Lizzie menuruti perintah sang pria, menggigit bibirnya sendiri sebagai bentuk antisipasi tatkala pria itu mulai bekerja menyelipkan jemarinya disana. Pria itu menekan salah satu ujung jarinya tanpa merasa perlu menunggu Lizzie menyesuaikan diri sebelum kemudian menghempaskan seluruhnya dalam satu sentakan. Lizzie mengerang keras, dia sudah tidak mampu lagi menyembunyikan desahannya sendiri sekarang. Hanya bisa memejamkan mata sejalan dengan punggungnya yang melengkung. Merasakan dirinya terisi oleh jari yang kedua pria itu di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bukan main.
“Kau menikmati permainan kecil ini, hm?” ungkap Daxon dengan suara menggoda khasnya. Napasnya memburu.Lizzie tidak sanggup menjawab, hanya saja kini wajah gadis itu sudah bersandar di leher pria itu sambil terengah-engah.Belum usai urusan Lizzie untuk membuat tubuhnya beradaptasi, pria itu malah menarik jemarinya dan mendorongnya lagi. Lizzie langsung memeluk tubuh pria itu erat-erat. Tidak peduli dengan suaranya yang melengking karena ulah Daxon yang memang nakal kepadanya. Lizzie dibuat kelimpungan atas ritme yang pria itu ciptakan, bahkan belum sempat Lizzie mempelajarinya pria itu malah menambahkan jari ke tiga yang tentu berakibat membuat tubuh gadis itu terlonjak hebat.Lizzie kewalahan, matanya berputar dan dia tahu betul bahwa ekspresi yang sekarang dia buat akan terlihat sangat bodoh di mata Daxon. Kini Daxon sudah berhasil mengendalikan Lizzie semaunya, persis seperti apa yang Lizzie harapkan. Sebuah permainan panas yang akan membuat dia melupakan kejadian menyebalkan yang mengganggu otaknya.“Ah fuck!” Lizzie berteriak keras-keras, matanya tersentak dan terbuka ketika Daxon menemukan titik ternikmat ditubuhnya hanya dengan jemari saja. Air mata mengalir di pelupuk mata, dia terlalu hebat.“Jadi kau sangat menyukainya ya, Lizzie?” ujar Daxon seraya bernapas di dekat lehernya. Memainkan jemarinya tiada henti seperti sedang mengetik diatas keyboard. Dan tentu saja setelah dia menemukan titik itu, Daxon tidak berhenti membombardir Lizzie disana. Lizzie pikir dia akan mati dalam sebuah kenikmatan terhebat seumur hidupnya dalam sesaat.“Om Daxon.”“Hm? Want me to keep finger fuck you there?” tanyanya yang ribuan kali lebih seksi dari apa pun. Dirty talk memang paling menggairahkan saat menggunakan bahasa asing, Lizzie suka itu. Hal remeh yang membuatnya makin resah dan membutuhkan lebih. Apalagi ketika dia menyadari bahwa Daxon bermain-main dengan kulit lehernya, menggigitnya sedikit sesekali menghisapnya pula. Lizzie rasa dia akan punya banyak kissmark setelah semua ini berakhir. “Kau ingin aku lembut atau kasar? Bagaimana kau menginginkan aku?”“H-Hard … rough,” sahut Lizzie terengah-engah. Persetan dengan segalanya. Dia ingin melupakan semua hal menyebalkan yang dia terima hari ini dengan sentuhan Daxon ditubuhnya.“Kau perlu belajar sopan santun pada yang lebih tua,” timpal Daxon memainkan suaranya seperti sedang bersenandung di leher Lizzie, jari jemarinya melambat dan membuat Lizzie perlu menggerakan dirinya sendiri untuk mendapatkan kepuasan yang dia inginkan.“Say, please then I will give you what you want.”Lizzie menjambak rambut Daxon dengan tangan yang gemetaran lantaran frustasi sebab hasratnya tidak tersalurkan dengan baik. “Please Om, please hard on me.” Hanya kata itu yang sanggup Lizzie ungkapkan. Senyuman penuh kemenangan tergambar jelas di wajah Daxon.“Allright, baby,” sahutnya dengan suara baritone rendah andalannya, menuruti apa yang sang sugar baby inginkan.Lizzie membiarkan lehernya terekspos bebas, membuat Daxon bisa memanjakannya dengan lebih leluasa. Ya, Daxon mengambil kesempatan yang Lizzie berikan. Pria itu menghisap kulit leher Lizzie yang sensitif dengan lebih keras ketika dirinya menekan jemarinya dengan ritme yang teratur dan tempo yang cepat sekaligus, menekannya berulang kali membuat tubuh yang sedang dia dominasi hanya bisa mengerang-erang dibawah rengkuhannya.Perasaan itu sesungguhnya memberikan guncangan ekstasi penuh kenikmatan. Lizzie bahkan kini sudah berhasil mensinkroniasikan pergerakannya dengan jemari pria itu. Menjerit dengan suaranya yang berubah serak lantaran terlalu banyak memaki dan merintih. Gadis itu datang tanpa peringatan, tubuhnya langsung ambruk di sisi Daxon dan masih dalam kondisi gemetaran. Air mata dan saliva menjadi saksi betapa nikmatnya permainan yang Daxon berikan kepada Lizzie. Perlahan-lahan Daxon menarik jemarinya dari sana dan memperhatikan bahu Lizzie yang masih bergetar sebagai efek atas puncak yang berhasil dia raih.Napasnya yang terengah itu berakhir, ketika gelombang terakhir kenikmatannya berangsur memudar. Lizzie membuka matanya, dia menemukan iris hitam kelam pria itu menatapnya dengan kilatan yang penuh hasrat. Pria itu mengusap rambutnya dengan sangat lembut, menyisir setiap helainya seraya merapikan beberapa helai yang merapat pada wajah Lizzie yang penuh keringat.“Kita istirahat sebentar,” kata Daxon memutuskan. “Butuh sesuatu? Mau air? Cemilan?”Kini Lizzie mengerti mengapa ada air dan cemilan yang diletakan didekat ranjang. Rupanya pria itu memang sudah merencanakan membuatnya lelah dan kehabisan napas seperti ini. Padahal mereka bahkan memulainya sama sekali, tapi Lizzie sudah kehabisan energi. “Tolong air,” sahut Lizzie dengan suaranya yang nyaris habis. Dia saat itu meringkuk dengan kaki yang terlipat mencapai perutnya sementara Daxon mengambil segelas air dan membantunya untuk berada pada posisi yang nyaman untuk minum.“Tidak kuduga ternyata kau bisa juga menjadi gadis yang penurut,” gumam Daxon sambil memperhatikan Lizzie yang menyesap air yang beberapa saat lalu dia serahkan.Lizzie hanya menyeringai sekadar meremehkan ucapan pria itu. Dia jelas menyadari bahwa Daxon memberikan atensi penuh kepadanya saat ini seolah dia adalah satu-satunya. “Bisa jadi.”Daxon membelai rambut Lizzie, sementara Lizzie menyandarkan tubuhnya pada dada bidang pria itu. “Senang mendengarnya.”Lizzie tersenyum, tubuh pria itu terasa lembut dan hangat meski kenyataannya lebih pas bila disebut sebagai keras dan kokoh. Daxon sendiri menarik Lizzie untuk merapat sehingga wajah mereka cukup dekat untuk bisa saling bercumbu. Tapi sebelum dapat melakukannya, Lizzie memalingkan muka. Daxon menyeringai agak kesal di pipi Lizzie ketika dia mendapatkan penolakan yang begitu jelas tersebut.“Kau tidak suka berciuman ya?”“Ciuman hanya berlaku untuk orang yang sedang menjalin hubungan asmara nyata dan atas dasar cinta. Kita berdua tidak termasuk dalam kategori itu,” jelas Lizzie.Daxon mendengus, tapi kemudian dia menarik dirinya tanpa menjawab pernyataan tersebut. Lizzie bisa merasakan adanya ketegangan yang menyeruak. Tapi untuk sekarang dia merasa bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah kenyataan. Tidak ada yang salah dari perkataan yang dia sampaikan kepada pria itu.“Berbaliklah, mari kita selesaikan sekarang.”Lizzie kebetulan sekali sedang lelah untuk berdebat dengan dirinya sendiri untuk mempertimbangkan apa dia salah atau tidak untuk mengatakan hal itu. Dia juga sedang tidak mau membebani kinerja otaknya dengan memperhatikan perasaan Daxon kepadanya karena sedikit penolakan. Lizzie pikir dia akan dibombardir sekarang, tapi kenyataannya pria itu malah menuangkan lotion lagi dan meraih bahunya. Dia memijat bahu Lizzie dengan tekanan yang pas, membuat seluruh ketegangan di bahunya memudar seiring sentuhan pria itu. Rileks kembali dia dapatkan.