Happy reading....
Selama hampir satu minggu berada di rumah orang tuanya, tak sekalipun Anne mendengar keluhan dari Hera tentang rumah tangganya dan Jayden.
Apakah hanya aku saja yang terlalu paraniod? Batin Anne. Melihat bagaimana Hera sangat bahagia saat mengurus Juan dia jadi ragu jika sang anak memiliki masalah.
"Apakah aku sudah pantas menyandang gelar ibu sekarang?" tanya Hera tersenyum bangga saat dia selesai memakaikan baju pada Baby Juan. Dia begitu puas karena akhirnya bisa mengurus Juan dengan baik. Mulai dari memandikan hingga memakaikan Baby Juan popok dan baju, Hera melakukannya sendiri tanpa bantuan dari sang ibu lagi.
"Juan sangat beruntung punya ibu seperti dirimu, Nak," kata Anne membuat senyum Hera semakin merekah.
"Benarkah?"
"Iya, putriku sayang."
Hera langsung memeluk sang ibu dengan erat. Begitu bahagia mendapat banyak pelajaran berharga untuk mengurus Juan. Terlepas dari itu soal masalah rumah tangganya, Hera bukannya tidak ingin bercerita pada sang ibu tapi ucapan Anne beberapa hari yang lalu membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
"Bagaimana keadaan perusahaan ayah, Bu?" tanya Hera pelan.
"Sejak bergabung dengan perusahaan suamimu, bisnis ayah semakin lancar. Bahkan ayahmu bisa menaikkan gaji karyawannya," jawab Anne dengan wajah berseri-seri tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Hera tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia senang karena bisnis ayahnya semakin baik namun di sisi lain itu berarti Hera akan makin terikat dengan Jayden.
Lalu bagaimana caranya Hera berpisah dengan Jayden?
"Memangnya kenapa, Nak?" tanya Anne.
Hera menggeleng pelan menampilkan senyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu." Pupus sudah harapan Hera untuk lepas dari Jayden dalam waktu dekat.
"Kurasa aku harus bertahan sebentar lagi," lirih Hera hampir tak terdengar.
"Selamat sore!" sapa seseorang membuat kedua wanita itu mengurai pelukan lalu menoleh.
Hera menghela napas cepat. Baru saja dia melupakan masalahnya sebentar, pria dengan surai coklat itu sudah datang seakan memberitahu Hera jika dia tidak akan lepas semudah itu.
"Selamat sore, Jayden," sambut Anne menghampiri menantunya. Memberikan pelukan hangat lalu membawanya menghampiri Hera.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Sayang?" tanya Jayden setelah dia menghadiahi dahi Hera sebuah kecupan singkat. Hal yang selalu dia lakukan saat datang ke sana.
Hera sempat berpikir jika Jayden tidak akan datang dan peduli padanya seperti saat di rumah sakit. Namun ternyata Hera salah. Setiap hari pria itu akan datang mengunjunginya bahkan menginap bersamanya di sana.
Seperti biasa Jayden selalu menjalankan perannya dengan baik. Sosok menantu idaman keluarganya.
"Aku baik-baik saja." Sebelum kau datang menghancurkan semuanya. Kesal Hera dalam hati.
"Syukurlah. Karena hari ini aku ingin kau pulang ke rumah," kata Jayden.
"Apa?"
"Kenapa kau terlihat sangat terkejut, Sayang?"
Hera menatap sang ibu lalu tersenyum tipis. "Tidak ada," jawabnya cepat kemudian menunduk.
Jayden menghampiri Anne. "Tidak apa 'kan, Bu. Jika hari ini aku membawa Hera pulang?" tanya Jayden dengan nada sedikit membujuk.
Anne menatap Hera terlebih dahulu sebelum mengangguk. "Tentu. Ibu tidak punya hak menahannya lebih lama di sini," kata Anne.
"Terima kasih, Bu. Aku yakin Hera sudah bisa mengurus Juan sendirian mulai sekarang," kata Jayden menatap Hera penuh kemenangan. Karena akhirnya dia bisa membawa Hera pergi dari sana.
***
Tidak ada yang membuka suara selama dalam perjalanan. Hera sibuk dengan Juan sementara Jayden sibuk di balik kemudi mobil. Mereka benar-benar telah terpisah oleh dinding yang dibangun keduanya dalam hubungan pernikahan itu.
Saat sampai di rumah, Hera tak lantas turun untuk masuk ke dalam. Bayangan malam menyakitkan itu masih membayangi Hera. Seandainya malam itu terjadi sesuatu pada bayinya, dia mungkin akan membunuh Jayden dengan tangannya sendiri. Syukurlah semuanya baik-baik saja.
Hera membuang napas pelan menatap rumah itu. Dia seakan punya trauma tersendiri dengan rumah itu. Dan sialnya dia harus tinggal di sana entah sampai kapan.
"Kau akan turun atau tidak?" tanya Jayden yang sudah berada di luar mobil.
Hera hanya menoleh sebentar kemudian turun dari mobil. Wanita yang sedang menggedong buah hatinya itu menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah Jayden masuk ke dalam rumah.
Setiap langkah terasa begitu berat. Namun tangisan dari bayi dalam gendongannya seakan menjadi pendorong agar Hera segera masuk. Mungkin Baby Juan mulai merasa kedinginan.
