Share

Calon Pusat

Jujur, begitu Lizzie mendengar suara Daxon yang rendah dipadukan dengan tajamnya tatapan mata pria itu. Seketika dia merasa tubuhnya lumpuh dan kejutan kecil terpercik di perutnya. Tak kuat dengan itu, Lizzie cepat memutuskan kontak mata tapi sialnya tatapan mata Lizzie justru terjatuh pada bibir Daxon. Pria itu membungkukan tubuhnya, dengan tangannya yang masih berstagnasi di pipi Lizzie, begitu mudah baginya untuk menarik Lizzie mendekat padanya. Lizzie berpaling muka, Daxon berhenti merealisasikan niatannya.

“Aku tidak berterima kasih dengan benar padamu untuk kue yang kau belikan di kedai kopi waktu itu,” gumam Lizzie seraya menatap ke bawah sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan berada diantara kedua paha Daxon. Pria itu hanya menyeringai membuat Lizzie menatapnya pula. Jika benar pria itu sedang menggodanya sekarang, maka Lizzie akan balik menggodanya seperti yang biasa dia lakukan kepada Levin dengan santai. “Atau pun untuk aksi penyelamatan yang kau lakukan saat ini,” sambung Lizzie.

“Simpan saja rasa terima kasihmu,” sahut Daxon ringan. “Kita tidak akan bercinta di mobilku tanpa pengaman dan aku bukan tipe pria yang membawa kondom di dompetku. Aku tidak mau berurusan dengan perempuan kacau sepertimu dimobil kesayanganku.”

Lizzie berdecak lalu menarik kembali tangannya dari paha Daxon, meski begitu dia tersenyum sedikit. Sungguh perbedaan yang sangat signifikan antara pria dewasa dan pemuda bau kencur. “Clean freak,” tutur Lizzie setengah meledeknya.

“Gadis nakal.”

Setelahnya Lizzie minta diantarkan ke tempat dimana dia memarkirkan sepeda motornya. Itu tidak jauh tapi setidaknya dia menghabiskan waktu menunggu hujan reda dan tidak bertindak bodoh seperti sebelumnya. Lizzie tentu tidak pernah punya niatan untuk mati muda, setidaknya tidak untuk sekarang. Keluar dari pintu mobil Lizzie tersenyum pada Daxon, entah bagaimana mereka bisa bertemu begini dan meneliti banyaknya kebetulan diantara mereka membuat Lizzie merasa sedang dipermainkan oleh semesta.

“Selamat tinggal, Om Tampan.”

“Bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa lagi,” sahut Daxon ketika Lizzie meraih pegangan pintu mobil dan sempat mencegatnya sebelum dia benar-benar turun. “Ambil ini,” kata Daxon, menarik kartu nama dari dompetnya.

“Menurutmu aku butuh pengacara?” tanya Lizzie menaikan sebelah alisnya tak mengerti begitu benda persegi tersebut telah berpindah tangan padanya.

“Itu nomor pribadiku,” jawab Daxon cepat, membuat kedua mata Lizzie terbelalak. “Kau ingat janjimu di kedai kopi kan? katamu kau akan memberiku nomor ponselmu. Tapi melihat situasinya sepertinya kau akan berkelit lagi. Aku ini pria yang sangat memperhatikan janji. Jadi kalau kau merasa bosan dan memiliki waktu luang untuk bermain-main sebentar, hubungi saja aku atau kirimi aku pesan. Dengan begitu kita otomatis bertukar nomor ponsel kan?”

“Wah, aku tidak percaya kau bahkan mengingat omong kosongku,” sahut Lizzie terkikik.

“Kenapa tidak? kau gadis yang lucu, aku tertarik padamu dan kau juga sepertinya fine-fine saja denganku. Oh iya, aku tidak sedang mencari sebuah komitmen. Aku hanya sedang senggang dan luang sehingga membutuhkan patner untuk bersenang-senang.”

Lizzie menyeringai. “Jadi menurutmu aku lucu dan menyenangkan?”

“Dari penilaianku setelah pertemuan kita ini, ya.”

“Kalau kau menginginkanku hargaku tidak murah, Om,” timpal Lizzie yang dimaksudkan untuk menggoda Daxon. Pria itu hanya balas menyeringai dan Lizzie tahu betul bahwa meski pria itu memahami keseriusan dari perkataan yang dia ucapkan. “Kau harus bersiap-siap, karena aku ahli menguras dompet seorang pria, Om tampan,” sambungnya yang ditutup dengan kerlingan nakal.