“Jadi, ada apa dengan penyelesaian ini? kenapa tiba-tiba kau malah memijat aku?” Lizzie angkat bicara. “Kupikir yang kau pedulikan hanyalah bercinta saja.”“Ya, memang,” jawab Daxon tanpa perlu berpikir. “Aku hanya ingin memberi sedikit kesan. Karena aku yakin kau sangat tahu tentang dirimu sendiri. Kau masih muda, manis, dan penuh energi. Kau bisa menemukan selusin pria lain yang bersedia menjadi teman ranjangmu. Tapi aku pastinya menjadi yang terbaik diantara mereka karena kau memilih datang padaku dengan sukarela.”“Kau beruntung karena mereka sibuk hari ini,” sahut Lizzie. Karena kenyataannya dia tidak pernah sembarangan melemparkan dirinya. Sejauh ini dia hanya bercinta dengan dua pria. Levin kekasih temannya, dan tentu yang kedua adalah Om Daxon yang akan membayarnya untuk sekali bercinta.“Kau tidak pandai berbohong,” kata Daxon yang tiba-tiba saja sudah menggigit kulit leher Lizzie lagi. Gadis itu mengerang dan menyandarkan tubuhnya kepada pria itu sebagai bentuk ketidakberdayaan. “Akui saja kalau aku lebih hebat dari pria yang pernah menyentuhmu diluar sana. Sejujurnya kulakukan ini supaya bisa meningkatkan peluangku agar kau kembali merangkak padaku. Ngomong-ngomong kau terlihat stress dan berantakan sekali hari ini.”“Yah, aku memang stress hingga nyaris gila hari ini,” aku Lizzie. “Dan ya aku mengakui bahwa aku lebih suka padamu dari pada patnerku yang lain. Ada terlalu banyak emosi terlibat dan omong kosong dengan mereka dalam hubungan seperti ini. Tapi denganmu, aku tidak perlu merasa bersalah.”Daxon menyeringai, kini lidahnya sudah bekerja menggantikan tangannya untuk mengeksplorasi kulit halus Lizzie. Dia menelusuri punggung gadis itu, tiba di pangkal pahanya dia mendorong lidahnya sedikit, membuat Lizzie menggeliat dan mengerang lagi. “Tidak ada emosi yang terlibat, hanya seks dan sesekali saling memanjakan diri. Kurasa itu sesuai dengan pengaturan yang aku suka. Kita bisa jadi patner yang baik, Lizzie.”Lizzie berbalik dari posisinya, melepaskan diri dari kungkungan Daxon yang siap memangsanya lagi. Dia tersenyum dan menarik kemeja Daxon, membuka kancingnya dengan cara sensual.“Fucking energetic,” komentar Daxon lagi sedikit terkejut karena aksi Lizzie kepadanya yang terkesan tidak sabaran.“Perlu minum Viagra, Om?”“Tidak perlu sama sekali, gadis nakal,” jawab Daxon sambil melepaskan bajunya sendiri, sementara Lizzie sudah berbaring santai dan menyasikan betapa seksinya pria itu disana dari sudut pandangnya. Dia sibuk dengan bagian dari dirinya yang telah menegak dan siap. Itu pertunjukan yang luar biasa erotis. Pria yang lebih tua memang sangat atraktif, dan Lizzie tidak bedusta bahwa dia dua kali lipat lebih seksi dari pada Levin yang seusianya.“Apa kau menginginkan ini, Lizzie?” Pria itu berbisik sementara dirinya telah menekan bagian dirinya pada titik sensitif di tubuh Lizzie. Menggodanya sedikit hanya dengan ujungnya. “Apa kau ingin aku membuatmu menggila dengan ini?”Petualangan yang terjadi diantara mereka terlalu liar dan brutal daripada terakhir kali. Lizzie kini sudah terkapar, ambruk di tempat tidur setelah entah berapa kali pria itu mengulanginya lagi dan lagi. Dia tidak pernah tahu bahwa stamina dan energi pria yang lebih tua ternyata lebih daripada pria yang seusia dengannya. Mungkin Lizzie harus berterima kasih pada Daxon karena telah meringan sedikit stress yang dia miliki. Permainan ranjang yang panas nyatanya cukup membantu untuk mengusir semuanya. Jangan lupakan pula berapa yang dia dapatkan dari ini. Dimanjakan dan dapat uang. Daxon benar-benar sempurna untuk dia jadikan patner.Ketika pria itu menarik diri, Lizzie tiba-tiba saja merasa kosong dan hampa. Dia memperhatikan melalui kelopak matanya yang berat ketika Daxon berada di posisi duduk dan tengah mengatur napasnya sendiri. Lizzie menutup kedua kakinya yang gemetar, membalikan badannya ke samping. Daxon malah menangkap hal itu sebagai sebuah tanda dan memberikan sedikit tamparan
