“Oh.” Hanya itu reaksi yang terdengar dari Ziana. Perempuan itu bahkan tidak merubah ekspresi wajahnya dan tetap tenang sampai risolesnya habis.“Apa kamu nggak nanya, dia sakit apa?”“Aku bukan dokter. Nggak guna kutanya penyakitnya. Toh, aku nggak tahu obatnya.”“Kamu salah, Na. Kamu adalah obat terbaik untuknya. Maha sangat mencintaimu dan__”“Sepertinya lempernya sudah jadi. Cepat diantarkan sebelum dingin,” potong Ziana lalu mendekati dispenser air. Perempuan itu meneguk segelas air hingga tandas, lalu mengisi gelasnya lagi.Lintang saling pandang dengan Hannah yang memegang paper bag berisi lemper buatannya. Perlahan Hannah menyodorkan paper bag itu pada Lintang lalu memberi tanda agar mereka bicara diluar. Tanpa berpamitan dengan Ziana, Lintang berjalan mengikuti Hannah.“Maafkan sikap Ziana ya. Masalah ini sangat berat baginya. Meskipun aku juga belum tahu apa yang membuat Pak Maha berubah begini.”“Aku mengerti, Hannah. Aku juga tidak bermaksud memaksa Ziana atas Maha. Aku ha
“Tidak. Jangan. Sss...” Ziana mencoba menolak sambil terus menahan rasa sakitnya. Tapi Mahanta sudah melucuti penutup atas tubuhnya. Refleks Ziana menyilangkan kedua tangan di depan tubuhnya. Pandangan mereka kembali bertemu sebelum Mahanta melahap pucuk dada Ziana.Kedua tangan Ziana masih berusaha mendorong Mahanta agar menjauh. Tapi rasa sakitnya bertambah saat pucuk dadanya ikut tertarik.“Ach! Sakit!” desis Ziana lalu memalingkan wajahnya tidak mau menatap Mahanta.Tubuh Ziana merinding ketika perlahan bengkak di kedua bukit kembarnya mulai berkurang. Meriang yang sempat dirasakannya perlahan mulai menghilang. Meskipun sesekali masih terasa panas dingin, setidaknya kondisinya tidak separah tadi.Ziana menggigit bibir bawahnya merasakan sensasi lain yang tiba-tiba muncul. Nafasnya mulai memburu hingga wajahnya merona merah. Terlebih Mahanta sepertinya belum mau menyudahi perlakuannya pada pucuk dada Ziana.Perutnya juga terasa nyeri dan ada cairan panas yang terus keluar dari bagi
“Ah, nggak, Maha. Tante cuma mau nanya apa kalian sudah makan? Kalau belum, biar maid yang mengantar makanan untuk kalian,” ucap Juwita salah tingkah sambil mencoba mengintip ke dalam kamar.“Ziana sedang mandi, tante. Sekalian aku mau minta ijin menginap disini malam ini.”“Loh, ini juga rumahmu, Maha. Kenapa minta ijin segala. Memangnya kalian sudah baikan ya?”Mahanta menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. Dia sampai lupa kapan terakhir kali keramas. “Belum sih, tante. Aku lagi usahakan.”“Makanya jujur kalau ada masalah. Sikap diammu dan menghindar dari masalah hanya akan membuat Ziana salah paham. Lalu ujung-ujungnya apa? Ziana sampai minta cerai ‘kan?”“Aku belum bisa cerita sekarang, tante. Secepatnya...”Tiba-tiba Mahanta menghentikan ucapannya ketika melihat seseorang yang familiar keluar dari dapur. Pria itu memundurkan tubuhnya ke dalam kamar hingga hanya kepalanya saja yang terlihat. Ditariknya tangan Tomo masuk ke dalam kamar, lalu tangan Juwita hingga kini mereka berada
“Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Bayi itu, anak kita, mas,” sambung Ziana yang mulai menangis sedih.Mahanta semakin panik lalu berlutut di hadapan Ziana sambil memegang tangannya. “Maafkan aku, sayang. Sungguh, aku juga memaki diriku sendiri karena bersikap egois seperti itu. Tapi akhirnya aku memilih mengikuti kemauan penculik itu.”“Apa kamu tahu siapa penculik itu, Maha?” tanya Juwita.“Sherena. Apa om benar?”Jawaban Tomo membuat Mahanta mengangguk cepat. “Aku berhasil mendapatkan petunjuk dari perawat yang membersihkan bayi kita saat itu. Dia mengatakan kalau salah satu temannya bertemu diam-diam dengan Sherena. Aku juga sudah memeriksa rekaman CCTV di rumah sakit saat itu. Sherena datang ke ruang bayi dengan memakai pakaian pasien, bersama perawat yang menggendong seorang bayi. Dan keluar lagi masih dengan formasi yang sama.”“Apa itu artinya Sherena menukar bayi kalian saat itu?”“Iya, om. Hanya itu kesempatannya.” Mahanta kembali beralih menatap Ziana yang masih sesengguk
