Lintang menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang cukup ramai. Pria itu lalu keluar dari mobil dan membiarkan Hannah menangis sendirian. Satu hal yang terlintas di pikiran Lintang saat itu, Hannah membutuhkannya karena di rumahnya, dia tidak bisa menangis di hadapan Rania.Selang lima belas menit berlalu, Lintang mengetuk pintu di samping Hannah. Wanita itu tampak mengusap wajahnya lalu membukakan pintu. Keningnya mengerut melihat sebungkus es krim yang dibeli Lintang di ruko tak jauh dari mobilnya terparkir.“Makan es krim dulu, Bu. Mau makan sesuatu? Di dekat sini ada restoran yang enak,” tawar Lintang.“Terima kasih, Pak Lintang. Tapi saya mau pulang saja. Terima kasih juga es krimnya.”“Baik, Bu. Sama-sama.”Lintang segera memutari mobilnya dan masuk ke belakang kemudi. Pria itu juga menyodorkan tas plastik yang cukup besar selain es krim yang kini memenuhi kedua tangan Hannah. Ketika wanita itu memeriksa isinya, netranya nyaris melotot keluar.“Banyak banget, Pak. Bapak borong
“Pak Renan?!”Suara Lintang membuat sekuriti yang ikut mendorong brankar itu menoleh padanya. “Bapak kenal sama korban kecelakaan ini?”“Sebentar saya pastikan dulu, Pak.” Lintang mendekat untuk memastikan pria itu benar Renan atau bukan. Dan hatinya mencelos melihat wajah Renan penuh darah. “Saya kenal, Pak. Cepat bawa masuk.”“Kalau begitu, tolong hubungi keluarganya, Pak.”Lintang memejamkan matanya lalu mengeluarkan ponselnya. Berat rasanya menghubungi Hannah dan memintanya datang ke ruah sakit. Tapi Lintang harus segera mengabari keadaan Renan pada Hannah. Akhirnya pria itu mencari kontak Hannah dan menghubunginya.[“Halo, Pak Lintang. Ada apa ya?”]“Halo, Bu. Maaf mengganggu. Apa Ibu bisa ke rumah sakit sekarang?”[“Memangnya kenapa ya, Pak?”]Lintang terdiam, ragu untuk memberitahu tentang Renan. Otaknya berputar mencari sesuatu alasan yang masuk akal agar Hannah tetap datang dalam keadaan tenang.[“Halo, Pak Lintang? Bapak masih disana?”]“Iya, Bu. Maaf, sinyalnya sedikit jele
“Aku mengerti. Tolong kamu urus semuanya. Aku akan bicara dengan Ziana.” Mahanta menutup sambungan teleponnya lalu mendekat pada Ziana lagi.Sekali lagi Ziana bertanya pada Mahanta sambil menyentuh paha pria itu. “Kenapa, mas? Kok tegang gitu?”“Itu tadi Lintang bilang kalau Pak Renan akan segera pulang.”“Beneran? Kak Hannah pasti senang sekali. Lalu bagaimana dengan Dita? Apa polisi sudah menangkapnya?”“Aku belum terima kabar dari Arjuna. Coba nanti kuhubungi dia.” Mahanta berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Pria itu ingin memberitahu kondisi Renan pada Ziana, tapi takut istrinya itu akan mengalami syok. Saat ini Ziana perlu istirahat demi kesehatannya dan bayi di kandungannya.Ziana yang tidak tahu apa-apa, lanjut mengobrol dengan dokter Kavya. Sampai suster memberitahukan kalau ada pasien darurat yang butuh penanganan dokter wanita itu. Ziana dan Mahanta pun pamit lalu keluar dari ruang praktek dokter itu.“Kita langsung pulang ya. Kamu harus istirahat,” ucap Mahanta
Ziana menuntun Hannah keluar dari kamar untuk mengantar kepergian Renan. Mereka berjalan beriringan bersama Mahanta dan Lintang yang terus mengawal keduanya. Sedangkan si kecil Rania sengaja dibawa jalan-jalan oleh anak buah Mahanta.Kesedihan sangat kental terlihat di pemakaman saat Renan bersatu kembali dengan tanah. Air mata terus mengalir dari mata bening Hannah dan Ziana. Saat semuanya sudah selesai, Hannah menatap papan nisan bertuliskan nama Renan.“Mas, secepat ini kamu pergi. Kalau tahu akan seperti ini, aku nggak akan meninggalkanmu sendirian, mas,” sesal Hannah.“Sudah, kak. Kak Renan akan sedih kalau kakak terus menangis. Kita pulang ya. Kasihan Rania sendirian.”Bujukan Ziana membuat Hannah mau beranjak dari kuburan Renan. Sesekali Hannah menoleh kebelakang, menatap sendu pada tanah basah yang masih dihiasi bunga itu.Ketika mereka tiba kembali ke rumah Hannah, Rania sedang menunggu mereka. Gadis kecil itu tampak gembira dan buru-buru mendekati Hannah dan Ziana.“Mama, bu
