sendiri tak pernah melakukan itu padanya. Ia tak menangis lagi, air matanya sudah benar-benar kering sekarang."Entah apa yang akan terjadi jika aku tak datang tepat waktu. Aku bahkan tak berani memikirkannya," ucap Bi Sum sembari menghela napas panjang.Sadia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata ia sedang berada di kamar Bi Sum. Bi Sum dan Mala berbagai ruangan kecil ini sebagai kamar."Lihat ini, ada memar di lehernya. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada istri sendiri!?" Bi Sum menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.Sadia mencoba untuk bersikap tenang tetapi ketika tangan Bi Sum menekan lehernya, tiba-tiba terasa begitu sakit."Sakit, Bi Sum!" pekik Sadia tanpa sadar di sel
Tegang.Seketika mata Sadia terbelalak. Darahnya berdesir ketika baru saja menyadari bahwa yang baru saja menenangkannya dalam pelukan hangat itu bukanlah Malik. Ia baru sadar dengan siapa ia berhadapan kali ini. Tubuhnya menegang, menyadari ia baru saja mencari mati dengan pria itu.Kebingungan mulai melanda pikirannya, tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Jantungnya berdegup cepat menolak untuk tenang. Lengan Husam perlahan meninggalkan sisi pinggang Sadia, membuatnya kaget sekaligus terpukul. Pria itu sama sekali tidak mendorong Sadia untuk menjauh untuk kesalahan yang baru saja ia lakukan.Sadia mulai merutuki dirinya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan. Ia sudah menikah, namun masih memikirkan pria lain, itu sama saja seperti berselingkuh. Rasa bersalah mulai menggerayapi hatinya. Rasa itu semakin bertambah ketika ia beringsut menjauh dari Husam.Pria disampingnya itu sama sekali tak menoleh. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Namun matanya terlihat masih bengkak dan sembab.
Malik tiba-tiba berbalik lalu menarik dan mendorong Sadia ke belakangnya, membuat tubuhnya gemetar ketakutan karena takut mimpinya menjadi kenyataan. Pistol di tangannya masih diarahkan ke Malik, Ken dan anak buahnya yang lain berdiri di belakangnya."Hu.. Husam, aku bisa menjelaskannya." Tergagap Sadia mencoba untuk bicara, namun kata-katanya terhenti begitu saja ketika Husam meletakkan jari telunjuknya di bibirnya."Ssst! jangan katakan sepatah kata pun. Aku tidak ingin mendengar suaramu. Itu hanya akan menambah penderitaanmu nanti." Husam menegaskan dengan penuh kebencian dan dendam."Jangan bicara seperti itu padanya. Aku tidak akan pikir-pikir dahulu sebelum membunuhmu." Malik menjawab dengan dendam dan kepahitan yang sama. Husam hanya terkekeh.Sadia menatap Malik dengan penuh harap, baru kali ini ia merasa ada seseorang yang membelanya di depan pria brengsek itu. Husam melirik Sadia yang pandangan matanya masih tertuju pada Malik, entah apa yang ia pikirkan kali ini"Jauhi dia,
Tamparan keras itu menyisakan sebercak memar di pipi Husam. Rahangnya mengeras dan matanya menggelap menatap gadis di depannya. Kebencian memenuhi dirinya.Sadia menatapnya dengan tatapan yang sama. Kedua orang itu sama-sama saling membenci. Namun Sadia merasakan sebuah kepuasan karena berhasil melakukan sesuatu yang sudah lama ia inginkan, menampar Husam."Ini adalah kesalahan!" celetuk Husam."Kaulah kesalahan itu!" balas Sadia dengan cepat. Husam membalasnya dengan kekehan mengejek."Kau tak tahu apa yang baru saja kau lakukan. Kau akan menyesalinya." Husam menyeringai seram. Ketakutan mulai menguasai diri Sadia, namun ia dengan pandai menyembunyikannya."Apa yang akan kau lakukan hah? Kau akan membunuhku? Aku tidak takut mati! Ayo tembak aku sekarang! Kau benar, aku tidak punya keluarga, tidak akan ada yang peduli aku hidup atau pun mati. Silahkan bunuh aku, aku tidak peduli!" Sadia mencengkeram lengan Husam dengan putus asa.Dengan cepat, Husam mengarahkan pistolnya ke dahi gadi