“Dia bisa libur satu kali seminggu dan biasanya menyesuaikan jadwal dengan Ziana. Untuk minggu ini, besok liburnya. Biasanya dia pergi keluar mansion pagi-pagi sekali dan baru kembali setelah makan malam,” sahut Juwita.“Kalau begitu, aku akan mengatur seseorang untuk mengikutinya. Dan kalau kita beruntung, mungkin kita bisa menemukan dimana Sherena menyembunyikan bayi kami.”Mahanta kembali menggenggam tangan Ziana yang buru-buru menarik tangannya kembali. “Cepat pergi sana. Aku akan melihat apa yang dilakukan pengasuh itu alias Sherena.”“Hati-hati, sayang. Kita semua tahu kalau Sherena sangat licik. Dia bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.”Mahanta pun terpaksa meninggalkan mansion itu meskipun hatinya masih tidak tenang. Membiarkan Ziana dan Sherena dalam satu atap, sama saja mengumpankan Ziana ke mulut harimau.Sepeninggal Mahanta, Ziana mendekati kamar Ananda. Perempuan itu sengaja tidak mengungkapkan kehadirannya demi mengetahui apa yang sedang dikerjakan pengasuh
“Bos, buka pintunya, bos. Saya mau laporan,” ucap salah anak buah Lintang yang menempel seperti cicak di kaca mobil pria itu.Lintang segera membuka kunci mobilnya lalu membiarkan anak buahnya masuk. Mereka mendengarkan laporan tentang orang yang tinggal di rumah tempat pengasuh Rena masuk tadi.“Selain pengasuh itu, ada dua wanita lain yang tinggal dan seorang bayi. Mereka sudah tinggal disana sejak sebulan yang lalu. Dan sebelumnya ada salah satu dari wanita itu yang hamil besar,” ucap anak buah Lintang.“Lalu, wanita itu melahirkan bayi yang menangis tadi?” tebak Lintang.“Iya, bos. Kok bos tahu?”“Jangan ngelawak. Cepat bilang, apalagi yang kamu dengar?”“Tetangga mereka bilang kalau mereka akan pindah besok.”Mahanta dan Lintang saling pandang lalu mengangguk pelan. Mereka harus bertindak cepat dan menyelamatkan bayi itu sebelum terlambat. Lintang segera mengumpulkan anak buahnya untuk melakukan penyergapan malam ini juga.~~~Ziana menunggu dengan cemas setelah mendapat kabar da
“Mereka berhasil dilumpuhkan. Tapi Sherena berhasil kabur. Sepertinya kita akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi setelah ini,” ucap Mahanta sambil melirik Ananda.“Apa maksudmu, mas?”“Aku hanya menebaknya saja. Terlebih nenek Darisa masih sangat menginginkan aku menikah dengan Sherena. Entah apalagi yang akan Sherena rencanakan sekarang.”“Aku rasa dia tidak akan bertindak ceroboh. Senjatanya saja ditinggal disini. Bisa-bisanya dia menukar bayi kalian dengan bayinya sendiri. Sekarang apa yang akan kita lakukan pada Ananda?” tanya Tomo.“Apa maksud, ayah? Ananda akan tetap bersama kita. Dia masih bayi, ayah. Aku akan merawatnya.”Mahanta, Tomo, Juwita, dan Lintang saling pandang, sebelum Tomo bicara lagi. “Kamu yakin, Ziana? Ananda itu bayinya Sherena ‘loh.”“Aku tahu, ayah. Tapi dia tidak bertanggung jawab terhadap perilaku orang tuanya. Kalau memang Sherena ingin mengambil Ananda, aku tidak keberatan sama sekali.”“Ya sudah. Yang dikatakan Ziana ada benarnya. Apa hasil test
“Bunda paham kecemasanmu. Tapi mereka melakukannya untuk menghentikan Sherena. Wanita itu sudah banyak sekali menyakiti orang lain, termasuk keluargamu, Ziana. Seseorang harus menghentikannya dan menjebloskan dia ke penjara.”“Bunda tahu ceritanya?”“Maha sudah menceritakan semuanya. Bunda pikir, kelakuan Sherena hanya sebatas sikapnya yang sombong dan arogan. Tapi ternyata lebih parah dari itu. Pertama toko kuenya Hannah, lalu kakak iparmu difitnah ‘kan? Belum lagi kematian kedua orang tuamu dan kakak iparmu itu juga.”“Apa, bunda?”Juwita langsung gelagapan menyadari dirinya sudah keceplosan. Mahanta memang menceritakan semuanya tentang perbuatan Sherena termasuk dugaan kematian orang tua Ziana, dan Renan yang berhubungan dengan Sherena. Tapi Mahanta meminta Juwita merahasiakan bagian kematian ketiga keluarga terdekat Ziana itu.“Bunda, apa maksud ucapan bunda tadi? Sherena ada hubungannya dengan kematian kedua orang tuaku dan kak Renan? Darimana bunda tahu itu? Katakan, bunda,” des