Mahanta membaca chat masuk terbaru yang muncul di notifikasi. Ada nomor asing yang mengirimkan informasi tentang pernikahan Ziana dan Mahanta. Bahkan ada foto-foto saat pernikahan mereka. Bukan hanya itu, tapi juga foto saat Ziana dan Mahanta menemui dokter Kavya di rumah sakit.“Apa nenek kenal dengan orang yang mengirimkan semua ini?” tanya Mahanta sambil memperlihatkan chat itu ke arah nenek Darisa.“Mana nenek tahu? Nomornya saja tidak tersimpan. Lupakan siapa pengirimnya. Kamu harus segera bercerai dengan perempuan rendahan itu, Maha,” sahut nenek Darisa sengit.“Nenek! Sudah kubilang jangan menghina Ziana. Dia yang pertama untukku dan begitu juga aku untuknya. Aku sangat yakin anak di dalam kandungannya memang adalah putraku.”Intan dan Hasan mencoba melerai situasi yang mulai panas antara Mahanta dan nenek Darisa. Tapi mereka juga bingung karena nenek Darisa bisa pulih dengan cepat, setelah sebelumnya mengeluh kepalanya sakit.“Kamu membentak nenek, Maha?! Demi perempuan tidak
“Aku tidak mau membahasnya. Tapi aku yakin kamu sudah tahu apa yang keluargaku inginkan.” Ziana menghela nafas panjang, lalu menatap Mahanta yang terlihat sedih. Diusapnya lembut pipi Mahanta yang terasa dingin. “Kita masuk dulu yuk. Tadi kak Hannah membuat lemper untukmu.”Mereka lalu masuk ke rumah Hannah dan disambut keceriaan Rania. Setidaknya kesedihan mereka karena beratnya menunggu restu dari orang tua Mahanta bisa sedikit terobati.~~~Enam bulan kemudian, Ziana sedang berjalan-jalan di halaman mansion Tomo ketika sebuah mobil memasuki pintu gerbang mansion itu. Perempuan itu mengusap perut besarnya dengan lembut. Sambil menahan nyeri di pinggangnya. Sejak seminggu terakhir ini Ziana sering merasa nyeri karena pergerakan bayinya yang semakin turun ke jalur lahirnya.“Siapa yang datang ya?” gumam Ziana lalu berjalan menuju pintu depan.Mobil itu berhenti di depan pintu dan sopirnya keluar dari sana. Kedua netra Ziana membola saat melihat nenek Darisa keluar dari mobil setelah s
“Kavya, apa yang terjadi pada Ziana?” tanya Mahanta mencoba mencari tahu tentang kondisi Ziana.“Maha, tunggu di luar. Aku harus segera memeriksa Ziana,” pinta dokter Kavya.Seorang perawat mendorong Mahanta agar keluar dari ruang bersalin. Mahanta yang tidak ingin beranjak, terpaksa keluar setelah melihat perawat lain memasang jarum infus di pergelangan tangan Ziana. Diluar ruang bersalin, Mahanta bertemu dengan Lintang yang datang bersama Hannah dan Rania.“Pak Maha, bagaimana dengan Ziana?” tanya Hannah cemas. Wanita itu terkejut saat Lintang menjemputnya dan memberitahu tentang kondisi Ziana.“Dokter Kavya sedang memeriksanya. Ziana sudah melahirkan. Bayinya laki-laki.”Jawaban Mahanta tidak lantas membuat Hannah tenang. Pasalnya ekspresi pria itu masih terlihat sangat cemas. Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Seorang perawat yang datang membawa kantung darah, segera masuk ke ruang bersalin tanpa menghiraukan Mahanta.“Kenapa ada kantung darah?