Lizzie kini sudah benar-benar keluar dari mobil Daxon dan melenggang santai menuju sepeda motor yang dia parkirkan. Dia tidak peduli terhadap pandangan Daxon terhadapnya, meskipun ada sedikit rasa penasaran seperti apakah Daxon memperhatikannya hingga dia menghilang dari pandangannya? Ketika dia melirik sedikit dia menemukan mobil itu tidak bergerak sama sekali. Ah, tentu saja dia memperhatikan Lizzie. Bagaimana tidak? Toh, Lizzie kan gadis kacau yang telah mencuri atensi pria itu sepenuhnya.

***

Lizzie melepaskan seluruh pakaiannya yang basah gara-gara hujan-hujanan. Berkeliaran kesana kemari hanya dengan celana dalamnya saja, mencari-cari pakaian yang nyaman dia kenakan di rumah. Setelah menemukan yang pas Lizzie memunguti pakaian basahnya dan membawa semuanya ke mesin cuci. Kini dia hanya mengenakan kaos oblong kebesaran dan celana pendek sepanjang tumit. Selagi mengeringkan pakaiannya Lizzie mulai mempersiapkan alat gambarnya.

Dengan earphone tersemat ditelinga Lizzie jatuh kedalam pemikirannya sendiri. Berkonsentrasi tinggi dengan memulai sebuah goresan skestsa di kertas gambar berukuran A3 yang disandarkan pada penyangga kanvas. Dia mulai membuat siluet. Semilir angin meniup tirai jendela yang biarkan terbuka. Merasa stuck, Lizzie beranjak dari posisinya mengambil rokok yang berada di atas meja dan menyalakannya. Saat itulah dia teringat dengan cuciannya di mesin pengering. Melipatnya dan memasukan baju itu kembali ke lemari.

Dia melirik ke arah ponselnya yang tergeletak dekat dengan kotak rokok, menatapnya lekat-lekat teringat dengan kartu nama yang Daxon berikan. Pelan-pelan gadis itu meraih kertas itu dan menatapnya lekat-lekat. Tak sadar dia menekan sejumlah nomor diponselnya, menyimpannya dengan nama ‘calon pusat’.

“Untuk awal baru yang lebih positif,” komentarnya setelah berhasil menyimpan nomor si om tampan di ponselnya.

Usai dengan urusan itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Lizzie menaikan sebelah alisnya tatkala melihat identitas si penelepon. Nama profesornya tertera jelas dilayar. Menggeser tombol hijau, gadis itu membawa benda itu ke telinganya. “Halo? Dr. Pixys?”

“Lizzie, aku lega kau menganggat teleponku,” kata pria itu sumringah dari ujung telepon. “Ini tentang pertunjukan seni yang akan diadakan di pusat kota. Aku berhasil memberimu tempat untuk karyamu di galeri. Bawa karya terbarumu ke kantorku minggu ini agar aku bisa memberikan penilaianku lagi—”

“Serius?!” potong Lizzie sumringah, menarik perhatian sepupunya Mina yang kebetulan ada disana juga.

Gadis itu sampai menjatuhkan bukunya dan menatap Lizzie dengan pandangan bertanya mengenai apa yang sebenarnya membuat Lizzie sesemangat itu. Dia langsung melompat kearah Lizzie yang sedang berada dalam sambungan telepon dengan seseorang. Mencuri tentang apa yang sedang mereka bicarakan. “Ada apa?” bisik Mina kepo berat. Tapi Lizzie tidak terganggu sama sekali dengan gangguan kecil itu dan masih bisa menanggapi orang yang sedang bicara dengannya.

“Tentu saja aku serius,” sahut Dr. Pixys dari sana sambil terkekeh.

“Baiklah, aku akan segera membuatkan karya terbaruku. Bebas kan? tidak ada ketentuannya? Ya Tuhan, terima kasih banyak!” sahut Lizzie lagi yang membuat Mina makin ingin tahu.

“Sama sama, Nak.” Pixys terlihat sama sumringahnya dari sana. “Jangan terlalu paksakan diri, aku harap kau tidak terlalu mengambil hati tentang apa yang pernah aku katakan padamu tempo lalu. Maaf ya, aku hanya ini kau semakin berkembang waktu itu. Aku sedikit kecewa, tapi kurasa karya lama mu cukup menarik perhatian karena itu kau diterima di galeri. Untuk konsultasi kau bisa datang ke kantorku saat jam kerja.”

