Share

Bab 7 : Dituduh Maling

"Gimana sih? Kamu kan dari tadi di dalam, kok bisa kurang lagi. Nggak becus kerja ya kamu?."

Suara Sinta sampai terdengar keluar. Beberapa tetangga toko yang belum tutup sampai melihat ke dalam penasaran.

Mereka sudah paham dengan sifat Sinta yang kadang emosional. Sasarannya biasanya Eti. Namun wanita itu ada di luar dan sedang duduk santai.

"Kalau sudah gak mau disini bilang! Nanti gue minta ganti sama yang lain!"

"I-iya maaf, mba. Risma coba itung lagi."

Dengan tangan gemetar menahan emosi, Risma memencet tombol-tombol di kalkulator sambil menghitung pemasukan hari itu.

Tadi dia hitung sudah benar. Namun uang dan catatannya terjadi selisih sampai 235 ribu. Padahal hari ini tidak seramai akhir pekan.

Wisnu dipanggil masuk untuk menghitung jumlah uang yang ada. Eti hanya diam saja di luar sambil melirik sesekali ke dalam.

Wajah Risma nampak seperti ingin menangis. Bagaimana pun Eti pernah diposisi dia. Tidak masalah kalau kita salah terus dimarahi. Tapi tidak di depan orang lain.

Itu sama saja dengan menjatuhkan harga diri. Siapa sih yang mau jadi tontonan orang. Meski Risma di dalam, suara Sinta yang keras pasti di dengar oleh yang lain.

"Duitnya kurang 235 ribu, mba." Ujar Risma pasrah. Dia sudah berapa kali menghitung bergantian dengan Wisnu.

"Gimana sih kalian kerja? Banyak banget kurangnya." Sinta terus mengomel.

"Udahlah, Sinta. Kalau kurang tinggal diganti kaya biasa. Ngapain marah-marah."

Eti akhirnya ikut bicara. Dia tidak tahan melihat Risma dan Wisnu hanya menunduk di marahi.

"Ganti, ganti. Enak aja kalau ngomong. Uang makan gak seberapa disuruh ganti. Apa jangan-jangan teteh yang ngambil terus kita semua yang suruh nombokin?"

"Hati-hati kamu ngomong, Sinta! Kalau gak ada bukti, itu fitnah namanya." Lama-lama Eti kesal juga dituduh yang macam-macam.

"Alah, mana ada sih maling ngaku. Kalo ngaku, penjara penuh."

"Hei, lancang banget kamu ngomong. Kalo soal kerja, emang teteh gak terlalu bagus. Tapi untuk nyolong duit segitu, teteh juga masih punya pikiran. Teteh bisa nuntut kamu karena sudah menyebarkan fitnah."

Emosi kali ini sudah tidak bisa dibendung. Eti sudah cukup sabar dengan perlakuan Sinta kepadanya.

Keributan di toko antara Sinta dan Eti menarik perhatian orang-orang toko dan pengunjung pasar.

Tak lama kemudian Agung datang. Dia memerintahkan toko Sinta segera tutup. Setelah itu dia membawa keempat orang yang menjaga toko untuk ikut ke toko utama.

***

"Saya tidak terima dituduh macam-macam, Bu. Saya juga tidak ingin membesarkan anak saya dengan uang haram."

Eti, Sinta, Risma dan Wisnu kini ada di dalam ruang kerja Maryam. Mereka dipanggil untuk mengetahui penyebab keributan yang terjadi di toko.

Buku catatan dan uang setoran hari itu sudah tersusun rapi di atas meja sang ibu Bos. Maryam terlihat tidak senang dengan keempat orang dihadapannya.

"Tapi semenjak ada dia, uang toko sering banget berkurang. Kalau bukan dia yang ngambil, siapa lagi? Toh kemarin-kemarin waktu dipegang mas Hamdan gak ada masalah kok, bu."

Sinta nampak sekali juga kesal dengan Eti dan tidak memanggil wanita yang lebih tua darinya itu dengan sebutan hormat.

"Kalau kamu Risma. Bagaimana menurut kamu?"

Gadis yang sedari tadi menunduk itu akhirnya berani menatap mata bosnya. Sinta dan Risma cukup lama bersama Hamdan dan Cyntia.

Saat kedua orang itu dikeluarkan, Sinta yang bekerja lebih lama, diangkat jadi kepala toko. Wisnu dan satu orang lagi diperbantukan disitu sebelum kemudian Eti masuk.

"Iya, Bu. Duit setoran emang jadi sering kurang semenjak teh Eti masuk. Tapi saya perhatikan, teh Eti jarang masuk ke dalam, jadi gak mungkin kalau teteh yang ambil."