Tomo dan Juwita tampak sumringah ketika melihat bayi tampan itu. Walaupun terhalang kaca jendela besar, tapi tidak membuat senyum keduanya surut. Tomo terus mengacungkan jempolnya memuji bayi laki-laki yang masih betah terlelap.Usai melihat bayi Ziana, Tomo, Juwita, dan Mahanta pun berjalan menuju ruang ICU. Hannah, Lintang, dan Rania tampak duduk di depan ruangan sambil sesekali mengobrol. Mereka berdiri ketika melihat Mahanta dan kedua orang tua itu mendekat.“Bagaimana, Pak Maha? Apa kata dokter?”“Ziana kehilangan banyak darah dan butuh istirahat total. Bu Hannah tenang saja ya,” sahut Mahanta lalu menatap Lintang. “Lintang, aku perlu bicara denganmu.”Mahanta mengajak Lintang menjauh bersama Tomo juga. Pria itu baru berhenti setelah mereka sampai di ujung lorong ruang ICU. Sebelum bicara, Mahanta melirik ke arah Hannah, Juwita, dan Rania.“Ada apa, Maha? Kenapa serius sekali?” tanya Tomo.“Om sudah dengar sendiri dari dokter Kavya ‘kan? Sekarang kita harus mencari tahu siapa yan
“Mama? Sedang apa mama disini?” tegur Juwita sambil memutar tubuhnya menghadap nenek Darisa.“Bukan urusanmu, Juwita.”Juwita kembali menatap Ziana yang terlihat enggan. Ziana tampak melindungi bayi di gendongannya saat nenek Darisa berjalan mendekatinya. Dengan cepat Juwita berdiri di antara nenek Darisa dan brankar Ziana.“Minggir, Juwita. Jangan ikut campur.” Nenek Darisa menatap tajam pada Juwita yang tetap tidak mau menyingkir dari hadapannya.“Tidak, mah. Aku tidak bisa membiarkan mama mendekat lebih dari ini.”“Kurang ajar! Tidak tahu sopan santun! Minggir!”Nenek Darisa melotot kesal pada Juwita dan melayangkan tangannya ke wajah wanita itu. Tapi sebelum tangan itu sampai di pipi Juwita, wanita itu menahan tangan nenek Darisa. Tatapan tajam Juwita tidak berkurang sedikit pun pada wanita tua itu.“Jangan coba-coba menyentuh anakku lagi. Apa mama tidak malu? Mama tega meninggalkannya sendirian disaat seharusnya mama membantunya. Apa mama pikir nyawa Ziana dan bayinya tidak penti
“Apa dia baik-baik saja, bunda?” tanya Ziana membuat Juwita menatapnya tidak mengerti. “Seharusnya iya ‘kan. Bebannya sudah terangkat sekarang. Jadi pastinya keadaannya baik-baik saja.”Ziana kembali menekuni huruf braille di depannya meskipun pikirannya tidak lagi fokus. Secara fisik, kondisinya memang sudah membaik. Tapi hati dan pikirannya masih memikirkan alasan kepergian Mahanta. Ziana butuh penjelasan, tapi dia merasa akan sia-sia saja.“Sayang, apa kamu mau bicara dengan Maha?”“Untuk apa, bunda? Untuk dikecewakan lagi? Aku ini terlalu bodoh, bunda. Sejak awal, hubungan kami memang sudah salah. Seharusnya aku sadar diri dan menolaknya terus. Tapi apa? Aku jatuh lagi di lubang yang sama.”Ziana tertawa miris dengan air mata membasahi pipinya. Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah boks bayi berwarna biru muda di dekatnya, sebelum menghela nafas panjang.“Bahkan dia tidak mau menerima putranya yang istimewa. Dia malu mengakui darah dagingnya sendiri. Jadi aku tidak punya ala
Suara panggilan terputus membuat Mahanta sadar dirinya tidak lagi bisa mendengar suara Ziana sekarang. Tubuhnya bersandar pada kursi kerjanya yang nyaman, tapi saat ini terasa sekeras batu karang baginya. Nafasnya terasa sangat sesak seolah paru-parunya diremas dengan sangat kuat.Mahanta mengusap wajahnya kasar lalu menegakkan tubuhnya kembali. Pria itu mengetuk meja kerjanya dengan ujung jari lalu meraih gagang telepon di dekatnya. Mahanta meminta Lintang untuk masuk ke ruang kerjanya.“Ada apa, bos?” tanya Lintang setelah pria itu masuk.“Bagaimana perkembangan proyeknya? Apa sudah ada progress yang masuk?”Lintang terdiam sejenak, lalu mengangguk paham dengan maksud Mahanta. “Belum ada, bos. Aku sudah menanyakan progressnya tapi mereka belum memberi kita jawaban.”“Cepat hubungi mereka. Deadline semakin dekat tapi kita belum mendapatkan informasi apapun,” titah Mahanta dengan ekspresi dingin. “Panggil semua manajer. Kita harus meeting sore ini.”“Baik, bos.”Sepeninggal Lintang, M
Tomo mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang yang berada di dalam mobil itu.“Maha, kamu dimana?” tanya Tomo to the point.[“Aku ada di kantor, om. Ada apa?”]“Jangan bohong. Kalau kamu memang di kantor, bagaimana bisa mobilmu ada di depan mansion om? Kamu mau mampir? Makan malam hampir siap.”Hening. Tidak ada jawaban dari Maha membuat Tomo memperhatikan ponselnya. Sambungannya masih ada, tapi Maha memang tidak mengatakan apapun. Tomo pun menghela nafas panjang.“Om tahu kamu sedang ada masalah yang tidak bisa kamu katakan pada orang lain. Tapi ini darurat, Maha. Ziana sudah siap bercerai dari kamu. Apa kamu sanggup berpisah dengannya?”[“Tolong aku, om.”]Tomo terdiam mendengar suara nyaris tercekik yang terdengar sangat menyedihkan dari Mahanta. Pria paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke arah mobil hitam yang masih terparkir di tempatnya semula. Sejurus kemudian, ia mendengar suara tangisan menyayat hati yang sama pergi seperti yang di dengarnya dari Ziana tadi.“Om