Share

Chapture 2

“Abah… Abah bawa apa Bah?” sambut Didin melihat abah pulang membawa plastik hitam di tangannya.

“Abah bawa beras. Nih kasih Ibu biar langsung dimasak,” kata abah memberikan sekantung plastik beras pada adik bungsu Zuzu.

“Abah bawa beras teh,” kata Didin dengan bahagianya mengumumkan.

Zuzu pun tersenyum bahagia melihat yang dibawa oleh Didin. Sedangkan Mirah langsung bergegas mengikuti Didin hendak memasak nasi membantu ibunya di dapur.

Adik kedua Zuzu bernama Amah tiba-tiba terbangun dari tidurnya, langsung terduduk di sebelah Zuzu.

“Lah ko bangun Mah?” tanya Zuzu pada Amah.

“Tidak bisa tidur lagi Teh. Mau nunggu nasi mateng aja,” katanya sambil merapikan rambutnya yang semrawut.

Seperti itulah keadaan keluarga mereka, mereka tidak pernah bersedih jika tidak ada dan berbahagia pada hal yang datang tak biasa.

Beberapa menit kemudian, nasi yang ditanak Mirah sudah mengeluarkan harum khas nasi kukus dan siap untuk dipindahkan ke wadah untuk segera disantap bersama.

“Hmmm wangiiiii…” ujar mereka.

Setelah nasi sudah berada di hadapan mereka, bu Ariah meletakkan bawang goreng sebagai lauk hari ini.

Mereka segera melahapnya tanpa jeda. Nikmat sekali rasanya sampai mereka menambah beberapa kali.

“Trisna, anter abah ke pasar yu,” kata pak Aman pada Trisna adik pertama Zuzu.

“Ayo Bah,” jawab Trisna bersemangat.

Keduanya bergegas menuju pasar hendak membeli sesuatu.

Sedangkan mereka berempat memilih bermain-main dengan anak-anak lain di pelataran masjid.

Satu jam kemudian, di Tengah keasyikan mereka bermain, tiba-tiba Pak Aman dan Trisna kembali dari pasar menaiki sebuah benda yang sangat mewah pada masa itu.

“Abah!” teriak Didin sumringah melihat benda yang mereka naiki.

“Abah beli sepeda baru Teh!” seru Didin menunjuk-nunjuk abah dan Trisna yang hampir sampai rumah.

Mereka semua berlari menuju rumah begitu juga dengan teman-teman mereka yang juga bersemangat melihat benda baru yang dibeli pak Aman.

“Wah bagus banget sepedanya Din,” kata teman Didin.

“Iya bagus banget,” timpal yang lain sambil tidak henti memperhatikan setiap inci sepeda baru pak Aman.

“Abah Didin, ini sepeda apa namanya?” tanya temannya Didin.

“Sepeda Onthel,” jawab pak Aman.

***

Keesokan hari setelah mereka puas memandangi sepeda baru di rumah, pak Aman mengajak Zuzu dan Didin untuk ikut Bersama abah mereka ke sawah menaiki sepeda.

“Gantian ya Neng, ntar Mirah sama Amah yang ikut Abah besok,” kata pak Aman pada Amah.

“Iya Bah,” jawab Mirah dan Amah.

 ZuU dan Didin duduk di boncengan belakang.

Kayuhan pertama, membuat mereka bahagia tak terperi. Zuzu dan Didin tertawa-tawa di belakang menikmati indahnya pemandangan sawah.

"Jangan bercanda, nanti jatuh," tegur pak Aman pada mereka.

"Teteh tuh," tuduh Didin.

"Didin nih Bah, katanya mau diturunin disini," 

"Hahahaha," mereka kembali tertawa lepas.

"Kakinya jauh-jauh dari rante ya?" Seru abah. 

"Iya Bah," jawab keduanya serempak.

Setelah sampai sawah, Zuzu dan Didin mulai bermain-main di jalanan, terkadang mereka turun ke sawah bermain diantara tumpukan Jerami. Sesekali mereka memperhatikan abah mereka yang sedang mengebatkan seikatan padi ke sebuah kayu khusus untuk meruntuhkan padi dari tangkai-tangkainya. Pak Aman melakukan itu sejak pagi hingga sore tanpa lelah bahkan hanya berjeda untuk shalat dan makan.

"Cape tidak?" Tanya pak Aman.

"Ngantuk Bah," kata Zuzu mengelipkan mata ngantuknya.

"Tunggu sebentar lagi ya. Sudah mau selesai ni," kata pak Aman.

Setelah semua padi terkumpul, pak Aman dan teman-temannya memasukkan hasil padi tersebut ke dalam karung dan menjaitnya rapat-rapat.

Sebagian petani lain membawa beberapa karung Jerami untuk membuat lumbung padi di rumah mereka, sedangkan pak Aman, bagian membawa satu karung besar padi untuk di jemur di halaman rumah.

“Bah, ini punya kita Bah padinya?” celetuk Zuzu.

