Share

Terpaksa Menikahi Sang Jawara
Terpaksa Menikahi Sang Jawara
Penulis: Junatha Rome

Chapture 1

Tes… Tes… Tes…

“Deeeek! Hujan Deeek!” seru Zuzu pada adik-adiknya sambil mengadahkan telapak tangan menampung air hujan. Bibirnya merekah tersenyum, matanya menatap langit hitam yang sudah menurunkan bala tentaranya.

Adik-adik Zuzu pun berlari menuju depan rumah gubuk mereka yang hampir roboh itu. Meski rumah mereka akan segera bocor dengan air hujan, tapi Zuzu dan adik-adiknya sangat gembira saat hujan datang.

“Ambil panci dan baskomnya Dek,” perintah ZuU pada adik bungsunya yang bernama Didin.

“Ini Teh,” kata Didin memberikan apa yang diperintah Zuzu tadi.

“Kali ini tidak ada petir Teh. Apa kita boleh hujan-hujanan?” tanya si bungsu dengan mata yang penuh harap.

“Bilang ibu dulu, boleh atau tidak,” kata Zuzu sambil berharap juga.

“Buuu… Buuu…” Didin gegas berlari memanggil ibu.

“Boleh hujan-hujanan tidak Bu? Tidak ada petir ko,” terdengar Didin bermanja merayu ibu yang sedang menadahi atap-atap rumah mereka dengan ember.

“Dih jangan, sebentar lagi maghrib,” kata ibu mereka. Zuzu pun ikut kecewa mendengar larangan ibunya.

“Nanti ada Wewe loh,” kata kakak perempuan mereka yang juga sedang membantu ibunya di dalam.

“Teh. Tidak boleh Teh,” kata Disin sambil mengerucutkan bibirnya.

“Yasudah kita tunguin baskomnya penuh aja yuk, habis itu kita ganti lagi kalau baskomnya sudah penuh,” ajak Zuzu sebagai penghibur adiknya.

Zuzu dan ketiga adiknya pun menunggu air penuh sambil bercanda saling mencipratkan air hujan di wajah mereka.

Hari sudah mulai malam. Hujanpun tak kunjung berhenti hingga membuat abah mereka yang baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai petani dan kuli serabutan itupun basah kuyup terguyur hujan.

“Ayo pada tidur semua, sudah hampir tengah malam ini,” kata Aman, bapak mereka berseru.

“Iya Bah,” sahut anak-anak.

Tetesan air dari atap kamar membuat Zuzu sulit untuk tidur, tubuhnya menggigil kedinginan, ia lihat abah dan ibu beserta kakak dan ketiga adiknya pun merasakan yang sama. Akhirnya Zuzu mengubah posisi tidurnya, ia membuat kasur kapuk yang ia tiduri itu menjadi selimut untuk menghindari tetesan air yang bocor di atas tubuhnya, akhirnya iapun merasa nyaman dan tertidur pulas.

Pagi pun tiba. Zuzu terbangun dari tidurnya, namun, hujan masih turun membasahi rumahnya.

Krukuk

“Laper,” lirih Zuzu memegangi perutnya.

Ia sangat lapar, sama seperti saudara-saudaranya yang juga sudah bangun sedari tadi. Tidak ada makanan di rumah itu. Terpaksa mereka harus menahan rasa lapar mereka sampai nanti siang jika sudah dapat beras.

“Iya Teh, sama,” kata Didin menimpali.

Zuzu melihat anak-anak di sebelah rumahnya sedang menyantap nasi goreng masakan ibu mereka yang aromanya tercium sampai kerumah mereka, Zuzu dan keempat saudaranya hanya bisa terdiam membisu.

“Teh, pengen,” kata Didin pada Mirah. Kakak sulung mereka.

“Nanti dulu ya, Ibu lagi masak buat kita,” kata Mirah menenangkan adik-adiknya.

Zuzu memutuskan untuk pergi ke dapur menemui ibunya. Sangat pilu saat ia melihat pemandangan di hadapannya. Ia mendapati sang ibu sedang mencuci nasi kemarin yang sudah mengering dan menguning.

“Bu? Bikin apa?” tanya Zuzu dengan suara bergetar menahan tangis.

“Mau goreng nasi,” jawab sang ibu sambil mencari sesuatu.

 Bu Ariah terlihat kebingungan karena bahan masakan pun ternyata sudah habis tak bersisa.

“Bumbunya pada habis,” ucap bu Ariah pada dirinya sendiri.

Lalu bu Ariah menuangkan nasi kering tersebut keatas wajan, tanpa menggunakan minyak, bu Ariah mengaduk-aduk nasi tersebut dan hanya mencampurinya dengan garam.

 Aroma nasi goreng mulai tercium dan siap untuk dihidangkan.

Zuzu pun berlari dengan bahagia mengatakan pada saudara-saudaranya bahwa pagi ini, mereka akan makan nasi goreng.

"Ibu masak nasi goreng," bisik Zuzu pada Didin yang terdengar oleh saudara-saudaranya yang lain.

"Maantap!" Seru Didin bersemangat.

"Ayo kita sarapan," kata bu Ariah sambil meembawa sepiring nasi ke hadapan mereka.

Akhirnya, dengan nasi yang hanya sedikit itu, mereka santap dengan lahap meski itu sama sekali tidak mengenyangkan. Setidaknya, hanya bisa mendiamkan perut mereka yang keroncongan terus menerus.

"Bu. Ibu tidak makan?"" Tanya Zuzu melihat ibunya yang hanya menatap mereka.

Netranya berkaca-kaca. Bahkan sepertinya sebentar lagi air mata di pelupuknya akan segera jatuh.