"Bisa aja dia nunggu kelengahan kita. Orang-orang begitu kan pintar lihat situasi."

"Sinta, saya tidak nyuruh kamu ngomong. Kalau kamu bicara lagi sebelum disuruh, lebih baik kamu keluar."

Wajah Sinta langsung berubah dari kesal menjadi takut. Dia tahu kalau bosnya ini sedang marah dan kesal. Dia pun diam dan menundukkan kepalanya.

"Risma, lanjutkan."

"Iya, Bu. Kadang kalau rame memang teh Eti masuk ke dalam buat ambil barang. Tapi di laci uang, ada saya sama mba Sinta yang gantian jaga."

Maryam memainkan jari-jarinya dengan mengetuk-ngetuk meja. Dia sedang merangkai ucapan anak buahnya.

"Wisnu? Ada yang mau dikatakan?"

Pemuda satu-satunya di ruangan itu hanya menggeleng. Dia tidak terlalu pandai bicara. Masa kerjanya disini juga terhitung masih baru beberapa bulan.

"Selama ini yang saya tahu setoran selalu pas, tidak ada yang kurang. Waktu zamannya Hamdan juga sama. Kok bisa sekarang ada selisih? Risma?"

Sengaja Maryam lebih banyak bertanya kepada Risma karena dianggap netral. Beda dengan Eti yang masih baru dan Sinta yang emosional.

"Itu ... Sebenarnya dulu waktu mas Hamdan jadi kepala toko, uang setoran juga kadang kurang, Bu. Tapi kita patungan buat nombokinnya."

"Pakai uang makan kalian?"

"Iya, Bu."

"Baru tahu saya," ucap Maryam sambil geleng-geleng. "Risma, kamu yang menghitung pembukuan bukan?"

"Iya, Bu."

"Berapa pendapatan hari ini sama selisih kekurangan uangnya?"

Risma lalu menyebutkan nominal angka pendapatan toko hari ini dan jumlah uang yang ada. Tak lupa dia menyebutkan selisihnya.

Maryam menuliskan nominal yang Risma sebutkan di sebuah kertas kosong. Dia kemudian memandang keempat anak buahnya.

"Saya selalu tekankan, kerja sama saya harus jujur. Bodoh bisa dikurangi dengan belajar, tapi kalau sudah tidak jujur, susah mencari obatnya.

Dengarkan baik-baik. Saya tidak mau keributan seperti hari ini terulang kembali. Kalau ada masalah di dalam toko, kalian harusnya bisa bicarakan terlebih dahulu."

Keempat orang yang berdiri masih diam sambil menunduk kan kepala. Mereka tidak berani mengangkat kepala di depan bos yang terkenal baik tapi tegas itu.

Ini peringatan pertama dan terakhir. Apa kalian mengerti?"

"Iya, Bu" jawab keempatnya kompak.

"Bagus. Kalian boleh pulang sekarang. Untuk uang yang kurang, gak usah diganti."

"Terimakasih, bu."

Keempatnya kemudian keluar. Beberapa karyawan lain yang ada di toko utama melihat dengan penasaran. Sinta menghampiri salah satunya dan ngobrol sambil berbisik dipinggiran toko.

Ada aura permusuhan yang ditunjukan Sinta kepada Eti. Dia masih ingat betapa seperti orang bodohnya dia saat Bu Nurmala datang tempo hari.

Yang ditatap malah cuek dan berjalan santai. Risma mengekor dibelakangnya dan segera berjalan sejajar dengan Eti.

"Teh, makasih ya tadi udah belain." Risma masih ingat Eti membelanya yang sedikit lagi mungkin mau menangis.

"Gak usah dipikirin, Ris. Kita disini sama-sama kerja kok. Besok-besok mungkin harus lebih teliti. Teteh juga pernah kaya gitu. Kan teteh juga admin dulunya."

"Iya, teh." Risma sedikit merapat dan berbisik ke arah Eti. "Tapi beneran tadi siang uangnya pas kok, teh. Habis itu juga yang beli lagi kan gak banyak."

"Teteh gak bisa bilang apa-apa sih. Teteh kan di luar terus. Ke dalam cuman buat ngambil mukena doang. Syukurlah kita gak harus gantiin kali ini."

Risma mengangguk setuju. Jika 235 ribu dibagi empat orang, paling tidak uang makan mereka hari ini tinggal selembar.

Keduanya kemudian berpisah di depan gedung pasar Tanah Abang yang besar. Angkot yang akan membawa mereka pulang berlawanan arah.

Sementara itu Agung masuk setelah keempat orang tadi sudah pergi.

"Coba cek alat yang kamu pasang itu. Saya kok jadi penasaran."

"Baik, Bu."

**007**

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status