공유

Gadis Kacau & Si Om yang Benci Kekacauan

Beberapa saat yang lalu dia habis melampiaskan kekesalan pada seluruh lukisan yang dia kerjakan selama ini. Lantai dikamarnya berceceran cat dan peralatan lukis. Beberapa bahkan sudah dicabik-cabik dengan pisau oleh dirinya sendiri. Jendela dengan tirai diruangan khususnya tersebut dia biarkan terbuka, membiarkan musik yang dia putar keras-keras terbawa keluar dari apartment yang dia tempati bersama saepupu dan karibnya yang saat ini sedang tidak ada ditempat.

Gadis itu beranjak dari sofa, mengambil bungkus rokoknya. Dia selipkan satu batang di bibir, mengambil pematik dan menyalakan batang rokok yang telah siap. Lizzie berjalan mondar-mandir diiringi asap rokok. Suara vokalis, dentuman bas dan drum, berikut juga raungan gitar makin memenuhi kepala. Dia menjatuhkan dirinya di sofa lagi, merebahkan punggungnya denga nasal sambil menatap langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan perkataan sang Professor setelah dia mengumpulkan tugasnya hari ini setelah diberi deadline tambahan satu pekan.

“Jujur saja ya, Lizzie. Aku memberimu waktu lebih karena aku berharap kau bisa menciptakan sesuatu yang indah. Tapi aku kecewa karena yang kau berikan padaku hanyalah karya hampa yang tidak bernyawa. Kau sebut ini dengan ekspresi? Sebaiknya kau perbaiki dan berlatih lebih banyak sebelum kau tertinggal oleh teman-temanmu atau kau bisa keluar dari sini dan memulai mimpi baru. Belum terlambat untukmu. Aku tidak enak mengatakannya tapi jujur saja, kalau kemampuan terbaikmu hanya segini kau akan tamat dan tergerus, Lizzie.”

“Ah sialan!”

Lizzie kembali mendekati salah satu karya yang habis dia kumpulkan hari ini kepada sang professor tapi ditolak dengan mentah-mentah oleh pria itu. Rokok masih terselip di bibirnya, menatap nanar karya yang bisa dibilang merupakan karya yang dia usahakan bahkan nyaris tidak tidur setiap harinya. Dilihatnya lagi lukisan yang luput dari amukannya. Lukisan seorang wanita yang menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin. Timbul perasaan jijik ketika dia melihatnya. Apa yang salah dengan lukisan ini?

Meskipun Lizzie ingin percaya bahwa dia akan keluar dari situasi buntu, diakhir dia malah merasa tidak ada perkembangan dalam bakatnya dan makin buruk karena hal itu. Semua yang dia gambar sekarang dimatanya hanyalah sampah. Terlepas dari pujian sepupunya Mina dan seluruh motivasi yang menjamin yang pernah Armant katakan kepada dia. Tetap saja itu lebih pada obat sesaat dan dia kembali dipaksa untuk menerima kenyataan dimana apa yang ayahnya katakan adalah kebenaran. Dia benci bila apa yang dikatakannya benar. Dia ingin menunjukan pada pria yang telah menolak mimpinya itu bahwa dia bisa meskipun tanpa sokongan dana darinya. Tapi kalau begini, jangankan berdiri bangga menunjukan kehebatan yang ada ayahnya pasti akan mengolok dan bertepuk tangan.

Dia saat ini sendirian, dan berkat itu dia mulai membenci kesunyian. Karena keheningan biasanya selalu membawa dia pada inspirasi baru sebuah penciptaan karya. Tapi saat ini dia benar-benar muak dengan itu.

Alhasil Lizzie keluar dari apartment-nya dengan mengendarai motor tanpa tujuan, bermaksud menghilangkan seluruh penat dan rasa stress yang menjemukan. Dia menemukan sebuah toko buku dan tanpa pikir panjang dia masuk ke dalamnya. Melihat jejeran apik seluruh buah pikiran dari pengarang besar disana dan betapa indahnya cover yang dibuat untuk menunjukan isi dari bukanya membuat Lizzie sedikit lebih tenang. Meskipun dia tidak terlalu suka membaca, tapi dia bisa menemukan kembali kedamaiannya dengan sebuah buku-buku tentang fotograpi dan beberapa buku seni yang dipajang disana.

“Hei, Lizzie, apa yang kau lakukan disini? seingatku kau bukan kutu buku.”

