'Dimana ini? Apa ini mimpi?' batin wanita yang masih memejamkan matanya. Ini sama sekali bukan kamar kosnya yang sempit dan pengap. Deru halus air conditioner terdengar di kejauhan.
Monika membuka mata, berharap mulai mendapatkan kembali memorinya.
'Apa yang terjadi padaku?' batinnya masih bertanya-tanya. Cermin besar di depan sana menunjukkan tubuhnya yang terbaring di sebuah ranjang mewah berukuran king size. Hanya bagian kepala dan bahunya saja yang terlihat, sisanya terbalut selimut.
'Tunggu!'
Sejurus kemudian, Monika membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Kedua matanya terbelalak selebar mungkin. Terkejut dengan apa yang tertangkap oleh indera penglihatannya.
Jantungnya seolah berhenti berdetak satu waktu. Monika terhenyak, napasnya tercekat di tenggorokan. Dia tidak percaya melihat tubuhnya polos, tanpa sehelai benang pun yang tersisa.
Monika semakin syok begitu mendapati puluhan tanda cinta tercetak di sekujur tubuhnya. Ingatan
Matahari telah kembali ke peraduan, membuat langit perlahan berubah menjadi kelabu. Sinar jingga di ufuk barat menandakan siang telah berakhir, berganti malam bersama bintang gemintangnya di angkasa. Sebuah mobil terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit bertuliskan Dirgantara Artha Graha. Pria dengan pakaian serba hitam berlari, membukakan pintu mobil bagian belakang tempat tuannya berada. "Selamat datang kembali, Tuan Muda." Leo menyapa atasannya. "Umm," gumam Rio sambil mengangkat tangannya. Dia melirik sekilas pada tangan kanan yang mendapat tamparan keras darinya beberapa waktu lalu. "Dimana dia sekarang?" tanya Rio, menatap sekeliling yang mulai sepi. Sebagian besar pegawainya sudah pulang, membuat tempat parkir bawah tanah ini sedikit lega. "Nona masih ada di ruang istirahat." Leo tahu siapa 'dia' yang pria ini maksud. "Apa terjadi sesuatu sampai kamu menghubungiku?" tanya Rio, menatap arloji di pergelangan tangannya.
"B*debah b*rengsekk!!" Umpatan Monika terdengar jelas. Tak lagi menyembunyikan kemarahan seperti sebelumnya. Dia tidak bisa menahan diri, mengatai pria di hadapannya dengan kalimat kasar. Dengan sekuat tenaga, Monika berusaha menghalau bibir Rio yang berniat menciumnya. Kesabarannya semakin menipis jika berhadapan dengan pria ini. Benar-benar membuatnya emosi. "Aku memang b*rengsek. Kenapa? Kamu tidak terima mendapat suami b*jingan sepertiku?" Rio menikmati setiap kata yang keluar dari bibir Monika. Sejak pertemuan pertama mereka kemarin, wanitanya sangat jarang berbicara. Dia cenderung pendiam dan bisa menguasai emosi dengan baik. Dan sekarang Rio sengaja, memancing agar Monika lebih banyak bicara. Monika bungkam. Tidak ada wanita yang bersedia menikah suka rela dengan pria mesum, kasar, arogan, pemarah, dan pemaksa sepertinya. Satu-satunya kelebihan pria ini adalah dia memiliki banyak uang. Itu! "Kenapa diam?" Rio mengamati mata indah di had
Sebuah mobil edisi terbatas berhenti di bahu jalan, tepat di dekat sebuah halte. Tiang lampu penerangan dengan sensor otomatis tepat berdiri di sebelah kiri benda mengilap itu. Langit berwarna gelap, menunjukkan siang telah berlalu. Awan bergulung menandakan akan turun hujan. "Sampai di sini saja. Tidak perlu mengantarku lebih jauh." Monika melepas sabuk pengaman yang sedari tadi melingkupi tubuhnya. Dia bersiap turun, untuk kemudian kembali ke kamar kostnya. Namun, ada yang mengganjal di dalam hatinya. Ekspresi kesedihan Rio masih terbayang di matanya. Hening. Dua menit berlalu tanpa sepatah kata pun dari keduanya. Monika masih sibuk dengan pemikirannya yang semakin terbebani setelah melihat ruang kerja Rio hancur tak bersisa. Pria itu membanting, menendang, dan memukul benda apa saja yang ada dalam jangkauannya. Telepon kabel, monitor layar datar, gelas kaca, dan beberapa benda lainnya teronggok di lantai. Suara gaduh yang sebelumnya dia dengar, ada