“Tadi polisi menjelaskan kalau Pak Renan menjadi korban tabrak lari. Tubuhnya terpental sampai beberapa meter dari lokasi kejadian dan kepalanya terbentur trotoar jalan,” sahut Mahanta.“Tapi saksi mata mengatakan kalau Pak Renan menyebrang jalan dalam keadaan jalanan sedang sepi. Tiba-tiba mobil ini mendekatinya dengan kecepatan tinggi dan langsung menabraknya. Setelah menabrak, bukannya berhenti, malah kabur begitu saja,” lanjut Lintang.“Apa mobil yang menabrak kak Renan sudah diketahui pemiliknya?”“Saat ini polisi sedang melacak keberadaan mobil itu. Dari petunjuk CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian, mereka sudah memperkirakan rute pelarian mobil itu. Semoga saja kita segera menerima kabar baik.”Ziana mengangguk dan berharap pelaku tabrak lari Renan akan segera tertangkap. Setidaknya tidak ada korban lain yang senasib seperti Renan.~~~Beberapa hari kemudian, kondisi Hannah semakin baik dan sudah bisa menerima kepergian Renan. Wanita itu menyibukkan dirinya di toko kue dan
“Mama. Tumben banget. Ada apa ya?” “Jangan tanya aku. Cepat angkat,” pinta Ziana dengan wajah tegang. Perempuan itu segera beranjak dari tempat tidur dan mulai memunguti pakaiannya satu persatu. “Halo, mah. Kenapa?” [“Maha, cepat pulang sekarang. Ajak Ziana. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”] Mahanta hampir bertanya lagi, tapi Intan sudah menutup teleponnya lebih dulu. Pria itu menatap ponselnya yang sudah kembali ke layar semula dengan tatapan bingung. Ziana yang hampir masuk ke kamar mandi, menoleh ke arah Mahanta. “Kenapa, mas?” “Aku disuruh pulang... Sama kamu.” “Aku? Nggak salah?” Ziana bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan menginjakkan kaki di rumah besar keluarga Hirawan. “Disana ‘kan ada Nyonya Darisa.” “Aku juga bingung. Apa mama bermaksud mempertemukanmu dengan nenek.” Ziana menggeleng pelan dan tanpa sadar melangkah mundur selangkah. Membayangkannya saja membuat Ziana mulai gelisah. Jantungnya berdetak cepat dan keringat dingin membasahi punggungny
Mahanta membaca chat masuk terbaru yang muncul di notifikasi. Ada nomor asing yang mengirimkan informasi tentang pernikahan Ziana dan Mahanta. Bahkan ada foto-foto saat pernikahan mereka. Bukan hanya itu, tapi juga foto saat Ziana dan Mahanta menemui dokter Kavya di rumah sakit.“Apa nenek kenal dengan orang yang mengirimkan semua ini?” tanya Mahanta sambil memperlihatkan chat itu ke arah nenek Darisa.“Mana nenek tahu? Nomornya saja tidak tersimpan. Lupakan siapa pengirimnya. Kamu harus segera bercerai dengan perempuan rendahan itu, Maha,” sahut nenek Darisa sengit.“Nenek! Sudah kubilang jangan menghina Ziana. Dia yang pertama untukku dan begitu juga aku untuknya. Aku sangat yakin anak di dalam kandungannya memang adalah putraku.”Intan dan Hasan mencoba melerai situasi yang mulai panas antara Mahanta dan nenek Darisa. Tapi mereka juga bingung karena nenek Darisa bisa pulih dengan cepat, setelah sebelumnya mengeluh kepalanya sakit.“Kamu membentak nenek, Maha?! Demi perempuan tidak
“Aku tidak mau membahasnya. Tapi aku yakin kamu sudah tahu apa yang keluargaku inginkan.” Ziana menghela nafas panjang, lalu menatap Mahanta yang terlihat sedih. Diusapnya lembut pipi Mahanta yang terasa dingin. “Kita masuk dulu yuk. Tadi kak Hannah membuat lemper untukmu.”Mereka lalu masuk ke rumah Hannah dan disambut keceriaan Rania. Setidaknya kesedihan mereka karena beratnya menunggu restu dari orang tua Mahanta bisa sedikit terobati.~~~Enam bulan kemudian, Ziana sedang berjalan-jalan di halaman mansion Tomo ketika sebuah mobil memasuki pintu gerbang mansion itu. Perempuan itu mengusap perut besarnya dengan lembut. Sambil menahan nyeri di pinggangnya. Sejak seminggu terakhir ini Ziana sering merasa nyeri karena pergerakan bayinya yang semakin turun ke jalur lahirnya.“Siapa yang datang ya?” gumam Ziana lalu berjalan menuju pintu depan.Mobil itu berhenti di depan pintu dan sopirnya keluar dari sana. Kedua netra Ziana membola saat melihat nenek Darisa keluar dari mobil setelah s