Share

Bab 2 : Keputusan Terakhir

Dengan bedak dan make up, Eti menutupi wajahnya yang agak sembab. Dia tidak ingin ibunya nanti khawatir melihatnya sedang kacau seperti ini saat mereka tiba di kampung. Hijab warna moka sudah rapi menutupi kepalanya.

Hamdan sudah mengabari akan menjemput dia dan Eren selepas shubuh. Sepasang koper besar dan kecil sudah rapi berdiri di belakang pintu. Eren masih lelap dalam tidurnya.

Semalaman Eti merapihkan baju sambil tak henti-hentinya meneteskan air mata. Kenyataan ini masih terlalu pahit untuk dia terima. Dikhianati dan kini harus siap menyandang status janda.

Dia belum genap berumur 26 tahun, Eti hanya bisa melamun perihal statusnya nanti yang terdengar mengerikan. juga tentang masa depan dia dan anaknya yang masih buram.

Tok! Tok! Tok!

Suara Hamdan membuyarkan lamunan Eti. Dia membukakan pintu dan melihat sosok kikuk yang dulu pernah ia sangat cintai.

Entah laki-laki itu tidur dimana semalam. Mungkin di rumah temannya, mungkin juga di kamar kost-an selingkuhannya sambil menikmati malam panjang yang hangat.

“Tolong dua koper itu bawa keluar, mas. Tenang, isinya cuman bajuku dan Eren saja. Tidak ada yang lain.”

Suara Eti terdengar tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi perkataannya itu jadi terasa ambigu di telinga Hamdan, antara serius atau hanya menyindirnya.

Hamdan ingin berkata sesuatu kepada istrinya yang sedang memakaikan sweter pada Eren biar anak itu tidak kedinginan nantinya.

Sayangnya melihat ekspresi Eti yang cuek dan tanpa ekspresi, dia menelan kembali kata-kata yang sudah berada ditenggorokan. Seperti semalam, lidahnya terasa kelu.

Sambil menggendong Eren, Eti melihat untuk terakhir kalinya kamar penuh kenangan yang ia tempati selama 3 tahun ini semenjak dia baru mengandung.

Banyak memori indah terpatri disini. Walaupun sederhana, dia bisa merasakan hangatnya keluarga. Sayangnya mungkin dia tidak akan pernah kembali. Mimpi keluarga kecil yang dia idamkan kini sudah buyar.

“Ini kunci kamarnya, Mas. Aku sudah memisahkan baju mu di lemari. Baju-baju yang pernah kamu belikan juga aku tidak bawa. Terserah kamu mau membuangnya atau memberikan pada orang lain.”

“Eti, apakah tidak ada jalan lain?” tanya Hamdan pada akhirnya sambil menerima kunci kontrakan. Dia masih ingin mempertahankan pernikahannya.

Selama ini Eti adalah sosok istri dan ibu yang sempurna. Tidak banyak menuntut ini itu. Namun wanita yang dihadapinya sekarang seperti orang yang berbeda.

Eti menjadi keras kepala dan teguh dengan keputusannya. Sifat yang hampir tidak pernah dilihat Hamdan semenjak mereka berpacaran dan akhirnya menikah.

Wanita itu tersenyum. Mungkin kalau tadi malam Hamdan mau menahannya untuk tetap tinggal dan tidak pergi bersama Eren, Eti masih bisa menyisakan ruang untuk tetap menerima ayah dari anaknya ini.

Akan tetapi hati yang sedang dia bangun kembali dari puing-puing, sudah terkunci rapat dan tidak mau dia buka lagi untuk pria ini. Dia sudah bertekad menghapus nama Hamdan selamanya.

Wanita itu berbalik dan melangkah pergi. Hamdan tidak tahu kalau air matanya hampir jatuh. Jalan ini sudah dia pilih dan tidak mudah untuk mengubahnya kembali.

***

Sepanjang jalan, Eti tetap memilih diam. Dia membiarkan Eren bermain dengan ayahnya. Anak itu terlihat senang bisa pulang kampung bersama kedua orang tuanya.

Anak sekecil itu belum mengerti pahitnya hidup. Eti hanya berdo’a semoga kelak besar nanti, Eren tidak menjadi laki-laki pengecut seperti ayahnya.

Perjalanan bis yang Hamdan dan Eti tumpangi lancar melewati tol. Hanya sekian jam, mereka sudah sampai di kampung yang berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Fitri, ibu dari Eti, tentu senang saat mendapati anak, menantu dan cucunya pulang tanpa memberi kabar. Hanya saja firasatnya sebagai seorang ibu, merasa anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Itu karena menantunya kembali ke Jakarta pada sore hari. Biasanya, dia akan tinggal paling sebentar dua hari. Fitri hanya bisa menenangkan cucunya yang menangis tidak mau ditinggal.