Saat sampai di dalam dia disambut dengan antusias oleh para maid. Terutama Ara. Gadis berusia 22 tahun, maid yang paling dekat dengan Hera.
"Nona Hera sudah pulang!" ujar Ara dengan senyum merekah di wajahnya. Hera membalas senyuman itu tipis. "Boleh aku menggendongnya?" tanya wanita itu menatap Juan.
"Tentu," jawab Hera menyerahkan Juan pada Ara. Walau bagaimanapun nanti memang Aralah yang akan menjaga Juan.
"Aku ingin istirahat," gumam Hera berniat untuk segera ke kamarnya tapi Jayden menahan langkah Hera.
"Ada apa?" tanya Hera bingung.
"Kamar itu sudah menjadi kamarku dan Elena. Kau bisa pakai kamar tamu mulai sekarang," jawab Jayden membuat Hera menganga. Apa katanya? Kamarnya dan Elena.
"Selamat datang kembali, Hera!"
Wanita yang baru saja disebut namanya itu muncul dari arah belakang Jayden. Merangkul bahkan memberikan kecupan singkat di pipi Jayden.
Hera terkekeh kecil. Betapa tidak tahu malunya dua manusia di depannya itu. Di sini bahkan masih ada Ara dan beberapa maid namun mereka tak segan beradegan mesra. Ya Tuhan.
"Apa-apaan ini, Jayden? Kau membiarkan wanita ini tinggal di rumah kita?" tanya Hera menunjuk wanita itu.
"Apa katamu? Rumah kita?" Jayden terkekeh remeh. "Ini rumahku. Jangan salah sangka. Jadi terserah padaku ingin membawa siapa kemari," lanjutnya.
"Ya itu benar sekali. Lagi pula sudah seharusnya aku memang tinggal di rumah ini," ujar Elena. "Tapi kau malah merebutnya. Tapi sekarang aku sudah merebut kembali hakku," lanjutnya tersenyum lebar.
Hera menatap Jayden. Sekarang dia tahu tujuan pria itu membawanya pulang. Dia ingin menunjukkan jika dirinya sekarang sudah menang atas Hera dengan membawa selingkuhannya tinggal bersama mereka.
Hera dengan kuat menahan air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Karena dia yakin itulah yang diinginkan Jayden dan Elena. Walau sebenarnya Hera sudah tidak tahan lagi.
"Terserah kalian saja!" kata Hera berlalu dari sana. Diikuti oleh Ara.
"Nona Hera!" panggil Ara lirih sesaat setelah mereka sampai di dalam kamar.
"Tolong, Ara. Bisakah kau biarkan aku sendirian?" pinta Hera dengan posisi membelakangi Ara.
"Baik, Nona." Ara mengangguk pelan. Meletakkan Baby Juan di atas tempat tidur kemudian keluar dari kamar meninggalkan Hera yang sudah bercucuran air mata.
Samar terdengar suara tawa dari luar kamarnya. Pasangan itu seperti tengah mengejek Hera yang menangis sendirian di dalam kamar. Hera terduduk sambil bersandar di tempat tidur. Memeluk lututnya agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Ya Tuhan, apakah aku bisa bertahan?" tanya Hera. Sungguh dia merasa tidak akan sanggup menghadapi Jayden dan Elena sendirian.
To be continue....
Happy reading.... "Kau menyuruhku untuk tinggal bersamamu dan Hera? Apa kau gila, Jayden!" pekik Elena lalu mendengus kesal. Elena sudah benci pada Hera setengah mati lalu hari ini tiba-tiba saja Jayden datang dan mengatakan dia harus tinggal bersama Hera. Yang benar saja. "Gila? Justru ini adalah yang terbaik untuk kita, Sayang. Bukankah kau ingin selalu bersamaku?" ujar Jayden meyakinkan Elena jika keputusannya itu benar. "Ya, itu benar tapi aku tidak bisa tinggal bersama Hera," kata Elena membuang muka tidak ingin menatap Jayden lagi. Dia malah beranjak menuju jendela menatap keluar seakan pemandangan malam yang gelap lebih indah dari kekasihnya yang sekarang duduk di sofa sambil memandangnya. Balutan dress piyama berbahan sutra itu terlihat sangat cocok di tubuh Elena membuat Jayden tak bisa mengalihkan pandangan. Elena terlihat sangat cantik. Dia lalu mendeka
Happy reading... Hera memejamkan matanya sesaat setelah dia menutup pintu kamar. "Aku tidak salah 'kan?" tanya Hera entah pada siapa. Hera berkata seperti itu pada Elena bukan karena dia tidak ingin berpisah dari Jayden. Sungguh wanita itu ingin lepas dari Jayden namun sekarang bukan hanya ayah dan ibunya yang dia pikirkan namun juga bayi yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. "Aku tidak bisa membiarkan Juan tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh," lirih Hera mendekati Juan lalu mengelus lembut pipinya. Bayi itu sedikit menggeliat membuat Hera tersenyum tipis. "Aku ingin dia tumbuh bersama ayah dan ibunya. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Hera lagi. Hera sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berkorban sejauh ini maka tidak ada lagi kata mundur. Hera akan mempertahankan rumah tangg
Happy reading.... Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden. "Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan. Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka. "Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambi
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol