“Armant.”Lizzie merasa udara disekitarnya seolah hilang begitu saja. “Kalian berdua saling kenal?” tanya Lizzie setelah beberapa menit ternganga lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan dan dengar di depan mata. Dengan enggan Daxon melangkah mendekat pada Armant, jemarinya mengetuk gelas kosong yang dia genggam dengan cara yang kikuk.“Semacam itu, kurasa,” sahut Armant tegas. “Sudah lama sekali Daxon, aku tidak tahu kalau kau sudah kembali.”“Ya, aku baru tiba,” timpal Daxon dengan getir.“Aku sebetulnya benci ikut campur dalam reuni kalian tapi aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi disini,” ungkap Lizzie sambil merangkul tangan Armant dengan cara bersahabat seperti biasa. Tertawa dengan cara yang terpaksa yang menyebabkan Mina sepupunya merasa malu karena itu. Gadis itu mencoba melepaskan rangkulan Lizzie dari Armant dan memintanya untuk memisahkan diri dari kedua pria itu.“Lizzie, kau tidak bisa ikut campur dalam urusan orang begitu saja. Apa yang kau
Setelah selesai dengan Mr. Pixys, Lizzie berjalan menuju ke arah parkiran. Dia tidak mengira bahwa Mina dan Armant menunggunya. Bukankah mereka beberapa saat yang lalu pergi karena ada janji?“Kenapa kalian masih ada disini?”“Oh ayolah, ada apa dengan senyuman itu? kau punya sesuatu yang harus kau bagi dengan kami kan?” sahut Armant tiba-tiba yang tentu saja memancing Lizzie untuk tersenyum lebar.“Kalian merencanakan sesuatu dibelakangku?”“Tentu tidak, secara kebetulan aku dan Armant memang punya janji. Tapi setelahnya entah kenapa kami memilih untuk kembali. Kami memikirkanmu Lizzie, rasanya jahat sekali saat kami menghabiskan waktu dengan oranglain saat malam ini adalah malammu,” ungkap Mina.“Masuk ke mobil, kita bicara di dalam,” timpal Armant lagi yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam mobilnya.“Aku bawa motor.”“Tinggalkan saja disana, nanti biar aku yang ambil motormu sebagai kompensasi.”Lizzie mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih sumringah, mengambil kursi belaka
Lizzie menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya dengan memilih menyandarkan diri di sebuah pohon dekat kampus. Mengeluarkan sebuah buku sketsa untuk menyelesaikan salah satu tugasnya. Dia membolak-balik buku sketsa tersebut, sedikit terhenyak karena kebanyakan isinya malah diisi oleh sketsa singkat sosok Daxon. Ini lucu, hanya karena kebersamaan singkat mereka Lizzie jadi lebih banyak mengingat pria itu secara tidak sadar.Sibuk dengan coretan baru, Lizzie sadar betul bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dari jauh. Gadis itu mendongak tepat waktu sebab dia mendapati seorang pemuda melemparkan tas ranselnya ke bawah diikuti tubuhnya sendiri yang dia jatuhkan tepat di sebelah Lizzie.“Tidak ada kelas lagi, bung?” tanya Lizzie tanpa mesti mengalihkan perhatiannya dari buku sketsa.“Basically,” balas pemuda itu seraya menghela napas lelah. “Apa-apaan dengan sebutan ‘bung’ itu? tidakkah kau merindukan memanggil namaku dengan cara yang seksi seperti biasanya ‘Levin~’ seperti itu,” sa
Selesai kelas dan bekerja sambilan, tadinya Lizzie pulang ke apartment-nya hanya untuk sekadar mandi. Mina saat itu sedang lembur di rumah sakit tempat dia magang, sementara Armant tampaknya punya janji sendiri untuk berkencan dengan Annie. Sesuatu yang Lizzie takutkan dapat dia lewati dengan baik dan sempurna sesuai harapannya. Dia tidak harus mengkhawatirkan banyak pertanyaan dari mereka berdua. Jadi, Lizzie bisa memanfaatkan waktunya dengan sangat baik untuk bersiap dan tampil sedikit lebih rapi. Dia berharap bisa sedikit modis seperti sepupunya Mina yang punya koleksi gaun malam di lemarinya. Tapi bila dia terlalu antusias dia takut Daxon malah menganggapnya gampangan. Karena itulah, dia memilih celana jeans gelap dan kemeja berwarna hitam. Rambutnya yang terurai acak, dia sisir rapi dan ikat ekor kuda dibelakang. Setelah bergumul di depan cermin agak lama, gadis itu hanya bisa mengumpat sebelum menyambar ponselnya yang kebetulan sekali mendapati pesan dari Daxon.DaddyHereLizzi
Lizzie tidak langsung menjawabnya, malah dia memilih untuk menatap Daxon, baru kepada pelayan yang melayani mereka. Marie. Itu adalah Marie. Kekasih Levin. Gadis yang dia temui sebelum akhirnya mereka bertemu kembali dengan situasi yang tidak terduga seperti ini. Namun yang lebih menganggu adalah mereka sama-sama berdusta sebelum bertemu kembali di tempat ini. Lizzie memaksakan wajahnya untuk berekspresi setenang mungkin, kemudian memberikan senyuman yang kikuk kepada gadis itu. “Hai.” “Sepertinya takdir mempertemukan kita kembali, ya?” Marie tertawa tapi Lizzie sama sekali tidak memahami dimana letak kelucuan dari kata-katanya. Meski begitu Lizzie tetap menganggukan kepala. “Ya.” “Namun lebih pada takdir yang lucu,” sahut Daxon tiba-tiba mengikuti arah pembicaraan kedua gadis di hadapannya sambil meletakan menu miliknya diatas meja sehingga menarik perhatian Marie. “Ah, maafkan saya. Apa yang inginkan sebagai pembuka?” “Aku ingin pesan segelas cabernet,” jawab Daxon santai. “Dan
Pria itu mengubah ekspresi wajahnya sesaat, menghela napas sebelum kemudian memberikan Lizzie sebuah senyuman penuh arti. “Itu bukan kisah yang bagus, sebenarnya. Aku tidak ingin mengubah suasananya.”“Aku tidak secengeng itu untuk langsung menangis hanya karena mendengar kisah sedih, Pak tua.”Daxon tiba-tiba mengambil garpu milik Lizzie, menusuk sepotong daging lalu menyuapi. Lizzie tidak keberatan atas aksi itu dan malah menikmati perhatian kecil darinya. “Kau dan mulut besarmu kadang perlu didisiplinkan sesekali,” sahut Daxon terkekeh.Lalu kemudian cerita meluncur dari mulut si pria. Kisahnya tentang Armant dan bagaimana hubungan mereka. Situasinya kurang lebih sama seperti yang Armant sempat ceritakan. Tapi kemudian ketika Daxon menyebutkan satu nama, kisah itu jadi sedikit lebih berat dari pada yang Lizzie sangka.“Pria itu adalah pria paling buruk untuk menjadi seorang wali bagi seorang anak,” ungkap Daxon sambil menyesap wine miliknya. Tatapan mata pria itu agak berkelana se
Lizzie dapat merasakan tubuh Daxon mendadak kaku saat perempuan itu menyebut namanya.“Petra, senang melihatmu. Kau juga Aleandro.”Sunyi senyap. Hanya ada suara gema dari pengunjung restoran di latar belakang. Suara perbincangan, tawa, denting alat makan, bercampur baur dengan suara biola yang sedang dimainkan oleh sang musisi di dalam sana. Memang masih ada kebisingan, tapi suasana diantara mereka berempat jelas sangat aneh dan terlalu sunyi untuk dihadapi.“Yah, senang melihat kalian berdua. Kuharap kalian menikmati makanannya malam ini,” ujar Daxon sekali lagi meski terkesan agak sedikit tajam. Perempuan itu menganggukan kepala, matanya tertunduk tanpa berani menatap Daxon.“Terima kasih, dan kuharap kau juga menikmati ….” Kata-kata yang terujar memang makin memudar dan lebih terdengar sebagai gumaman alih-alih jawaban tegas. Apalagi Lizzie bersumpah perempuan itu melirik padanya, sebelum melanjutkan perkataannya. “Malammu,” tutup perempuan itu pada akhirnya setelah puas menatap L
Kenapa dia malah reflek menyebut nama Levin dan membuat alasan yang menyedihkan seperti itu?Lizzie tahu bahwa Armant bisa melihat ke dalam dirinya, tapi dia akan terus mencoba untuk mempertahankan argumentasi sebaik mungkin. “Itu bukan urusanmu.” Hanya itu yang bisa Lizzie katakan, dia tidak siap untuk jujur bahwa dia bersama dengan seorang pria yang kurang lebih seperti paman bagi Armant dan terlibat hubungan ranjang dengannya. Tentu saja itu hanya akan menyebabkan sebuah pertengkaran yang tidak diinginkan. Gadis itu menggigit bibirnya, Lizzie jelas sadar bahwa dalam situasi ini dia sudah berada dalam perangkap.“Ayolah Armant, ini tidak seperti kita masih dibawah umur. Aku sudah dewasa bukankah waktu itu kau bilang begitu? Aku hanya bersama seorang teman, Armant. Itu saja.”“Lizzie, kenapa kau enggan tidak mau memberitahuku dengan siapa kau pergi tadi?” tekan Armant lagi.“Aku bersama dengan temanku, oke? Kami bertemu di kelas seni dan mulai dekat karena dia pernah mentraktirku mak