Tiba di malam galeri seni diadakan, Lizzie kebetulan mendapatkan jadwal lembur sehingga rencananya untuk tiba lebih awal mesti pupus. Dia juga mendapatkan pesan dari ibunya yang menanyakan keberadaanya. Armant meneleponnya, menanyakan hal yang sama karena batang hidungnya belum ditemukan disana. Tapi setidaknya Lizzie sempat menerima telepon dari Armant dan meminta pada pemuda itu untuk mengabarkan pada ibunya bahwa Lizzie akan berada disana sesegera mungkin. Tiba ditempat, Lizzie berlari ke galeri dengan terengah-engah. Mina menepuk punggungnya begitu sang sepupu menemukan keberadaannya disana. “Kau terlambat sepuluh menit,” ungkap sepupunya sambil tersenyum simpul. “Ya, meski begitu aku mengerahkan semuanya untuk itu,” jawab Lizzie sambil menegakan tubuhnya, Mina melirik ke arahnya kemudian tiba-tiba saja menarik kemeja yang dia kenakan sehingga berada pada posisi yang lebih rapi. Mengancingkan kemeja yang dia kenakan dan merapikan rambut Lizzie yang acak-acakan terkena angin malam
“Armant.”Lizzie merasa udara disekitarnya seolah hilang begitu saja. “Kalian berdua saling kenal?” tanya Lizzie setelah beberapa menit ternganga lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan dan dengar di depan mata. Dengan enggan Daxon melangkah mendekat pada Armant, jemarinya mengetuk gelas kosong yang dia genggam dengan cara yang kikuk.“Semacam itu, kurasa,” sahut Armant tegas. “Sudah lama sekali Daxon, aku tidak tahu kalau kau sudah kembali.”“Ya, aku baru tiba,” timpal Daxon dengan getir.“Aku sebetulnya benci ikut campur dalam reuni kalian tapi aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi disini,” ungkap Lizzie sambil merangkul tangan Armant dengan cara bersahabat seperti biasa. Tertawa dengan cara yang terpaksa yang menyebabkan Mina sepupunya merasa malu karena itu. Gadis itu mencoba melepaskan rangkulan Lizzie dari Armant dan memintanya untuk memisahkan diri dari kedua pria itu.“Lizzie, kau tidak bisa ikut campur dalam urusan orang begitu saja. Apa yang kau
Setelah selesai dengan Mr. Pixys, Lizzie berjalan menuju ke arah parkiran. Dia tidak mengira bahwa Mina dan Armant menunggunya. Bukankah mereka beberapa saat yang lalu pergi karena ada janji?“Kenapa kalian masih ada disini?”“Oh ayolah, ada apa dengan senyuman itu? kau punya sesuatu yang harus kau bagi dengan kami kan?” sahut Armant tiba-tiba yang tentu saja memancing Lizzie untuk tersenyum lebar.“Kalian merencanakan sesuatu dibelakangku?”“Tentu tidak, secara kebetulan aku dan Armant memang punya janji. Tapi setelahnya entah kenapa kami memilih untuk kembali. Kami memikirkanmu Lizzie, rasanya jahat sekali saat kami menghabiskan waktu dengan oranglain saat malam ini adalah malammu,” ungkap Mina.“Masuk ke mobil, kita bicara di dalam,” timpal Armant lagi yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam mobilnya.“Aku bawa motor.”“Tinggalkan saja disana, nanti biar aku yang ambil motormu sebagai kompensasi.”Lizzie mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih sumringah, mengambil kursi belaka