“Bukan, ini masih punya orang,” jawab pak Aman.

“Tapi dibawa kerumah kita?” timpal Didin.

“Ini mau dijemur dulu abis itu didesel,” jawab pak Aman sambil menaruh karung beras itu di bagian depan sepeda.

GUBRAKKK

Tiba-tiba, karung berisi padi yang sudah pak Aman naikkan diatas sepeda jatuh. Pak Aman merapikannya kembali, untung saja tidak ada yang bocor.

***

Hari demi hari beranjak berganti tahun. Usia Zuzu kini memasuki usia 8 tahun. Ia disekolahkan oleh abah dan ibunya di sebuah Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang tidak jauh dari rumah mereka.

 Sedangkan Mirah yang usianya sudah menginjak 9 tahun pun sudah lebih dulu masuk sekolah,  di tahun berikutnya barulah Amah yang akan masuk sekolah karena usianya sudah menginjak 7 tahun.

"Zu. Ayo cepat berangkat sekolah!" Seru Mirah pada Zuzu yang masih pakai kaus kaki.

"Iya Teh. Ini sudah selesai,"

Zuzu sangat bersemangat di tahun pertamanya masuk sekolah. Pagi-pagi sekali, ia sudah terbangun untuk bersiap-siap untuk sekolah SD. Bersarapan seadanya dan berangkat tanpa membawa uang jajan.

 “Tidak usah jajan ya, nanti makan saja di rumah sepulang sekolah,” kata ibunya.

Ia hanya mengiyakan perkataan bu Ariah yang sudah terbiasa terdengar setiap hari.

Waktu istirahatpun tiba, seluruh anak berhambur keluar menyerbu pedagang jajanan yang sudah terpampang di halaman sekolah, kecuali Zuzu, ia hanya berdiri di depan kelas memandangi teman-temannya yang dengan riangnya menyebutkan jajanan yang mereka inginkan.

"Bang, telur dadar satu Bang,"

"Bang, es serut satu Bang," 

Suara mereka bersahutan terdengar di telinga Zuzu.

Beberapa mereka kembali dengan membawa jajanan di tangan masing-masing. Ada yang membawa telur dadar yang dilumuri saos kecap di atasnya, dan memakannya sambil berjalan di hadapan Zuzu, ada yang menggigit es buah yang dibekukan dan menghisapnya sampai terdengar suara lezat menikmati es tersebut.

"Zu tidak jajan?" Tanya temanku yang membawa telur dadar.

"Tidak,"

"Kenapa memangnya?" Tanyanya lagi.

"Tidak apa-apa," ia menggeleng.

Ia sudah terbiasa dengan ini, ia sudah terbiasa hanya mencicipi jajanan bekas temannya yang tidak habis. Semua keadaan itu berlangsung begitu lama hingga ia tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk jajan seperti anak-anak lainnya.

"Zu mau tidak? Aku kenyang," kata temannya.

"Mau Lin," katanya menerima jajanan dari Lina. Teman sekelasnya.

Hingga suatu ketika, ia bersiap untuk berangkat sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya. Kali ini ia ingin meminta uang jajan pada ibunya, tak peduli apa yang akan dikatakan oleh ibunya, yang terpenting hanyalah  ingin jajan di sekolah.

“Bu, minta uang Bu. Zuzu pengen jajan telor dadar Bu di sekolah,” katanya meringis sangat berharap bu Ariah akan memberinya uang jajan.

“Ibu tidak ada uang. Cuma ada dua ribu, nanti beli lauk pake apa?” jawab bu Ariah.

“Tidak usah makan lauk Bu, makan nasi aja,” balaanya merengek.

“Dih, emang enak makan nasi doang. Udah berangkat aja gih, nanti aja jajannya,” kata bu Ariah.

Kini air mata Zuzu tak bisa lagi terbendung. Ia sudah tak mau lagi melihat teman-temannya memakan jajanan di hadapannya, ia sudah benci memakan sisaan temannya.

“Bu, minta uang jajan seratus perak aja Bu,” katanya sambil menangis.

 Bu Ariah tak menjawab, ia malah ditinggalkan oleh bu Ariah ke warung. Tangisnya semakin mengaum sampai sesenggukan, namun tetap tidak dihiraukan oleh ibunya.

"Buuuuuuu..." Ia berteriak sekuat mungkin untuk meluapkan segala kekesalannya.

Siang ini ia sudah tertinggal jam sekolah, ia memutuskan untuk melanjutkan rasa sedihnya di kasur kapuk kesayangannya, hingga akhirnya ia tertidur mengenakan seragam muslim sekolahnya.

Berulangkali Zuzu harus menangis meminta uang jajan dan berulangkali juga ia tidak masuk sekolah karena  tidak punya uang.

“Zu. Zuzu sekolahnya MI aja ya? Tidak usah sekolah SD dulu,” kata bu Ariah baik-baik berbicara pada Zuzu.

“Emang kenapa Bu?” tanyanya bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status