Lizzie mendongak dan mendapati wajah Levin yang menyeringai padanya di ujung rak. Gadis itu mengangkat bahu membuat ekspresi arogan diwajah si pemuda terpaksa memudar. Levin mendekat dan mengintip dari belakang bahu si gadis, mencari tahu buku apa yang membuat dia tidak fokus pada eksistensinya.

“Menyingkir dari bahuku, kau berat,” ujar Lizzie sambil mencoba mendorong muka pria itu menjauh dari bahunya. Tapi Levin jauh lebih keras kepala sehingga dia bahkan tidak bergeser seujung centi-pun setelah Lizzie berusaha menyingkirkannya.

“Semuanya baik-baik saja? mood-mu sangat tidak karuan padahal aku tidak melakukan apa-apa,”

Lizzie tidak menjawab, tapi dari ekspresi mukanya Levin sepertinya bisa menebak masalah gadis itu. “Bad art week?”

“Ya,” sahut Lizzie seraya menghela napas, Levin kemudian beringsut dari posisinya yang menaruh dagu dibahu Lizzie. Memilih menatap gadis itu lekat-lekat. “Aku merasa tidak ada perkembangan, dan Professor Pixys juga mengatakan hal yang sama.”

“Kau mengambil hati perkataan si gondrong itu?” sahut Levin tidak percaya, tapi berkat komentarnya Lizzie malah cemberut. Levin rasa dia salah berkata sehingga mesti memutar otak untuk kembali memberikan gadis itu susana yang baru. Dia lalu membungkuk untuk kemudian melihat buku yang dipegang Lizzie. “Mungkin kau bisa mencari hobby baru untuk sementara? Memotret misalnya seperti isi buku ini?”

Lizzie menaikan sebelah alis. Levin mengatakannya dengan sangat mudah seolah-olah membeli kamera adalah sesuatu yang nihil. Kamera adalah benda mahal dan bukan sesuatu yang bisa dibeli satu kedipan mata. Jangankan untuk membeli kamera, uang yang Lizzie dapatkan dari Daxon saja dia sedang hemat mati-matian.

“Kau benar-benar buruk dalam menghibur orang ya,” sahut Lizzie sebal kemudian dia mengedarkan pandangan ke segala arah. “Apa Marie bersamamu?”

“Tidak.”

Lizzie menelan ludah dan menyadari bahwa kini wajah pemuda itu terlalu dekat, bahkan hidung Levin telah menyentuh bibirnya. Lizzie langsung beringsut dari posisinya, menarik diri pada batas aman. “Hei, kita tidak berciuman. Kau ingat perjanjiannya? Just fuck buddies.”

Levin setengah tersenyum dan tertawa getir. “Aku tahu itu, aku tidak bodoh.” Dia kemudian menatap Lizzie lagi. “Tapi aku lebih suka melupakannya. Pernah dengar quarter life crisis? Kita semua sesungguhnya depresi di usia ini.”

“Ngomong-ngomong soal depresi,” sahut Lizzie yang menutup buku yang dia pegang keras-keras seperti mencoba untuk mengeluarkan amarahnya dengan itu. Dia kemudian mengembalikan buku tersebut kembali ke rak. “Bagiku kau tidak berhak mengeluh di depanku seperti itu. Sejauh yang aku tahu, apa yang kau lakukan hanyalah duduk dan merasakan dirimu dihisap dibawah sana. There’s literally no work in it for you.”

“Kau membuat sebuah argumentasi yang layak. Kau bawa mobil?”

“Hanya motor, dan aku parkir di tempat yang lumayan jauh dari sini.”

“Mobilku diparkir di belakang.”

Lizzie tahu bahasa tubuh ini. Mungkin kontak fisik bisa membantu. “Baiklah, kita ke mobilmu.”

***

Lizzie duduk di kursi mobil kembali setelah berlutut nyaris setengah jam, dia menyeka mulutnya dengan punggung tangan sementara Levin masih terengah-engah. Kepalanya menghadap ke jendela sementara celana yang dia gunakan masih di posisi melorot pada pergelangan kakinya. Pria itu membiarkan Lizzie repot dengan menyeka benda lengket di mukanya. Levin tertawa.

“Itu seksi sekali kau tahu.”

“Dasar muka kuda. Sudah kubilang hanya membersihkanmu tapi kau malah keluar lagi, kau membuatku jadi bau.” Meski mengutarakan keluhan, tapi sepertinya benar. Kontak fisik membuat dia merasa sedikit lebih baik. Lega, dan bersemangat kembali. Walaupun perbuatan mereka salah dan Lizzie jelas tahu hal itu, tapi untuk sekarang dia tidak ingin memikirkannya lagi. Mereka sudah menjadi rekan seks cukup lama, dan selama itu pula Marie tidak pernah tahu soal hubungan mereka yang melewati batas ini. Lizzie memang sedikit menyesal karena menggunakan kekasih sahabatnya untuk melepaskan hasrat, tapi faktanya sebelum mereka berkencan Lizzie dan Levin sudah saling kenal dan mereka memang sudah terkait dengan hubungan ini.

“Tapi aku tahu kalau kau sangat menikmatinya, wajahmu jadi sedikit lebih cerah sekarang,” timpal Levin menggoda Lizzie. Dia mengatakan hal itu setelah membuka kedua matanya dan berhasil mengatur kembali napasnya.

“Shut up!”

“Kau tidak ketinggalan apapun, ‘kan?”

“Tidak.”

“Bagus, kalau begitu kita harus berpisah disini. Marie memintaku menjemputnya. Stay safe on the roads.”

“Ya,” sahut Lizzie kemudian, lalu membuka pintu mobil pria itu dan menutupnya keras-keras. Selalu seperti ini, ketika dia berada di atas maka setelahnya Levin akan membuat suasana hatinya jadi buruk lagi. Lizzie tahu bahwa berlama-lama dalam hubungan ini bersamanya hanya membuat segalanya tambah buruk. Mestinya dia tidak peduli, dan tidak melibatkan perasaan.

Hujan tiba-tiba turun, mulanya hanya rintik namun berkembang menjadi deras. Oh sial, bahkan setelah dibuang setelah dipakai dan menyesalkan kini hujan membatu mendramatisir keadaan. Tapi setidaknya bau tanah yang terkena hujan bisa membantunya menyamarkan. Membasuh wajahnya dari keringat dan air mani Levin di wajahnya. Membiarkan wajahnya basah kuyup ketika berjalan, ini menyejukan. Gadis itu menyibak rambutnya yang basah hingga tidak menghalangi wajahnya lagi.

Jika dipikirkan lagi sepertinya mereka berdua sadar atau tidak berkembang pada satu rasa yang sama. Faktanya Levin membiarkan dirinya duduk dikursi mobil dan mereka melakukannya disana. Bahkan membuat dia datang di mobilnya sendiri hanya dalam hitungan menit. Tapi kembali lagi, bahwa itu semua hanya permainan. Mereka punya aturan yang tidak pernah dilanggar. Lizzie tidak akan pernah menciumnya. Ciuman hanya berlaku untuk kekasihnya dan Lizzie jelas bukan kekasih pria itu. Lizzie hanyalah seseorang yang dia gunakan untuk melepaskan hasratnya, begitu pula Lizzie yang melakukan hal yang sama pada Levin.

“Ah … sial! Hujan membuat suasana hatiku tambah buruk,” gerutunya pada diri sendiri saat dia berjalan menerjang hujan. Perasaan kosong tiba-tiba merayapi diri. Terasa begitu dingin membuat dia merasa buruk dan juga kotor.

Dia meniduri Levin kali ini untuk mendistraksi dirinya dari masalah, tapi ketika selesai melakukannya dan dia tenggelam dalam ranah logika Lizzie merasa jijik pada dirinya sendiri. Dia meniduri seorang pria yang berada dalam hubungan berpacaran dengan sahabatnya sendiri. Sejujurnya Lizzie tidak pernah sekali pun berniat untuk menyakiti Marie. Tapi permainan konyolnya dengan Levin justru akan membuat situasi itu terjadi. Dia tetap melakukannya meski tahu itu salah. Bukankah itu sangat tolol? Dia tidak pernah berniat untuk menghancurkan hubungan percintaan sahabatnya. Dan tidak akan pernah merebut Levin dari sahabatnya. Karena meski memisahkan mereka, Lizzie tahu betul bahwa Levin tidak akan pernah mengencaninya.

Tiba-tiba air mata tumpah dan membasahi pipinya yang diguyur air hujan. Dia menangis. Gadis itu benar-benar terisak, air matanya yang bercampur dengan air hujan membuat dia seperti sedang memainkan peran dalam sebuah drama. Dulu dia seringkali mengejek orang yang menangis dibawah air hujan, tapi sekarang justru dia sendiri juga melakukannya. Pikirannya berkabut, segala hal yang telah dia lewati terasa tidak benar. Dia menghancurkan hidupnya sendiri. Kenapa semuanya malah jadi kacau balau? Kenapa dia terus saja mengacau dan mengambil langkah yang salah? Kenapa dia terus menyakiti dirinya sendiri seperti ini?