“Baik, terima kasih banyak.”

Begitu menutup telepon Lizzie langsung meninju udara kosong, dan melompat ria kegirangan bahkan memeluk Mina yang masih kebingungan dan mencari tahu penyebab Lizzie yang kegirangan tanpa alasan seperti ini. Mina memang tidak mengerti, tapi saat Lizzie mengajaknya menari dan berputar-putar gadis itu tetap mengikuti.

“Aku mendapatkan tempat di galeri pusat kota! Itu sebuah kehormatan besar untukku! Mina aku berhasil!”

Mata Mina langsung berbinar. Dia kembali melompat-lompat dan memeluk sepupunya erat-erat. Dia paling tahu kalau keluarga sepupunya terutama sang paman sangat tidak menyetujui Lizzie yang memilih jurusan seni. Dia berharap dengan ditunjuknya karya Lizzie pada pameran di pusat kota akan membuat pamannya luluh dan mulai memberikan dukungan. “Oh my God Lizzie ini hebat!”

“Iya kan? aku bahkan tidak percaya ini! cubit aku, aku takut ini mimpi!” teriak Lizzie yang langsung dicubit oleh sepupunya. Dia mengaduh kesakitan tapi setelahnya senyuman lebar tidak lekang dari wajahnya. “Aku harus melanjutkan lukisanku!”

“Semangat sepupu! Ini sangat penting untukmu! Aku akan membelikanmu cemilan. Kau mau apa? akan aku traktir!” teriak Mina yang bergerak mengambil cardigannya. “Oh iya aku juga akan bilang pada Armant soal ini. Dia pasti juga akan senang mendengarnya!”

***

Lizzie tidak memberitahu ibunya ketika dia berkunjung kerumah pagi harinya. Lizzie sendiri sudah menyelesaikan lukisan terbaru untuk dia serahkan kepada Profesor Pixys, dia sampai begadang semalaman untuk menyelesaikan lukisannya. Adrenalinnya terpacu penuh ketika dia menggendong lukisannya di punggung dengan maksud pamer kepada orangtuanya.

Gadis itu berlari ke pintu mengetuk sedikit tidak sabar.

“Halo sayangku,” sambut ibunya, membuka pintu lebar untuk membiarkan putrinya masuk. Dia melirik lengan Lizzie yang membawa serta kanvas besar. Membuat wanita itu mengerutkan alisnya.

“Bu, Bu, Bu,” kata Lizzie terengah-engah dengan senyum lebar menyebar diwajahnya. “Karyaku diterima untuk pameran seni dipusat kota. Itu tempat jajaran seniman ternama berada, Bu, dan karyaku akan menjadi salah satunya,” sambung Lizzie sambil memeluk ibunya.

Mendengar hal itu ibunya langsung melebarkan kedua matanya. Meskipun disampaikan dengan terburu-buru tapi wanita itu bisa menangkap pernyataan yang diujarkan oleh Lizzie dengan cepat. Pelukannya disambut hangat, setelahnya pipi Lizzie ditangkup.

“Ibu sangat bangga padamu, sayangku!” katanya gembira bahkan air matanya ikut tumpah. “Kapan? Ibu harus menandai waktunya dikalender.”

“Akan aku beritahu Bu,” kata Lizzie sambil menarik kanvasnya yang terbungkus oleh kain. “Tapi sebelum itu aku perlu mendengar pendapat Ibu tentang lukisanku. Mina dan Armant sudah memberikan pendapatnya, jadi sekarang aku ingin dengar pendapatmu dan juga ayah.”

“Tentu saja sayang, kami akan senang hati melakukannya. Ayo taruh itu di atas meja, Ibu sedang membuat sarapan jadi biar Ibu selesaikan dulu.”

Lizzie segera mengikuti saran ibunya dan masuk ke dalam rumah dia mulai menyimpannya diatas meja. Kanvas berukuran A2 dia letakan diatas meja, gambar yang berhasil Lizzie buat adalah gambar seorang pria yang menghadap ke arah matahari terbenam di tepi pantai sambil menatap burung yang terbang.

Begitu ibunya selesai dengan memasak, dia mulai bergabung dengan Lizzie seraya menyeka tangannya dengan handuk. Dengan hati-hati menatap lukisan buatan putrinya. “Ibu benar-benar suka dengan lukisan ini,” katanya yang diucapkan secara tulus. Binar matanya mengatakan sebuah kejujuran mata yang sama yang Lizzie dapati dari Mina dan Armant sebelum dia pergi kemari.