***

Siang pukul satu.

“Idah, Didin. Kita cari ikan yah di sawah habis ini,” ajak bu Ariah pada Zuzu dan Didin.

“Ayo Bu,” mereka bersemangat.

JDERRR!!!

Tiba-tiba dengan sangat kencang suara petir menggelegar memekakkan telinga.

"Buuu..." Mereka berteriak melihat ke arah bu Ariah

"Takut Buuu," Didin hampir menangis.

"Tidak apa-apa. Itu petir penutup hujan," kata bu Ariah menenangkan kami.

Selagi langit mulai cerah, bu Ariah bersama dua anaknya berangkat ke sawah. Sampainya mereka di sawah, bu Ariah mulai mencari ikan di bawah tanah sawah yang sudah dipanen. Sedangkan Zuzu dan Didin asyik bermain tanah liat di jalanan. Sesekali hujan turun membasahi mereka, namun mereka tetap tidak berteduh demi mendapatkan ikan untuk mereka bawa pulang.

“Tong, sini embernya Tong,” pinta bu Ariah pada Didin.

“Iya Bu,” sahut Didin bersemangat melihat ibunya telah mendapatkan ikan di tangannya.

Beberapa menit kemudian, rintik gerimis masih berjatuhan, perut mereka pun mulai terasa lapar, tapi harus mereka tahan sampai ibu mereka mendapatkan ikan yang cukup untuk satu keluarga.

“Pe… Tape…” seorang pedagang tapai bersepeda melewati mereka.

“Hmmm… Harum ya Dek?” kata Zuzu.

“Iya Teh, harum banget,” timpal Didin.

Mereka pun hanya bisa memandangi pedagang tapai tersebut sampai hilang dari pandangan mereka.

Matahari pun mulai memerah, menunjukkan malam akan segera tiba. Akhirnya mereka pun pulang membawa ikan hasil pencarian mereka seharian.

“Assalamu’alaikum,” ucap Didin pada kakak-kakaknya yang menunggu di rumah.

“Wa’alaikumussalam,” jawab kakak-kakaknya yang sudah sangat kelaparan.

“A ini A, Ibu dapet ikan banyak,” katanya sumringah sambil menunjukkan ember kecil berisikan ikan-ikan.

“Wah… Alhamdulillah,” ucap mereka senang.

“Rah, Sudah masak belum?” tanya bu Ariah pada Mirah.

“Belum Bu. Tidak ada berasnya,” jawab Mirah.

“Coba pinjem dulu ke tetangga atau ke tukang beras,”

“Iya Bu,” Mirah pun bergegas mencari pinjaman beras.

Beberapa menit kemudian. Mirah kembali tanpa membawa apapun.

“Bu, tidak ada yang punya Bu,” kata Mirah dengan raut wajah sedih.

Bu Ariah diam.

“Yasudah, masak saja ikan-ikan ini,” kata bu Ariah.

“Tapi bumbunya juga tidak ada Bu,”

Bu Ariah kembali tersiam menahan sesuatu di hatinya.

“Direbus saja kalau gitu,” titahnya.

“Iya Bu.”

Akhirnya Mirah pun segera memasak ikan-ikan tersebut dengan cara merebusnya dan hanya ditambahkan garam satu satunya bumbu dapur yang tersisa.

Rebusan ikan pun sudah matang. Mirah pun membawanya pada ibu dan adik-nya. Setelah ikan itu diletakkan di karpet, mereka semua bersiap berjongkok mengelilingi ikan rebus masakan kakak sulung mereka.

“Yasudah, kita makan saja ikan ini tanpa nasi ya,” kata bu Ariah.

“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap mereka berbarengan.

Mereka pun mulai mencubiti ikan-ikan tersebut dan memakannya dengan lahap.              

***

Musim hujan berganti cerah. Biasanya, akan ada banyak buah durian dan rambutan setelah musim hujan.

Zuzu melihat ayah tetangganya pulang memikul keranjang buah-buahan setelah berjualan buah durian dan rambutan di kota. Zuzu melirik kearah keranjang tersebut dan melihat beberapa ikat rambutan dan durian di dalamnya. Ia hanya memandanginya dengan penuh harap agar bisa memakannya Bersama saudara-saudaranya, namun, abah dan ibu mereka tidak mampu untuk membelinya.

"Abah bawa rambutan!" Seru seorang anak tetangga Zuzu yang terdengar ke telinganya.  Ia hanya bisa menelan saliva menahan keinginannya pada buah-buah itu.

Beberapa saat kemudian, tetangga mereka membuang kulit-kulit rambutan dan durian itu di halaman samping rumah mereka. Dan Zuzu pun bergegas untuk memunguti kulit-kulit itu dan menggondolnya menggunakan bajunya lalu pergi ke dalam rumah.

“Deeek… Ada rambutan niiih,” kata Zuzu pada keempat saudaranya yang berada di dalam rumah.

Keempat saudaranya pun berkumpul membentuk lingkaran. Zuzu mulai membuka sebongkah kulit rambutan dan durian di tengah-tengah mereka. Mereka begitu sangat senang bisa menikmati rambutan dan durian meski hanya sisa-sisa yang menempel di kulit buah tersebut.

***

Hari telah berganti. Kini saatnya Aman mendapat Borongan kerja sebagai petani. Beberapa sawah milik orang-orang kaya telah siap untuk dipanen oleh Aman dan kawan-kawannya.

Rasanya senang sekali jika musim panen padi tiba. Mereka sekeluarga bisa memakan nasi sepuasnya.

“Abah… Abah bawa apa Bah?” sambut Didin melihat abah pulang membawa plastik hitam di tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status