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti, menimbulkan bunyi decit ditengah derasnya hujan. Lizzie tersentak, dia menyadari bahwa dia baru saja menerobos jalanan ketika kondisi lampu lalu lintas berwarna hijau dan kini dirinya berada ditengah jalan dalam kondisi kakinya keseleo lantaran terpeleset. Bunyi klakson dan umpatan yang dimaksudkan untuk memakinya semakin terdengar keras. Kakinya terasa lemas, rasa terkejut dan takut membuat dia makin tidak bisa membawa tubuhnya untuk menepi dan malah duduk di tengah jalan seperti orang yang tolol.

“Lizzie! Masuk ke mobil!” Diantara suara klakson dan makian orang-orang. Lizzie bisa mendengar suara yang amat familiar ditelinganya. Melalui hujan deras, pria itu menerobos dan berlari ke arahnya. Sial, dia benar-benar tidak habis pikir bahwa dia akan bertemu lagi dengan Daxon dalam situasi ini. Lizzie hanya bisa menutup mata, tidak berani melihat situasi yang akan dia hadapi. Dia pikir mungkin dirinya akan dihakimi tapi siapa sangka bahwa justru orang itu malah meraih tubuh Lizzie dan mengangkatnya dengan mudah, membawa dirinya menuju mobil yang beberapa saat lalu hampir mencabut nyawanya.

Pria itu membuka pintu mobil, setengah melempar tubuhnya ke dalam seperti ragdoll. Tiba-tiba sudah tidak ada lagi hujan, klakson tidak lagi terdengar, udara disekitarnya terasa hangat. Si pria penolong sudah duduk dikursi kemudi dan menginjak pedal gasnya. Lizzie hanya bisa menunduk, menghindari tatapan dingin Daxon padanya sesaat sebelum pria itu menghentikan mobilnya.

“Hei, Lizzie! Coba lihat aku! Apa kau tahu akibat yang akan kau dapatkan dari perbuatanmu barusan? Mau mencoba membuat dirimu terbunuh dijalanan begitu? Aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepalamu. Hei, kau mendengarku?!” Tumpahan emosi langsung Lizzie dapati darinya. Kemarahan yang bercampur kekhawatiran dari orang itu malah membuat Lizzie makin tersulut emosi.

“Ya, aku mendengarkamu!” teriak Lizzie. “Tidak perlu berteriak seperti itu karena aku tidak tuli!” sahut Lizzie lagi yang kali ini suaranya terdengar sumbang gara-gara bibir bawahnya bergetar. Dia tidak bermaksud untuk berteriak dan membentak, hanya saja gemuruh di dadanya berkali-kali lipat menyakitkan hingga tanpa sadar dia melampiaskannya pada Daxon. Meskipun dia sadar bahwa pria itu tidak salah apa-apa. Dia menyeka matanya yang penuh dengan air mata dengan punggung tangan yang sama basahnya.

“Astaga, Lizzie,” gumam Daxon yang langsung mengulurkan tangan membuka kotak penyimpanan di dashboard mobilnya. Mengeluarkan sebungkus tisu dan melemparkan benda itu ke pangkuan Lizzie di jok belakang tanpa melihat. “Bersihkan dulu wajahmu dengan itu.”

Lizzie menganggukan kepala, meski masih dalam kondisi terisak tapi dia mulai menyeka wajahnya yang basah dengan tisu yang Daxon berikan. Merasa lama menunggu akhirnya Daxon berbalik dan mengambil alih tisu yang ada dipangkuannya. “Lizzie lihat aku.”

Diam-diam Lizzie akhirnya mematuhi perintah sederhana itu dan membiarkan Daxon membantunya. Daxon mengusap seluruh wajah Lizzie dengan sangat hati-hati dan lembut. Menyeka matanya yang sudah berwarna merah, dan pipinya yang dipenuhi oleh kotoran dan tanah. Selesai dengan itu dia bahkan memencet hidung Lizzie dan membantunya mengeluarkan ingus dan menyekanya.

“Kau benar-benar tidak bisa mengurus dirimu sendiri,” ujar Daxon seraya menghela napas, melemparkan tisu bekas ingus itu ke luar dan pas mengenai tong sampah yang kebetulan ada di sisi mobilnya.

