Share

Bab 4 : Rumor Buruk

“Kenapa, Mba?” tanya Wisnu, satu-satunya pria di toko itu.

Toko sudah mau tutup. Sinta sedang menghitung uang masuk hari ini dibantu oleh Risma.

“Coba kamu hitung lagi, Wisnu. Apa saya salah hitung?”

Sinta memberikan buku penjualan dan kalkulator. Eti juga mendengar perkataan Sinta perihal uang kurang. Dia ingin membantu, hanya saja dengan sikap buruk Sinta kepadanya, dia masih diam duduk di pinggiran di bagian luar toko.

“Totalnya 10.320.000, mba.” Kata Wisnu setelah menyelesaikan hitungannya.

“Tuh kan bener. Duitnya cuman ada 10.170.000. Kurang 150 ribu.” Sinta terlihat panik.

Eti hanya menatap bingung ke arah tiga rekannya yang berada di dalam. Wisnu dan Risma saling pandang. Kalau sudah begini, biasanya mereka harus ganti dengan uang pribadi masing-masing.

Dengan uang makan mereka yang masih kecil, menganti uang yang hilang cukup memberatkan. Wisnu nampak suram saat mendekati Eti untuk bicara.

“Mba Eti, duit penjualan kurang,” katanya.

“Lho, kok bisa? Kurang berapa?” tanya Eti heran. Tadi siang toko memang lumayan rame. Dia bahkan harus sering bolak-balik ke toko lain untuk mencari baju sesuai ukuran yang pembeli mau.

“150 ribu. Kita mesti patungan. Satu orang 35 ribu. Mba Sinta 45 ribu sendiri.”

Mengganti uang penjualan? Eti bengong mendengarkan penjelasan Wisnu. Dulu dia tidak pernah di toko, jadi tidak tahu kalau ada yang seperti ini.

“Oh, ya udah. Potong aja dari uang makan,” ucapnya.

Wisnu kemudian kembali ke tempat Sinta. Suasananya jadi suram saat menutup toko. Eti hanya bisa diam. Meski pernah punya pengalaman sebagai admin, disini dia tidak diberi pembukuan. Semua uang masuk diterima Risma dan Sinta.

Beberapa hari kemudian, kejadian uang kurang ada lagi. Kali ini nominalnya hanya 95 ribu. Tapi tetap saja mereka harus menggantinya.

Setiap Minggu, paling tidak sekali pasti ada uang kurang. Eti lama-lama juga kesal. Tapi dia tidak bisa apa-apa. Status dia hanya karyawan biasa. Kepala toko disini Sinta.

“Semenjak ada Eti, duit toko kok kurang terus ya?”

“Ah, masa sih dia tukang nyolong?”

“Ya gak tahu. Bisa aja kan dia butuh buat ngirim anaknya.”

“Iya juga sih. Tapi orangnya kelihatan alim begitu kok.”

“Eh, zaman sekarang mah banyak yang kaya gitu. Kelihatannya doang alim, aslinya mah maling.”

Rumor baru menyebar bagai jamur di musim hujan. Eti tidak tahu soal itu. Dia hanya heran, beberapa tetangga toko dan rekannya menatapnya dengan aneh.

Risma dan Wisnu juga jadi berbeda. Mereka melihat Eti seperti orang yang penuh kudis. Sikap mereka pun jadi lebih jutek. Kalau toko sepi, kadang mereka asik ngobrol bertiga.

Eti hanya bersikap seperti orang bodoh. Dia merasa tidak punya masalah dengan ketiga rekan kerjanya. Dia kesini untuk bekerja. Selama tidak merugikan orang lain, dia tidak perduli.

“Eti, gimana kerjanya?” tanya Maryam.

“Baik, bu. Saya masih agak kagok sama barangnya. Sering ketuker-tuker.”

Maryam hanya tersenyum. Mereka hanya berdua di ruangan khusus di dalam toko utama yang jadi gudang sekaligus ruang kerja.

Selentingan kabar yang tidak enak membuat dia memanggil Eti. Dia percaya anak buahnya ini orang yang jujur. Namun kabar itu cukup mengganggunya.

“Bagaimana dengan teman-teman toko. Sudah akrab?” tanya Maryam lagi.

“Sudah bu, Alhamdullilah. Anak-anaknya baik semua.”

“Baguslah. Tapi saya dengar, uang penjualan sering hilang. Apa benar?”

“Iya, bu. Saya juga kurang tahu kenapa. Setiap Minggu ada saja uang kurang.”

“Oh begitu ya.” Maryam seperti berpikir keras. Dia masih menilai perkataan Eti.

Eti terlihat biasa saja. Tidak ada raut takut atau khawatir. Dia masih tidak tahu kalau rumor mengatakan uang hilang justru karena dia.

“Ya udah. Kerja yang bener ya. Nanti awal bulan ini saya naikin uang makan kamu.”

“Alhamdulilah. Makasih banyak bu.” Kata Eti sumringah.

“Iya sama-sama.”

Eti kemudian keluar. Dia kembali ke toko dan mendapati Sinta, Wisnu, Risma dan satu lagi penggantinya sementara karena dia dipanggil bu Maryam, sedang ngobrol serius. Mereka bubar begitu melihat Eti datang.