Tapak kaki Monika melewati pintu saat tiba-tiba hujan turun dengan begitu deras. Langit malam menumpahkan beribu-ribu bulir air yang jatuh dari angkasa. Sebagian mengalir ke sungai melalui saluran drainase yang ada, sementara sisanya tersimpan di dalam tanah. Hawa dingin menyergap, membuat siapa saja enggan berada di luar rumah dan memilih berdiam di tempat mereka sendiri. "Untunglah..." ungkap wanita yang kini melepas dua sepatu di kakinya. Dia merasa beruntung karena tidak sampai kehujanan. Daya tahan tubuhnya sedikit lemah, mudah terserang flu setelah kehujanan. Dengan langkah kaki lebar-lebar, Monika bergegas menuju dapur demi mengambil segelas air putih hangat. Tenggorokannya terasa kering dengan perut yang mulai meronta minta diisi. Terakhir dia makan pagi ini, setelahnya tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perut. Monika bersiap minum air di gelas yang kedua saat tiba-tiba netranya menangkap kalender meja di hadapannya. "P
WARNING !!! 21+ only! Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam menyikapi sebuah bacaan! Selamat membaca.... * * * "Aku menginginkanmu, Sayang!" "Jangan mimpi!" Monika menggeleng kuat-kuat. Dia tidak ingin menjadi lahan pelampiasan pria mesum ini lagi. Apa yang Rio lakukan siang tadi sudah membuat tubuhnya hancur. Bagaimana jika dia menggila lagi sekarang? "Kamu ingin melawanku?" Rio menampilkan smirk andalannya. "Pergi!" Monika semakin terdesak. Dia tidak bisa lagi menjauh saat tubuhnya menabrak dinding. "Ayolah, Sayang. Jika kamu menurutinya, aku akan memberikan hadiah untukmu. Satu kali kepuasan, satu permintaan akan ku kabulkan." Rio melembutkan suara, menyingkirkan kesan angkuh yang sedari tadi terpampang di wajah tampannya. Wajah Monika memerah, menahan marah. Dadany
"Merepotkan!" ketus Monika saat memapah tubuh pria ini dari dapur. Dia merasa lemas setelah muntah berkali-kali. Brukk Tubuh kekar Rio teronggok di atas kasur mini yang biasa Monika gunakan untuk istirahat malamnya. Wajah pria itu terlihat pucat dengan tatap mata yang tampak sayu. Satu tangannya menutup hidung sementara tangan yang lain memegangi perutnya yang terasa seperti dipelintir. Dengan cekatan, Monika membuka pintu dan jendela kamarnya, berharap aroma menyengat dari bumbu mie itu segera pergi. Dia tidak tega melihat Rio yang terus muntah tanpa henti. Awalnya dia merasa senang dan menertawakan pria ini. Tapi sekarang justru dia merasa kasihan. "Ini." Monika memberikan sebuah minyak aroma terapi dalam botol kecil, berharap aroma menthol yang menguar dari sana bisa sedikit melegakan pernapasan Sang Suami. Rio menggeleng. Dia tidak ingin menerima pemberian Monika. Apapun itu, bisa memicu rasa mualnya untuk muncul lagi. "Lepas bajum
Jam menunjukkan pukul 22.30 saat Monika keluar dari dalam minimarket. Beberapa karyawati tampak keluar bersamanya sebelum lampu dipadamkan. Dengan langkah cepat, Monika kembali ke kamar kosnya melalui gang sempit ini. Suasana terasa lengan, tak ada seorang pun yang dia temui sepanjang jalan. "Huh! Akhirnya sampai," ucapnya begitu selesai menapaki anak tangga terakir, beberapa langkah menuju pintu kamarnya. Cklekk Pintu berwarna putih itu Monika buka dengan hati-hati. Arah pandangnya tertuju pada pria yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang. "Maaf membuat Anda menunggu." Hening. Rio tak membalas ucapan Monika. Pandangannya lurus ke depan, seolah menyimpan dendam. 'Eh? Ada apa dengannya? Bukankah dia baik-baik saja saat aku pergi tadi?' batin Monika, heran karena pria ini sekarang terlihat tidak senang. 'Apa dia kelaparan sampai marah seperti itu?' Tanpa mempedulikan ekspresi wajah Rio, Monika mulai berkuta
WARNING! 21+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN. BUKAN UNTUK DITIRU!! * * * Monika mendekatkan bibirnya, bersiap mencium pria yang berstatus sebagai suami sahnya ini. Wanita itu menarik diri setelah mengecup Rio sekilas. Dia tidak suka melakukan hal ini dengan pria yang dia benci. "Itu kecupan, bukan ciuman." Rio melayangkan protesnya karena Monika mengakhiri layanannya dalam hitungan detik. "Dasar mesum!" Monika beranjak. Dia enggan melanjutkan kegiatan mereka lagi. Brukk! Monika jatuh terduduk di pangkuan Rio. "Jika kamu tidak ingin melayaniku, maka aku yang akan mengambil alih keadaan. Jangan salahkan aku jika kamu tidak bisa bekerja besok!" Ancaman Rio berhasil membuat Monika menyerah. "Aku tidak bisa! Aku belum pernah melakukannya!" ketus Monika, melupakan kata ganti saya seperti yang dia gunakan sebelumnya. Rio tersenyum. Dia senang karena istrinya ini bukan wanita berpengalaman, artinya dialah