"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya.
Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya.
"Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan.
Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur.
"Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio.
Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
WARNING!! 21+ Cerita ini hanya fiktif belaka, bukan untuk ditiru! * * * "Pak. Hen... hentikan!" Monika menahan dada bidang Rio, berharap agar pria ini berhenti mencoba menjelajah lehernya. Kedua tangannya mencoba sebisa mungkin menjauhkan diri. "Kenapa? Kamu sudah ingin langsung ke intinya, heh?" Rio menunjukkan smirk iblisnya. Dia menatap Monika dengan pandangan berkabut penuh gairah. Monika menggelang cepat. Bukan itu yang dia inginkan. Tempat dan waktunya yang tidak tepat. Bagaimana mereka bisa sedekat ini di perusahaan? Bagaimana kalau ada orang yang melihat mereka? "Dua miliar!" Rio menatap manik mata biru milik Monika dalam-dalam. "Aku akan berhenti jika kamu bisa mengembalikan uang dua miliar yang ayahmu hilangkan!" Monika menelan ludahnya dengan paksa. Mana mungkin dia bisa? Uang dua miliar bukan jumlah sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja belum pernah. Dia bukan berasal dari golongan kel
"Selamat pagi. Selamat datang di minimarket kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Monika pada dua orang yang mendekat ke arahnya. Mereka tampak aneh, tidak seperti pembeli lain pada umumnya. Kedua pria berpakaian serba hitam itu saling pandang, kemudian mengangguk satu sama lain. Mereka memiliki rencana lain untuk membawa gadis ini pergi. Salah satu dari mereka melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung. "Nona Monika Alexandra?" tanya pria itu. "Ya?" Monika menatap rekan kerja di sampingnya. Dia takut dua pria ini berniat jahat padanya. Tampilan mereka menunjukkan mereka bukan warga sipil, mungkin pihak keamanan, bodyguard, atau semacamnya. "Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Rekan kerja Monika ikut bersuara, mempertanyakan maksud kedatangan dua pria misterius ini. "Nona, bisa ikut dengan kami sebentar?" Pria itu kembali menatap Monika, mengabaikan pria yang berusaha memecah konsentrasinya barusan. Monika menelan
Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif. Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap. "Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti. "Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini. Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali. Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan
"Leo, siapkan kontraknya!" Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stopmap warna merah menyala. "Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat. "Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini. Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun. "Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika. "Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!" Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sa
Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini." Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal. "Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya. "Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo. "Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini. "Mari, Nona." Leo melepa