Di ruangan yang tadi Eti dan Maryam bicara, tak lama kemudian Agung keluar setelah Eti pergi. Pria itu sembunyi untuk mendengarkan pembicaraan dua wanita tadi.

“Bagaimana menurut kamu, Gung?” tanya Maryam begitu Agung duduk di bekas tempat Eti.

“Kayanya sih Eti jujur, bu.” Jawab Agung.

“Jadi bagaimana kita bisa tahu penyebab uang sering hilang di toko Sinta? Kamu ada usul?”

“Ada bu. Tapi entah ibu percaya apa tidak.”

“Baik, katakan!”

***

Hari-hari masih dilewati Eti dengan sikap masa bodoh. Jadi omongan orang sudah hal biasa baginya. Yang dipikirannya cuman Eren.

Temannya ada yang baru beli mobil-mobilan. Tadinya mereka main bareng. Tapi ketika temannya mau pulang, Eren malah nangis masih pengen main mobil-mobilan itu.

Neneknya Eren tadinya tidak bilang apa-apa saat Eti telpon. Justru Eren yang sudah mulai belajar ngoceh, minta mobil-mobilan seperti temannya.

Sebagai ibu, Eti hanya bisa menjanjikan nanti gajian bakal beli. Dia sudah cek harga mobil-mobilan seperti temannya Eren. Harganya empat kali uang makannya sehari.

“Kalau gak ada, ya jangan dipaksakan, Et. Anak kecil mah nanti juga lupa.”

Ibunya menasehati. Bagaimana pun Fitri tahu, gaji Eti tidak seberapa. Untuk makan Eti di Jakarta dan mengirim ke kampung saja kadang pas-pasan.

“Gapapa, bu. Namanya buat anak. Eti ada kok tabungan dikit-dikit Lagi pula, Bu Maryam katanya awal bulan depan mau naikin gaji Eti.”

“Ya, udah terserah kamu. Tapi jangan lupa terus berdo’a, dilancarkan rezeki. Rezeki anak mah gak ketuker.”

“Aamiin, bu.”

Setelah Eti dipanggil Maryam, entah kenapa uang kurang justru tidak ada lagi. Seminggu lebih semua berjalan normal. Rumor itu pun kembali surut.

Sikap Wisnu dan Risma lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Cuman mereka masih saja ngobrol asik bertiga tanpa melibatkan Eti.

“Nak,yang di patung itu ibu bisa lihat?” tanya seorang ibu-ibu pada Sinta. Pakaian ibu itu terlihat biasa saja dengan gamis dan kerudung.

“Mba Eti, layanin nih!” Sinta kembali ngobrol dengan Wisnu setelah memberi perintah. Eti yang sedang merapikan pajangan langsung menghampiri sang ibu.

“Iya, bu. Ada yang bisa dibantu.” Tanya Eti ramah.

Ibu itu tersenyum. “Iya, nak. Ibu mau tahu baju batik yang di patung itu. Ibu lihat kok bagus dari jauh. Bisa ibu lihat?”

“Bisa. Silahkan duduk dulu, bu.”

Melihat Sinta yang di dalam sedang asik ngobrol, Eti terpaksa masuk untuk mengambil baju yang di tunjuk oleh ibu itu. Risma yang biasa di dalam, sedang pergi membeli makan.

Sinta hanya melirik sekilas lalu kembali ngobrol dengan Wisnu. Mereka sepertinya sedang ngobrol seru sampai Sinta tertawa kencang. Eti hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini, bu.” Kata Eti sambil menaruh patung di atas meja.

“Memang bagus ya, nak. Anak ibu mau nikah. Ibu mau beliin batik buat orang yang bantu-bantu.”

“Oh, iya kah bu? Selamat ya. Kapan emang nikahnya?”

“Bulan depan.”

Nama ibu itu Nurmala. Beliau kemudian cerita kalau baru saja ditinggal suaminya pergi bulan lalu. Padahal anaknya yang bungsu sudah mau menikah sebulan lagi. Eti hanya mendengarkan dengan khidmat.

Ibu Nurmala mengaku sedih saat suaminya pergi. Untungnya ketiga anaknya bergantian menghiburnya. Sekarang pun si bungsu yang berinisiatif mengajaknya untuk belanja agar tidak kepikiran alamarhum suaminya terus.

“Yang sabar ya, bu. Saya turut berduka cita atas kepergian suami ibu.” Ucap Eti sambil memegang tangan Bu Nurmala yang sudah keriput.

“Terimakasih ya, nak. Nama anak ini siapa?”

“Saya Eti, Bu.”

“Ibu senang ketemu Nak Eti disini.” Ibu Nurmala tersenyum dengan tulusnya.

Mendengar cerita Ibu Nurmala, Eti merasa beliau sangat beruntung dengan suaminya bisa tetap saling mencintai sampai tua dan maut memisahkan. Dia jadi ingat pernikahannya dengan Hamdan yang gagal.

“Mau belanja apa mau cerita?”

**004**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status