“Eti, ibu boleh masuk?”

Suara ibunya membuyarkan lamunan Eti. Dia usap air mata yang menetes di pipinya. Eren sudah tidur dari tadi. Anak itu mungkin capek karena perjalanan atau karena menangis ditinggal ayahnya. Entahlah.

“Iya, bu. Buka aja pintunya, gak di kunci.”

Fitri muncul dan menatap Eren dan Eti bergantian. Dia duduk di tepi ranjang. Wajah Eti terlihat sembab dan pucat, jelas dia baru saja menangis.

Meski matanya terpejam, cucunya seperti masih ingin menangis dan memanggil ayahnya untuk jangan pergi. Diusap-usapnya kepala anak itu sampai wajah Eren nampak lebih tenang.

Eti hanya melihat kedua orang yang dia sayang dalam diam. Tatapannya kosong. Pikirannya seperti tidak ada di kamar ini.

“Ada masalah sama ayahnya Eren?” tanya Fitri sambil masih mengusap-usap kepala cucunya.

“Eti?” Fitri sampai harus bertanya dua kali melihat anaknya tidak merespon.

“Iya, bu. Eh, tadi nanya apa?”

Melihat anaknya tergagap, Fitri merasa iba. Sebagai seorang ibu, ia tentu mengerti anaknya ini memang sedang memiliki masalah.

“Namanya rumah tangga, pasti ada sedihnya, ada senangnya. Yang penting itu jangan sampai putus komunikasi.”

Senyum getir tersungging di wajah Eti. Baru dia sadari, dari semalam dia sering tersenyum seperti ini. Padahal kalau bisa, dia hanya ingin berteriak sekeras-kerasnya.

“Eti gapapa kok, bu. Mas Hamdan masih ada kerjaan, jadi dia gak bisa nginep.”

Alasan yang Eti ucapkan terdengar dibuat-buat. Fitri menyadari anak perempuannya ini terlihat lebih dewasa. Apa mungkin karena aura suram yang dia pancarkan?

Fitri beringsut duduk disebelah anaknya. Dia menarik kepala Eti kepelukannya. Tak lama kemudian, suara tangis memenuhi seisi kamar.

***

Perasaan Fitri benar-benar berbalik 180 derajat dibandingkan ketika melihat anak dan cucunya datang. Berita yang dibawa Eti benar-benar membuatnya kecewa.

Anaknya itu mantap untuk bercerai dengan ayahnya Eren. Eti mengatakannya setelah beberapa hari kemudian.

Fitri tidak mendapatkan jawaban yang pasti tentang alasan mereka harus bercerai. Anak itu hanya bilang pernikahan mereka sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

“Kenapa, Et? Kalau masih bisa diomongin baik-baik, kenapa kalian lebih memilih pisah? Eren masih kecil. Dia masih butuh ayahnya.”

Suara Fitri terdengar kesal. Dia sudah menanyakan alasannya berkali-kali tapi tidak digubris oleh anak itu. Dia sampai harus menyuruh suaminya pulang untuk ikut membantu merayu Eti agar tidak jadi cerai.

Andai ibu tahu alasan yang sebenarnya, mungkin sikapnya malah bisa berbalik mendukung. Tapi Eti sudah berjanji tidak akan membuat nama Hamdan jelek di mata kedua orangnya.

“Percayalah, bu. Mungkin ini memang sudah nasib Eti. Eti tahu apa yang Eti lakukan, ini adalah yang terbaik.”

Yang bisa dilakukan Fitri hanya menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti seburuk apa masalah anaknya sampai membuatnya menjadi keras kepala seperti ini.

“Pak, katakan sesuatu! Apa mau anakmu jadi janda?”

Suara Fitri terdengar gusar. Dia melihat kearah Gandi, suaminya yang masih merokok dengan santai dipojokan. Gandi segera mematikan rokoknya setelah merasakan tatapan tajam istrinya.

“Apa kamu sudah yakin, Et?” tanyanya.

“Iya, pak.”

“Bagaimana dengan Eren? Apa kamu siap dia besar tanpa asuhan ayahnya?”

Tidak ada jawaban keluar dari mulut Eti. Kalau bisa memilih, dia juga tidak ingin ini terjadi. Sebagai ibu Eren, tentu dia ingin yang terbaik untuk anaknya itu.

Dia sudah meminta Hamdan untuk memilih. Sayangnya, ayah dari anaknya ini lebih memilih wanita itu dan membiarkan dia menjadi janda. Kalau sudah begini, dia bisa apa?

“Iya, pak. Eti siap membesarkan Eren sendirian.”

**002**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status