Tiga tahun yang lalu...
Plakk..
Sebuah tamparan menggema di sebuah kamar, jeritan tangis seorang bayi terdengar semakin keras karena melihat ibunya di perlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. Wajah wanita itu memerah, bibirnya terlihat lebam dan ujung bibir terlihat robek. Sudut bibir itu berdarah, rambut wanita itu acak-acakan. Tak berhenti disitu, pria itu kembali mencekik istrinya dengan kebencian. Merapatkannya ke tembok kamar, air mata wanita itu meleleh dengan sendirinya. Ia tak dapat berkata sepatah kata pun. Sakit, itu yang ia rasakan saat ini. Pria itu tak memperdulikan jerit tangis anak mereka yang masih berumur satu tahun. Ia terus mencekik istrinya serta mengucapkan kata kasar dan penghinaan yang menyakitkan.
"Dasar wanita jalang! Dasar murahan! Aku akan membunuhmu!" Bayu terus mencekik Dinda dengan amarah yang telah menguasainya.
"Am.. puun.. aaa.. ku tak ber..salah." Suaranya terengah-engah di sela cekikan Bayu yang seperti sedang kesetanan. Dinda mencoba menjelaskan, tapi Bayu tak pernah mendengarkan penjelasan apapun dari mulut Dinda. Bayu tak melepaskan tangannya dari leher wanita yang masih sah menjadi istrinya.
Pintu kamar terbuka, terlihat beberapa orang terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
"Bayu lepaskan!" Teriak seorang pria seraya berlari mendekati keduanya. Seorang wanita yang merupakan Ibu Bayu ikut masuk dan menggendong putri mereka yang menjerit menangis sedari tadi. Pria yang merupakan tetangga mereka itu, menarik Bayu ke belakang. Melepaskan cekikan Bayu di leher Dinda,
"Bayu istighfar! Kamu bisa membunuh Dinda!" Pria itu menarik tangan Bayu untuk menjauh.
"Biarkan aku membunuh wanita jalang itu! Biar dia tau siapa aku!" Teriaknya seraya berusaha melepaskan cekalan tangan tetangganya.
"Sudah Bayu! Ceraikan saja wanita tidak tau diri itu. Ibu tidak mau kamu masuk penjara hanya karena wanita jalang itu. Ceraikan dia Bayu!" Jerit Ibu Bayu dengan emosi yang tinggi.
"Kak, aku tidak punya hubungan apapun dengan Pak Bambang." Dinda mencoba menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Selama ini, Bayu sering mengamuk dan berkata kasar jika sedang marah. Dia selalu cemburu buta, tanpa mendengarkan penjelasan apapun. Terlebih Ibu Bayu yang selalu menjelekkan Dinda di depan Bayu.
"Sudahlah Bayu. Jangan dengarkan wanita jalang ini! Biarkan dia bebas berkeliaran dengan pria manapun yang dia mau. Aku pun tidak sudi jika lebih lama mempunyai menantu seperti dia!" Ucap Ibu Bayu dengan sinis. Ia masih menggendong cucunya yang tak berhenti menangis.
"Keluar kau dari rumah ini! Dasar wanita murahan!" Ibu Bayu mengusir Dinda tanpa belas kasih. Di saksikan beberapa tetangga yang bergerombol ingin tahu. Mereka menonton adegan menyedihkan itu dengan sangat antusias.
"Bu.." Dinda memelas, memohon belas kasih dari mertuanya.
" Jangan pernah panggil aku Ibu! Aku bukan Ibumu! Ibumu sudah membusuk dalam tanah!" Ujar mertuanya dengan bengis. Wajahnya penuh dengan kebencian. Hati Dinda sangat sakit mendengar ucapan mertuanya. Cukup sudah selama ini ia selalu dihina dan di maki, hidup dua tahun serumah dengan mertua yang membencinya. Tak ada pembelaan dari Bayu, ia hanya menatap Dinda dengan mata memendam amarah yang belum surut. Selama ini pun, tak pernah sekalipun Bayu membela Dinda jika Ibunya memaki Dinda. Jika Dinda berbagi cerita, Bayu akan cepat marah bahkan membanting barang yang ada di dekatnya. Hal itulah yang membuat Dinda menyimpan lukanya sendiri karena percuma jika ia berbagi lukanya pada suami yang diharapkan bisa menjadi tempat ternyaman baginya. Yang ada, hanya akan memperbesar masalah dan menambah luka.
"Baik, aku akan pergi. Dari awal, aku memang tak pernah di terima disini."
"Bagus. Pergi sekarang juga dan jangan pernah kembali!" sahut Ibu mertuanya dengan angkuh.