Lizzie tersenyum, dia merasa hatinya penuh dengan seluruh kegembiraan ketika berpikir lukisan tangan hasil jerih payahnya dihargai oleh orang yang melihatnya. “Terima kasih, Bu,” sahut Lizzie.

Suara langkah kaki terdengar, bahu Lizzie agak merosot menyadari bahwa orang yang ingin Lizzie runtuhkan sekarang sudah bergabung dengan mereka. “Selamat pagi, sayang,” kata ibunya kepada sang ayah. Pria kaku itu tidak langsung bereaksi, dia justru menatap Lizzie dengan ekspersi yang tidak tertebak.

“Pagi, dan senang bertemu denganmu, Lizzie,” sapanya tajam.

“Hei, ayah,” kata Lizzie canggung, dia menggosok tangannya dibelakang punggung. “Um … coba tebak? Karyaku diterima untuk pameran seni dipusat kota.” Kata-katanya sama persis dengan yang dia katakan kepada ibunya, hanya saja cara penyampaiannya sekarang terkesan kaku dan tidak nyaman.

“Jadi itu sebabnya kau membawa sampah ini kemari?” tanya ayahnya seraya menunjuk kearah lukisan yang Lizzie simpan diatas meja.

Sejujurnya kalimat itu menyakitinya, tapi Lizzie memutuskan untuk menutup pendengarnnya dari penghinaan itu dan bermaksud untuk tetap menanyakan pendapat ayahnya. “Ya, aku membutuhkan pendapatmu. Makanya aku putuskan membawa sampahku kemari.”

Pria kaku itu memutar matanya dan menoleh kearah ibunya, seolah tidak mendengarkan apa yang Lizzie katakan. “Sarapannya sudah siap kan?”

“Sayang, tidak bisakah kau setidaknya berpura-pura tertarik?” sahut ibunya yang barangkali merasa tidak tega lantaran Lizzie diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri.

“Dan memberikannya harapan palsu?” timpal pria itu lagi. “Aku sudah berkali-kali bilang padanya bahwa tidak ada harapan untuk masa depannya jika dia terus-terusan berada dalam bidang ini. Sudah diarahkan ke bidang yang stabil, anakmu ini malah keras kepala dan memilih sendiri jalan menjadi seorang pecundang. Saat kau seharusnya sudah se-sukses teman-teman dan sepupumu, kau masih berada di bawah mereka dan bermain-main dengan sampah ini.”

“Sayang!” Kini Elliza mulai membalas dan nada suaranya meninggi pula. “Aku sudah memberitahumu bahwa kalau Lizzie pulang, kau harus berhenti untuk membahas soal jurusannya. Itu pilihan hidup dia, kita tidak bisa memaksa dan mengaturnya sedemikian rupa. Dia anak kita dan kita ingin dia bahagia, jadi biarkan dia melakukan apa pun yang dia suka.”

“Aku tentu tidak keberatan dengan statement akhirmu, Tapi aku merasa tidak bisa diam saja saat aku tahu bahwa masa depannya hanya bisa menjadi gelandangan dan tunawisma. Kenapa harus mengejar yang tidak pasti saat kau punya opsi yang lebih nyata dan pasti? Mengejar impian tidak akan membuatnya hidup nyaman dan bahagia. Dia hanya akan jadi pengemis karena memutuskan mengikuti impiannya mengambil jurusan cat air! Apa bagusnya dengan masuk ke pameran dan karyamu masuk ke galeri? Apakah ada perubahan besar dengan itu? Oh… Tuhan, Lizzie. Kau harusnya mulai mencari pekerjaan sungguhan bukan menghabiskan waktu seperti pengangguran yang mencoret-coret kertas. Seni bukanlah sesuatu yang bisa kau ambil sebagai jurusan. Itu tidak akan membawamu kemana-mana. Hidupmu tidak akan bisa stabil jika kau tetap keras kepala berada di jalan itu! atau kau kemari karena kau butuh uang dariku untuk membeli peralatan untuk membuat sampah ini?”

“Astaga!” Ibunya mengerang, “Mengapa kau harus mengatakan hal sekejam itu kepada putri kita? Apa begitu sulit bagimu untuk melupakan perihal anak kita yang memilih pindah dari jurusannya?”

“Salahkah aku mengkhawatirkan masa depan putriku?” sahut ayahnya lagi.

