Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana.
"Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan.
"Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai.
"Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari."
Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir.
"Nona, apa Anda baik-baik saja?"
Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya.
Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Pebinor datang.... Jeng jeng jeng.... Eh siapa yang pebinor ya? Kan Devan duluan yang kenal Monika. Jadi abang CEO mesum dong si pebinor sebenarnya? Tapi Devan sama Monika 'kan belum married. Jadi abang mesum nggak salah yaa. Eh gimana gimana? Hahaha... Btw, gimana nasib Monika selanjutnya?
Gemericik air segera terdengar dari dalam kamar mandi. Sampo beraroma greentea dan daun mint segera dia ratakan ke atas kepala, membuat mahkota indahnya tertutup busa. Setidaknya aromaterapi itu akan membuat tubuhnya lebih fresh. Beberapa menit kemudian, Monika keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit tubuh rampingnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan pintu saat mendapati lampu utama di kamar ini padam. "Eh? Apa lampunya rusak?" Monika menghadap ke atas. Seorang pria yang bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Pemandangan di hadapannya sungguh membuat libidonya naik seketika. Otak mesumnya segera bekerja, mengimajinasikan segala kenikmatan bersama wanita ini. 'Shit!" umpatnya dalam hati. Hasrat laki-lakinya terus meronta. Bagaimana tidak? Tetes-tetes air yang turun melalui ujung surai pirang Monika, mengalir membasahi leher putih mulusnya. Siluet tubuh gadis ini terlihat begitu seksi dan menggo
WARNING !!! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU. BIJAKLAH MENYIKAPI SEBUAH BACAAN. * * * Lengang. Tak ada respon dari Monika. Gadis ini telah masuk ke alam bawah sadarnya, tak merasakan apapun yang Rio lakukan. Kelima panca inderanya berhasil dilumpuhkan dengan obat tidur dosis rendah yang pria mesum itu tambahkan ke dalam air putih. Ya, Monika tak tahu sama sekali bahwa Rio sudah menaruh serbuk obat di dasar gelas kaca miliknya. Pria ini benar-benar licik. Rio menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Waktunya masih panjang. Dia bisa mempermainkan gadis ini sesuka hatinya. Bibir ranum yang tertutup menjadi sasaran utama pria mesum ini. Terasa manis. Dia sudah terobsesi, ingin menikmati seluruh tubuh wanita ini. "Shit!" Rio mengumpat saat aktivitasnya terganggu oleh getaran ponsel Monika di atas nakas. Nama 'Lovely' terlihat di sana, membuat emosi Rio kembali datang. Adegan c
Monika mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar hangat mentari menelisik ruangannya, melewati jendela kaca yang telah terbuka. Samar-samar aroma pengharum ruangan menyapa indera penciumannya. "Anda sudah bangun, Nona?" Suara seorang wanita tertangkap telinga Monika, membuatnya terkesiap. 'Siapa?' batin Monika berkata. Gadis bersurai panjang ini membuka mata dengan paksa, mengabaikan kepalanya yang terasa berat. Perlahan retina matanya befungsi normal setelah mengedip beberapa kali. "Nona tertidur begitu lelap. Kami tidak berani membangunkan Anda." Monika menatap dua wanita berpakaian serba hitam yang berjarak beberapa langkah darinya. Keningnya berkerut, merasa tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Gadis itu duduk dan menatap jam digital di atas nakas, pukul enam pagi. "Ini bisa meredakan sakit kepala yang Anda alami. Silakan, Nona." Lagi-lagi wanita yang tidak Monika ketahui identitasnya ini tersenyum ramah. Tangannya terulu
"Bawa para b*jingan itu ke ruang penyiksaan! Aku ingin melihat kesaksian mereka dengan mata kepalaku sendiri!" Suara Rio menggema, menunjukkan bahwa pria itu marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. "Baik." Leo berbalik badan, siap melangkah pergi dari ruangan ini. "Tunggu!" titah Rio membuat langkah pria berpakaian serba hitam itu terhenti. "Ya, Tuan?" Leo berbalik, kembali menghadap tuannya yang kini duduk di kursi kebesarannya yang empuk. "Dimana dia sekarang? Apa yang sedang dia lakukan?" Leo terdiam sepersekian detik. Otaknya berusaha mencerna siapa 'dia' yang tuannya bicarakan. Pria ini tidak pernah mempedulikan orang lain sebelumnya. Tapi, kemampuan otak Leo diatas rata-rata. Dia tahu siapa yang dimaksud oleh tuannya. "Nona Monika pergi ke tempatnya bekerja. Dia meminta kelima pengawal kita untuk pergi dan menyampaikan sebuah pesan untuk Anda." "Pesan? Untukku?" Ada seulas senyum tipis yang tampak di bibir pria