Tak ada pembelaan sama sekali dari Bayu. Ia hanya memandang Dinda kebencian yang menggunung. Tak ada rasa iba ketika melihat perempuan yang telah hidup bersamanya selama beberapa tahun ini. Yang tinggal di hatinya hanya kebencian yang dan hasrat ingin membunuh wanita itu.
Dinda pergi. Seraya menggendong putri semata wayangnya hasil pernikahan dengan Bayu. Membawa serta luka yang ditorehkan oleh Bayu dan Ibunya. Tak pernah ia menyangka sebelumnya, orang yang teramat ia cintai akan membuatnya menjadi seperti ini.
Orang yang ia harapkan untuk membuatnya bahagia, ternyata hanya memberi luka dan trauma yang mendalam. Ia tak mengerti mengapa Bayu berubah setelah menikah, janji tinggallah janji. Janji akan melindungi hanyalah omong kosong. Justru Bayu lah yang menjadi penyebab Dinda tersakiti. Bukan hanya fisik, tapi juga batin yang sangat sulit di obati.
Seorang wanita muda menatap bocah yang ada dalam pelukannya, membelai rambut putri kesayangannya dengan lembut. Hatinya teriris mengenang kejadian tiga tahun lalu, dimana rumah tangganya hancur begitu saja hanya karena kesalahpahaman dan suami yang cemburu buta. Wanita muda itu ialah Dinda Fitriah, yang tiga tahun silam mendapatkan perlakuan buruk oleh mantan suami dan Ibu mertuanya. Meskipun Dinda berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, tapi ia selalu salah di mata mereka. Kini, ketika ia sudah baik-baik saja dan bahagia, mantan suaminya kembali dan mengusik kehidupannya. Ingin merajut kembali cinta yang telah hancur disaat Dinda mati-matian menghilangkan rasa trauma akan cinta.
"Aku mohon maafkan aku, Din. Aku sudah berubah, aku tidak akan kasar lagi padamu Din" ucap Bayu sang mantan suami yang tiga tahun silam menyakitinya. Entah ada angin apa, siang ini pria itu mengunjungi kediamannya. Lebih tepatnya rumah Ayahnya, karena setelah kepergiannya dari rumah orangtua Bayu, Dinda tinggal bersama Ayahnya dan Nadira anak hasil pernikahannya dengan Bayu.
"Maaf, aku tidak bisa." Jawab Dinda dingin. Luka yang ia torehkan belum sepenuhnya sembuh, apakah ia tega menambah luka baru di hati Dinda? Dinda tak habis pikir dengan mantan suaminya itu.
"Ini demi Nadira. Apa kamu tidak kasihan dengan Nadira yang tumbuh tanpa seorang Ayah?"
Dinda tersenyum sinis.
"Kasihan? Aku lebih kasihan jika mempunyai Ayah seperti kamu!" ucap Dinda dengan lantang dan sangat menusuk. Masih teringat jelas bayangan ketika Bayu marah, Nadira yang masih sangat kecil menjadi pelampiasan kemarahannya. Tubuh kecil itu harus menahan rasa sakit akibat pukulan Ayahnya.
Sungguh, hati Dinda masih sakit sampai sekarang. Dia rela ketika di pukul atau dimaki oleh Bayu, tapi ia tak akan rela jika anaknya juga mendapatkan perlakuan buruk dari Bayu Ayah kandungnya.
"Aku janji akan berubah! Aku akan menyayangi kalian, aku tidak akan menyakiti kalian." Bayu meraih jemari Dinda, tapi dengan cepat Dinda menepisnya.
"Jangan pernah sentuh aku!" Dinda memperingatkan. Melihat wajah Bayu saja ia sudah merasa jijik, apalagi jika harus di sentuh oleh pria itu.
Wajah Bayu terlihat memerah menahan marah, tapi Bayu dengan cepat berusaha menguasai diri. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak seperti dulu lagi. Ia ingin Dinda kembali padanya, ia sangat menyesal dan merasakan bahwa hidupnya hampa tanpa Dinda dan Nadira.