“Sudah cukup!” kata Lizzie tidak tahan, dia berbalik dan mengambil lukisannya meskipun dengan tangan yang gemetaran. “Kurasa sudah cukup masukan dari Ayah, terima kasih banyak!” Dia berbalik pergi dari sana, mencemooh ayahnya dalam diam. Dia tahu jika tetap berada disana yang terjadi hanyalah dirinya akan mendapat lebih banyak makian. Menyebalkan.

Tapi tanpa Lizzie sadari ibunya menyusul dan menghentikan Lizzie tatkala dia hampir mendekati motornya.

“Lizzie!” panggilnya yang membuat Lizzie melunak dan menatap ibunya lagi. “Semuanya akan membaik, sayang.”

“Tentu saja akan, Bu,” sahut Lizzie. Namun sebanyak apapun dia berharap, dia tahu bahwa itu hanyalah sesuatu yang semu. Hingga dititik ini pun ayahnya tetap tidak menerimanya. “Aku sayang padamu, Bu.”

Lizzie mengelus rambutnya dengan penuh sayang, menyingkirkan poninya yang berantakan dari dahi Lizzie sebelum akhirnya memberiakn sebuah ciuman dikening. “Ibu sangat bangga padamu, Lizzie,” katanya dengan penuh penekanan. “Kamu harus tahu kalau Ibu selalu mendukungmu.”

“Terima kasih, Bu. Itu membuatku lebih baik.”

“Sayang, ibu sedang bersungguh-sungguh disini.”

Lizzie terkekeh melihat ibunya membuat wajah yang lucu. “Iya aku tahu, Bu.”

“Aku selalu menyayangimu, Lizzie. Pulanglah kerumah setiap kali kau punya waktu. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.”

Mereka berpelukan erat dan Lizzie mulai duduk dikursi motornya. Dia melihat ibunya kembali kerumah sementara dia mula melajukan motornya. Tapi baru beberapa saja tiba diujung jalan, Lizzie merasakan pipinya basah. Oh sial, dia tidak boleh menangis dan lemah seperti ini hanya karena kata-kata dari ayahnya. Segera tanpa pikir panjang Lizzie mengeluarkan ponselnya. Dia butuh pengalih perhatian dan obat rasa sakit untuk hatinya. Dia butuh seseorang yang bisa menghapuskan pikirannya dari kritik sang ayah yang menganggap karya yang dia buat sepenuh hati hanyalah sampah tak berguna.

Dia menggulir dan menemukan nama Levin, jarinya menekan tombol membuat panggilan. Menarik napas ketika mendengar nada sambungnya. Hanya sesaat saja, dan dia tahu telepon darinya ditolak. Alasannya sudah jelas, Levin pasti sedang bersama kekasihnya. Sialan! Dia membenturkan tangannya pada stang motor, membiarkan air mata menetes dari dagunya ketika dia menatap ponselnya. Pengalih perhatiannya tidak bisa diganggu saat dia membutuhkannya. Betapa menyebalkannya itu.

Dia menatap satu nama, keraguan muncul kepermukaan tapi jeraminya justru bergerak lebih cepat daripada pemikirannya yang saat ini sedang bercabang. Jarinya yang nakal berhasil membuat panggilan lain. Dia mendekatkan ponsel tersebut ketelinganya. Menunggu dengan sabar, apakah orang itu bisa dia jangkau.

“Apa?”

“Umm … hei, Om tampan, apa kau sedang sibuk sekarang?”

Ada beberapa suara seperti kertas yang sedang diacak-acak. “Sedang membaca desposisi, minum secangkir teh, menurutmu apa itu bisa dikatakan sibuk?”

“Ingin ditemani?”

Tiba-tiba Lizzie merasa tak nyaman duduk dikursi motornya. Gugup sekali rasanya mendengar jawaban yang akan dia dapatkan. Sejujurnya Lizzie merasa sangat konyol karena bertanya begitu pada Daxon. Sejujurnya pula, lebih merasa bodoh lagi ketika dia menjadikan pria yang lebih tua darinya itu sebagai opsi kedua lantaran Levin tidak bisa dia jangkau.

“Apa tag hargamu bisa menjebol dompetku?” tanyanya dengan suara yang terdengar menggoda.

“Karena aku yang menghubungi duluan, kurasa aku akan memberikanmu diskon khusus.”

“Penawaran menarik, kurasa aku butuh teman untuk melepaskan stress.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status