Bibir Lizzie bergetar lagi dia malah meringkuk dikursi mobil Daxon. “Meskipun aku memang bukan orang kaya dan sombong sepertimu yang bisa melemparkan uang sebanyak yang kau mau pada setiap gadis yang kau temui, tapi aku bisa mengurus diriku sendiri dengan baik.”

Mau tidak mau Daxon terkekeh pelan, “Ya, ya. Tapi dimataku kau masih seperti gadis nakal yang mencoba membohongi dirinya sendiri. Jadi apa yang membuatmu begitu kesal sampai kau berjalan-jalan di tengah hujan sambil menangis dan menyebrang tanpa memperhatikan lampu lalu lintas?”

Lizzie memilih bergumam, “Ini rumit, kau tidak akan mengerti.”

“Jangan bilang kau menyukai seseorang, dan orang itu teman lama atau semacamnya. Tapi dia memperlakukanmu sangat buruk dan kau tahu bahwa seharusnya kau tidak tertarik dan berhenti. Kau ini gadis yang pintar bermain tapi bersamanya kau justru merasa dipermainkan dan kau punya sedikit harapan bahwa mungkin kau dan dia bisa menjadi sesuatu dimasa depan. Apakah seperti itu?”

Napas Lizzie tercekat, dia merebut tisu yang Daxon ambil dan kembali menyeka wajahnya lagi. “Kalau tidak salah ingat, profesimu adalah pengacara dan bukan cenayang.”

“Tapi kau harus tahu bahwa seorang pengacara itu pandai membaca orang. Aku mempelajari psikologi dan itu mudah.”

“Apa-apaan itu? kenapa kau seakan-akan sedang pamer dengan semua kebisaanmu di depanku? Kenapa kau jadi terlihat dua kali lipat lebih menarik padahal kau jauh lebih tua dariku? Kau sedang mencoba menjebak aku dengan pesonamu itu heh om-om tua!”

Ya, itu memang sebuah pengakuan yang tidak terduga dari bibirnya. Tapi yang pasti Lizzie mengatakan yang sebenarnya. Ini benar-benar tidak adil. Lizzie berusaha keras dan mati-matian untuk menguasai bidangnya dan belajar dengan keras, tapi baik itu professornya bahkan ayahnya tidak ada yang mengakui usahanya. Sedangkan Daxon sendiri dia punya segalanya. Dia pintar, mengerti semua hal tanpa harus berusaha keras, pandai menempatkan diri dan tahu apa yang harus dia katakan disetiap situasi, dia punya uang, sukses, bahkan sangat mempesona meskipun berada diusia matang dan tidak semuda dirinya. Ini menyebalkan buat Lizzie.

"Kalau kau terjebak dengan pesonaku justru itu lebih bagus," timpal Daxon dengan suaranya yang merendah.

Daxon juga mengulurkan tangan padanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyusupkan tangannya ke rambut Lizzie membelainya dengan cara yang sangat lembut dan penuh perasaan. Alih-alih melawan dia justru membiarkan pria itu menyentuhnya, dan malah menutup kedua matanya menikmati belaian halus pria itu kepada dirinya. Lizzie tertawa gusar.

“Kau bisa mendapatkan siapa pun yang kau inginkan,” ujar Lizzie lugas. “Bahkan kau tidak harus berusaha keras untuk itu. Kenapa kau harus repot-repot terlibat dengan orang sepertiku? Aku ini gadis yang kacau. Aku bahkan mengacaukan hidupku sendiri, sudah barang tentu aku juga bisa mengacaukan hidupmu yang sempurna itu.”

“Kau benar, aku benci kekacauan,” sahut Daxon tanpa perasaan yang membuat hati mungil Lizzie agak tersentil dan makin remuk. Baiklah, sepertinya Lizzie salah mengira tentang Daxon yang pandai menempatkan diri dan tahu apa yang harus dia katakan disetiap situasi. Yang jelas perkataannya kali ini agak menyakitkan.

“Sudah kubilang kan. Jadi menjauh sajalah… Kebetulan ini hanya menciptakan harapan lebih yang nantinya akan membuat aku lebih sakit hati,” sahut Lizzie lagi. “Aku ini perempuan yang berantakan, ayahku saja menolakku apalagi kau.”

“But for me, you're a mess with the prettiest fucking eyes I've ever seen and I can't stop thinking about them."

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status