Di sebuah cafe, Dinda duduk di sebuah meja dekat jendela. Sesekali ia menyesap minuman yang telah ia pesan sebelumnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang ada didalam genggamannya. Mencoba menghubungi seseorang yang telah berjanji temu dengannya disini. Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga tak menyadari ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke mejanya. Cukup lama pria itu berdiri disana, tapi Dinda masih tak menyadari dan terus mengotak-atik benda pipih itu. "Eheem.." pria itu berdehem. Berharap Dinda akan menyadari keberadaannya dan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Tapi tampaknya Dinda terlalu fokus dan tak menghiraukan deheman pria asing itu. Pria itu terpejam seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya, dan mencoba menyapa. "Apakah saya boleh duduk disini, Nona?" Tanya pria itu sopan. Dinda mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sebentar dari layar pons
"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara. Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. "Mas.. kamu sudah sampai?" Dinda segera berdiri menghampiri kekasihnya yang sedang di kuasai rasa cemburu. "Siapa pria itu?" Tanya Alvian dingin. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat Dinda bergidik ngeri. Ia sangat mengenal sikap posesif kekasihnya, sehingga ia harus segera membuat segala hal menjadi baik. "Duduk dulu mas, biar ku jelaskan." Alvian mendaratkan bokongnya dengan kasar, matanya tak lepas dari wajah cantik Dinda yang kini berubah menjadi pucat. Dinda takut jika mereka akan bertengkar, atau bahkan putus. Sungguh Dinda sangat mencintai pria yang saat ini bersamanya. Ia tak akan bisa membayangkan jika hubungan mereka akan berakhir. &nbs
Suara lenguhan dan desah kenikmatan memenuhi kamar kontrakan Alvian. Setelah bercinta di dapur, Alvian membawa Dinda ke kamar dengan menggendong wanita itu tanpa melepaskan penyatuan mereka. Tubuh Dinda yang mungil memudahkan pria itu membawa kekasihnya. Tinggi Dinda hanya sebatas bahu Alvian yang memang mempunyai postur tubuh yang tinggi.Kini mereka bercinta di atas ranjang yang empuk. "Kamu sangat luar biasa sayang." Alvian masih terus menyatukan miliknya dan milik Dinda. Hingga keduanya mencapai klimaks dan cairan kenikmatan itu tumpah dalam rahim Dinda. "Aku mencintaimu." Alvian mencium kepala Dinda dengan sayang seraya tersenyum. Hal itu tak pernah ia lupakan setelah mereka selesai bercinta. "Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum. Alvian menyatukan kening mereka seraya mengatur nafas yang terengah tanpa melepaskan miliknya yang masih berada dalam milik Dinda. Cairan itu terasa
Dinda memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Avanza berwarna putih yang terparkir di halaman rumah. Dinda sudah kenal betul siapa pemilik mobil itu, sehingga ia melangkah malas menuju rumah menyusul Nadira yang sudah berlarian terlebih dulu. Tadi Alvian mengantarkan Dinda kerumah kakaknya untuk menjemput Nadira yang berada disana. Sebelumnya, Nadira tak ingin ikut ke cafe karena ia ingin bermain dengan sepupunya. Sehingga Dinda terpaksa meninggalkan Nadira di rumah kakaknya begitu pula dengan motor maticnya. "Ada apalagi bajingan itu kerumah."gumam Dinda kesal. "Ayah." suara Nadira terdengar sampai keluar rumah, mengganggu indera pendengaran Dinda. "Assalamualaikum," Dinda mengucap salam, yang ada di dalam menjawab salam dengan serempak. Terlihat Nadira yang sudah berada dalam pangkuan mantan suaminya dengan wajah senang. Dinda meraih tangan Bapaknya lalu mencium punggung tangan pria yang sudah beruba
"Ada satu yang tidak kamu miliki dan Al memiliki itu." "Apa? Apa karena dia lebih muda? Dia bisa memuaskan mu diatas ranjang? Begitukah? Tenang saja Dinda sayang, aku akan memuaskan mu!" Bayu tersenyum penuh damba, ia berjalan mendekat. Dinda berdecih. Yang ada di otak pria ini hanya selangkangan saja. "Kamu tidak memiliki hati yang tulus seperti Al. Dan kamu tenang saja, Nadira lebih bahagia bersama Al daripada bersama Ayah kandungnya!" Bayu menatap Dinda dengan geram, tangannya terkepal menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Ia memejamkan mata, menarik nafas perlahan lalu menghembuskanya. "Kenapa kamu selalu menguji kesabaranku?" Bayu membuka matanya, menatap Dinda dengan emosi yang membara. Ingin sekali rasanya pria itu meledak. Sifatnya yang emosian itulah membuat Dinda tidak betah hidup bersa
Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik."Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda."Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda."Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan."Apa sih. Nggak percaya ya udah,
Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan. Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang te
Jangan membencinya!Karena itu hanya akan membuat hatimu semakin terikat dengannya. Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian.Menyadari raut wajah Alvian yang berubah, Dinda menghentikan ceritanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,lalu memegang lengan Alvian dengan lembut."Mas," panggil Dinda pelan.*Kenapa berhenti? Lanjutkan!" ujar Alvian dingin."Mas, kamu baik-baik saja?"Alvian mengangguk. "Teruskan!" ujarnya.Dinda menelan Saliva dengan susah payah, ia merasa akan ada perang sebentar lagi. Set