Lizzie menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya dengan memilih menyandarkan diri di sebuah pohon dekat kampus. Mengeluarkan sebuah buku sketsa untuk menyelesaikan salah satu tugasnya. Dia membolak-balik buku sketsa tersebut, sedikit terhenyak karena kebanyakan isinya malah diisi oleh sketsa singkat sosok Daxon. Ini lucu, hanya karena kebersamaan singkat mereka Lizzie jadi lebih banyak mengingat pria itu secara tidak sadar.Sibuk dengan coretan baru, Lizzie sadar betul bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dari jauh. Gadis itu mendongak tepat waktu sebab dia mendapati seorang pemuda melemparkan tas ranselnya ke bawah diikuti tubuhnya sendiri yang dia jatuhkan tepat di sebelah Lizzie.“Tidak ada kelas lagi, bung?” tanya Lizzie tanpa mesti mengalihkan perhatiannya dari buku sketsa.“Basically,” balas pemuda itu seraya menghela napas lelah. “Apa-apaan dengan sebutan ‘bung’ itu? tidakkah kau merindukan memanggil namaku dengan cara yang seksi seperti biasanya ‘Levin~’ seperti itu,” sa
Selesai kelas dan bekerja sambilan, tadinya Lizzie pulang ke apartment-nya hanya untuk sekadar mandi. Mina saat itu sedang lembur di rumah sakit tempat dia magang, sementara Armant tampaknya punya janji sendiri untuk berkencan dengan Annie. Sesuatu yang Lizzie takutkan dapat dia lewati dengan baik dan sempurna sesuai harapannya. Dia tidak harus mengkhawatirkan banyak pertanyaan dari mereka berdua. Jadi, Lizzie bisa memanfaatkan waktunya dengan sangat baik untuk bersiap dan tampil sedikit lebih rapi. Dia berharap bisa sedikit modis seperti sepupunya Mina yang punya koleksi gaun malam di lemarinya. Tapi bila dia terlalu antusias dia takut Daxon malah menganggapnya gampangan. Karena itulah, dia memilih celana jeans gelap dan kemeja berwarna hitam. Rambutnya yang terurai acak, dia sisir rapi dan ikat ekor kuda dibelakang. Setelah bergumul di depan cermin agak lama, gadis itu hanya bisa mengumpat sebelum menyambar ponselnya yang kebetulan sekali mendapati pesan dari Daxon.DaddyHereLizzi
Lizzie tidak langsung menjawabnya, malah dia memilih untuk menatap Daxon, baru kepada pelayan yang melayani mereka. Marie. Itu adalah Marie. Kekasih Levin. Gadis yang dia temui sebelum akhirnya mereka bertemu kembali dengan situasi yang tidak terduga seperti ini. Namun yang lebih menganggu adalah mereka sama-sama berdusta sebelum bertemu kembali di tempat ini. Lizzie memaksakan wajahnya untuk berekspresi setenang mungkin, kemudian memberikan senyuman yang kikuk kepada gadis itu. “Hai.” “Sepertinya takdir mempertemukan kita kembali, ya?” Marie tertawa tapi Lizzie sama sekali tidak memahami dimana letak kelucuan dari kata-katanya. Meski begitu Lizzie tetap menganggukan kepala. “Ya.” “Namun lebih pada takdir yang lucu,” sahut Daxon tiba-tiba mengikuti arah pembicaraan kedua gadis di hadapannya sambil meletakan menu miliknya diatas meja sehingga menarik perhatian Marie. “Ah, maafkan saya. Apa yang inginkan sebagai pembuka?” “Aku ingin pesan segelas cabernet,” jawab Daxon santai. “Dan
Pria itu mengubah ekspresi wajahnya sesaat, menghela napas sebelum kemudian memberikan Lizzie sebuah senyuman penuh arti. “Itu bukan kisah yang bagus, sebenarnya. Aku tidak ingin mengubah suasananya.”“Aku tidak secengeng itu untuk langsung menangis hanya karena mendengar kisah sedih, Pak tua.”Daxon tiba-tiba mengambil garpu milik Lizzie, menusuk sepotong daging lalu menyuapi. Lizzie tidak keberatan atas aksi itu dan malah menikmati perhatian kecil darinya. “Kau dan mulut besarmu kadang perlu didisiplinkan sesekali,” sahut Daxon terkekeh.Lalu kemudian cerita meluncur dari mulut si pria. Kisahnya tentang Armant dan bagaimana hubungan mereka. Situasinya kurang lebih sama seperti yang Armant sempat ceritakan. Tapi kemudian ketika Daxon menyebutkan satu nama, kisah itu jadi sedikit lebih berat dari pada yang Lizzie sangka.“Pria itu adalah pria paling buruk untuk menjadi seorang wali bagi seorang anak,” ungkap Daxon sambil menyesap wine miliknya. Tatapan mata pria itu agak berkelana se