Share

Bab 2. Gagal Kabur

Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif.

Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap.

"Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti.

"Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini.

Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali.

Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan samsak tinju. Perlawanan gadis itu tak membuatnya gentar sama sekali, justru langkahnya semakin mantap menuju mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.

Tubuh ramping Monika terhempas di kursi belakang mobil edisi terbatas ini, menghantam jok hitam mengilat yang terlihat mahal. Hampir sama seperti mobil lainnya, hanya ada dua kursi di depan dan dua di belakang. Tapi, sekilas pandang saja sudah tahu bahwa kendaraan ini termasuk mewah dan elegan.

Pintu tertutup sempurna, membuat Monika tertahan di sana. Dia masih mencerna apa yang terjadi, mengamati keadaan sekitar demi menyelamatkan diri.

"Buka pintunya!" titah gadis 26 tahun ini sambil terus berusaha membuka pintu. Namun, teriakannya tak dihiraukan oleh pria yang ada di balik kemudi.

Bukannya menuruti permintaan Monika, pria itu justru menginjak pedal gas di bawah kakinya dalam-dalam. Mobil hitam berharga dua miliar lebih ini melaju dengan kecepatan tinggi, membuat tubuh Monika terpelanting ke belakang.

"Argghh." Monika memegangi kepalanya yang terbentur cukup keras. Dia tidak tahu apa salahnya sampai harus ada di situasi seperti sekarang ini. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka membawanya pergi dengan paksa? 

"Duduk diam di tempat Anda, Nona! Jika tidak, ucapkan selamat tinggal pada dunia ini!" Suara dingin itu berhasil membuat Monika terhenyak. Dia takut dengan ancaman itu.

Kehidupannya terlalu berharga untuk ditinggalkan. Masih ada banyak mimpi yang harus dia perjuangkan, termasuk kisah cintanya bersama Sang Kekasih, Devan. Mereka akan menikah akhir tahun ini. Itu rencananya.

Monika duduk diam di tempatnya, mengamati jalanan di luar sana yang tampak asing baginya.

"Kita kemana?" tanya gadis bersurai kuning kecoklatan ini pada pria yang fokus dengan jalanan di depannya.

"Perusahaan."

Monika merutuk pria ini dalam hati. Dia tahu mereka akan pergi ke perusahaan tempat ayah kandungnya membuat masalah. Yang ingin dia ketahui, siapa yang akan dia temui untuk mengurus masalah itu.

"Nona akan mengetahui semuanya nanti."

Dan sisa perjalanan mereka berakhir dalam diam. Monika enggan bertanya karena pria ini pasti tidak akan menjawabnya.

Beberapa menit kemudian, mobil mewah berwarna hitam itu terhenti di pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit. Monika segera digiring menuju lift khusus yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung ini.

"Untuk apa kalian mengawalku? Aku tidak akan lari!" ketus Monika karena kelima pria ini berdiri mengelilinginya, seolah dia bisa lari kapan saja. Padahal itu tidak mungkin. 

Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Tubuh tegapnya bagaikan manekin, tak bergerak satu senti pun sejak mereka sampai di ruangan tak berpenghuni ini.

"Selamat datang, Nona Monika Alexandra." Sebuah suara terdengar menggema di ruangan ini, bersamaan dengan pengawalan kelima orang ini yang otomatis memudar. Mereka undur diri, menjauh dari Monika dalam keterkejutannya.

Netra sipit itu membola kala melhat pemandangan luar biasa di depan sana. Sebuah pintu terbuka lebar, menampilkan sesuatu yang membuatnya tak percaya.

Tubuhnya bergetar hebat saat itu juga. Hatinya mencelos, melihat sesosok pria yang sangat ia benci kini tergeletak di lantai dengan berbagai luka di tubuhnya. Darah yang mulai mengering terlihat di keningnya, mengalir melalui pelipis sampai ke samping wajahnya.

"PAPA!" teriak Monika, berlari menghampiri Jonathan Wu yang tengah sekarat. Bulir-bulir air mata itu tak terbendung lagi.

Sebesar apapun kebenciannya pada pria ini, tak bisa memusnahkan cinta kasih yang terhubung karena pertalian darah. Jauh di dalam lubuk hatinya, Monika menyayangi ayahnya.

"Monika, maafkan Papa," bisik pria itu. Suaranya lemah, hampir tak terdengar. "Maaf."

Detik berikutnya, mata itu terpejam. Nyawa Jonathan Wu telah meninggalkan raganya yang babak belur. Episode hidupnya telah berakhir hari ini, menyisakan luka dan lara di dalam hati Monika.

"Pa ...." Monika hampir tak bisa berkata-kata. Dia tidak bisa menerima fakta bahwa pria ini telah meninggalkannya, menyusul ibunya ke alam baka.

Tak ada yang bisa Monika lakukan. Dia memeluk tubuh ayahnya yang mulai terasa dingin ini dan berharap semua hanya mimpi.

"Hapus air matamu! Aku tidak ingin cairan itu mengotori lantai."

Suara dingin itu kembali Monika dengar, membuatnya menoleh ke belakang. Tatap mata tajam penuh kebencian ia tujukan pada pria berpakaian rapi yang berdiri menjulang, beberapa langkah dari tempatnya berada.

'Siapa pria ini? Bagaimana bisa ada orang yang tidak iba saat melihat seseorang meregang nyawa di depannya?' batin Monika mengumpat.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana Monika menghadapinya?

Nantikan bab berikutnya,

Hanazawa Easzy

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status