“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
Tiga tahun yang lalu... Plakk.. Sebuah tamparan menggema di sebuah kamar, jeritan tangis seorang bayi terdengar semakin keras karena melihat ibunya di perlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. Wajah wanita itu memerah, bibirnya terlihat lebam dan ujung bibir terlihat robek. Sudut bibir itu berdarah, rambut wanita itu acak-acakan. Tak berhenti disitu, pria itu kembali mencekik istrinya dengan kebencian. Merapatkannya ke tembok kamar, air mata wanita itu meleleh dengan sendirinya. Ia tak dapat berkata sepatah kata pun. Sakit, itu yang ia rasakan saat ini. Pria itu tak memperdulikan jerit tangis anak mereka yang masih berumur satu tahun. Ia terus mencekik istrinya serta mengucapkan kata kasar dan penghinaan yang menyakitkan. "Dasar wanita jalang! Dasar murahan! Aku akan membunuhmu!" Bayu terus mencekik Dinda dengan amarah yang telah menguasainya. "Am.. puun.. aaa.. ku tak ber..salah." Suaranya terengah-engah di sela cekikan Bayu yang se
Di sebuah cafe, Dinda duduk di sebuah meja dekat jendela. Sesekali ia menyesap minuman yang telah ia pesan sebelumnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang ada didalam genggamannya. Mencoba menghubungi seseorang yang telah berjanji temu dengannya disini. Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga tak menyadari ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke mejanya. Cukup lama pria itu berdiri disana, tapi Dinda masih tak menyadari dan terus mengotak-atik benda pipih itu. "Eheem.." pria itu berdehem. Berharap Dinda akan menyadari keberadaannya dan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Tapi tampaknya Dinda terlalu fokus dan tak menghiraukan deheman pria asing itu. Pria itu terpejam seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya, dan mencoba menyapa. "Apakah saya boleh duduk disini, Nona?" Tanya pria itu sopan. Dinda mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sebentar dari layar pons
"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara. Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. "Mas.. kamu sudah sampai?" Dinda segera berdiri menghampiri kekasihnya yang sedang di kuasai rasa cemburu. "Siapa pria itu?" Tanya Alvian dingin. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat Dinda bergidik ngeri. Ia sangat mengenal sikap posesif kekasihnya, sehingga ia harus segera membuat segala hal menjadi baik. "Duduk dulu mas, biar ku jelaskan." Alvian mendaratkan bokongnya dengan kasar, matanya tak lepas dari wajah cantik Dinda yang kini berubah menjadi pucat. Dinda takut jika mereka akan bertengkar, atau bahkan putus. Sungguh Dinda sangat mencintai pria yang saat ini bersamanya. Ia tak akan bisa membayangkan jika hubungan mereka akan berakhir. &nbs
Suara lenguhan dan desah kenikmatan memenuhi kamar kontrakan Alvian. Setelah bercinta di dapur, Alvian membawa Dinda ke kamar dengan menggendong wanita itu tanpa melepaskan penyatuan mereka. Tubuh Dinda yang mungil memudahkan pria itu membawa kekasihnya. Tinggi Dinda hanya sebatas bahu Alvian yang memang mempunyai postur tubuh yang tinggi.Kini mereka bercinta di atas ranjang yang empuk. "Kamu sangat luar biasa sayang." Alvian masih terus menyatukan miliknya dan milik Dinda. Hingga keduanya mencapai klimaks dan cairan kenikmatan itu tumpah dalam rahim Dinda. "Aku mencintaimu." Alvian mencium kepala Dinda dengan sayang seraya tersenyum. Hal itu tak pernah ia lupakan setelah mereka selesai bercinta. "Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum. Alvian menyatukan kening mereka seraya mengatur nafas yang terengah tanpa melepaskan miliknya yang masih berada dalam milik Dinda. Cairan itu terasa
Dinda memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Avanza berwarna putih yang terparkir di halaman rumah. Dinda sudah kenal betul siapa pemilik mobil itu, sehingga ia melangkah malas menuju rumah menyusul Nadira yang sudah berlarian terlebih dulu. Tadi Alvian mengantarkan Dinda kerumah kakaknya untuk menjemput Nadira yang berada disana. Sebelumnya, Nadira tak ingin ikut ke cafe karena ia ingin bermain dengan sepupunya. Sehingga Dinda terpaksa meninggalkan Nadira di rumah kakaknya begitu pula dengan motor maticnya. "Ada apalagi bajingan itu kerumah."gumam Dinda kesal. "Ayah." suara Nadira terdengar sampai keluar rumah, mengganggu indera pendengaran Dinda. "Assalamualaikum," Dinda mengucap salam, yang ada di dalam menjawab salam dengan serempak. Terlihat Nadira yang sudah berada dalam pangkuan mantan suaminya dengan wajah senang. Dinda meraih tangan Bapaknya lalu mencium punggung tangan pria yang sudah beruba
"Ada satu yang tidak kamu miliki dan Al memiliki itu." "Apa? Apa karena dia lebih muda? Dia bisa memuaskan mu diatas ranjang? Begitukah? Tenang saja Dinda sayang, aku akan memuaskan mu!" Bayu tersenyum penuh damba, ia berjalan mendekat. Dinda berdecih. Yang ada di otak pria ini hanya selangkangan saja. "Kamu tidak memiliki hati yang tulus seperti Al. Dan kamu tenang saja, Nadira lebih bahagia bersama Al daripada bersama Ayah kandungnya!" Bayu menatap Dinda dengan geram, tangannya terkepal menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Ia memejamkan mata, menarik nafas perlahan lalu menghembuskanya. "Kenapa kamu selalu menguji kesabaranku?" Bayu membuka matanya, menatap Dinda dengan emosi yang membara. Ingin sekali rasanya pria itu meledak. Sifatnya yang emosian itulah membuat Dinda tidak betah hidup bersa
Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik."Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda."Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda."Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan."Apa sih. Nggak percaya ya udah,