WARNING!!! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU!! * * * Sejurus kemudian, bibir Rio sudah mendarat di leher Monika, membuat gadis ini merasakah geli dan nikmat di saat yang bersamaan. Pria itu semakin terobsesi saat melihat tak ada perlawanan dari wanita di hadapannya. "Aku akan memulainya." Rio menatap manik mata di depannya dengan mata berkilat dipenuhi gairah. Dia tidak bisa menahan diri lagi. Bibir Monika menjadi sasaran serangan pria ini. Dia mencium wanitanya dengan lembut, membuat Monika terhanyut. Tanpa sadar, tangan Monika yang terbebas mencengkeram jas yang Rio kenakan. Dia terbawa perasaan, mulai menikmati perlakuan suaminya. Deru air conditioner di ruangan itu membersamai suara decak bibir dua orang yang kehilangan akal sehatnya. Mereka saling melumat, mengejar kenikmatan masing-masing. Rio mulai kepanasan. Dia melepaskan jas navy yang dipakainya dan membuangnya sembarang. Tangan dan bibirnya bekerja sama, menjelajah tub
Rio tampak ragu, antara melanjutkan aktivitas mereka atau berhenti sampai di sini saja. Logikanya membela, tidak ingin membuat Monika ketakutan. Tapi, hasratnya berkata sebaliknya. Lonjakan libido di dalam dirinya semakin kuat. Dia tidak ingin gagal untuk kedua kali seperti semalam. Melihat situasi yang ada, Monika meraih selimut di bawah tubuhnya untuk menyembunyikan diri. Dia berusaha kabur dari pria mesum yang hampir saja merenggut kesuciannya ini. Krekk kreekk Tangan Monika meraih handle pintu dan berusaha membukanya dengan tubuh gemetar hebat. Kakinya terasa lemas, hampir tak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri. "Tolong..." Krekk krekk "Siapa saja, tolong buka pintunya!" teriak Monika dengan putus asa. Dia tidak ingin berada di ruangan ini lebih lama. Pria ini tengah dikuasai hasrat liar. Tak hanya kesuciannya yang terancam, mungkin saja nyawanya juga ada dalam bahaya. Dukk dukk Monika terus mengetuk pintu di dep
WARNING!!! 21+ "Apa ini pertama kalinya untukmu?" Rio urung pergi, membelai surai panjang Monika dari belakang, sesekali memainkannya dengan jari. Keduanya menghadap cermin besar yang tertanam di dinding. Lengang. Monika tak merespon. "Kamu marah padaku, hmm?" gumam pria yang kini asik menelusuri bahu mulus Monika. Lagi-lagi wanita ini bungkam. Hatinya mati rasa, tak ingin meladeni apa saja yang pria ini ucapkan. Hidupnya tak lagi berharga. Itu yang dia rasakan. "Kamu harus bertanggung jawab karena membuatku begitu ketagihan." Rio kembali menikmati area sensitif di belakang telinga dengan mulutnya, membuat geleyar aneh kembali dirasakan oleh Monika. Tubuhnya kembali terangsang. Shit! "Kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku?" Rio memancing respon Monika. "Aku akan terus menyiksamu jika kamu tetap bungkam seperti sekarang," ucap Rio sambil menelusuri perut rata istrinya. Jemarinya bergerilya di balik
'Dimana ini? Apa ini mimpi?' batin wanita yang masih memejamkan matanya. Ini sama sekali bukan kamar kosnya yang sempit dan pengap. Deru halus air conditioner terdengar di kejauhan. Monika membuka mata, berharap mulai mendapatkan kembali memorinya. 'Apa yang terjadi padaku?' batinnya masih bertanya-tanya. Cermin besar di depan sana menunjukkan tubuhnya yang terbaring di sebuah ranjang mewah berukuran king size. Hanya bagian kepala dan bahunya saja yang terlihat, sisanya terbalut selimut. 'Tunggu!' Sejurus kemudian, Monika membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Kedua matanya terbelalak selebar mungkin. Terkejut dengan apa yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Jantungnya seolah berhenti berdetak satu waktu. Monika terhenyak, napasnya tercekat di tenggorokan. Dia tidak percaya melihat tubuhnya polos, tanpa sehelai benang pun yang tersisa. Monika semakin syok begitu mendapati puluhan tanda cinta tercetak di sekujur tubuhnya. Ingatan