Happy reading....
Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya.
"Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena.
"Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar.
"Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi.
"Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu.
"Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden mencolek gemas dagu wanita itu.
"Tapi, Hera ...."
"Dia juga akan datang."
"Dan akan menjadi istrimu yang kau kenalkan pada kolega bisnismu," lirih Elena mendengus pelan. Sungguh kenyataan yang membuatnya ingin melenyapkan keberadaan Hera secepatnya.
"Itu hanya sampai proyek ini selesai. Setelahnya, kau yang akan menyandang gelar Nyonya Jayden Xavier ... satu-satunya," kata Jayden lalu mengecup pipi Elena gemas.
Harapan Elena seakan muncul kembali bahkan dia tak bisa menyembunyikan senyum yang tertukir di wajah cantiknya.
"Baiklah, aku akan datang," katanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.
"Kalau begitu aku pamit. Aku harus mengurus segala persiapan pesta," kata Jayden setelah melirik jam tangannya.
Elena hanya berdehem menatap lurus ke arah Jayden yang semakin jauh darinya. Hingga punggung lebar pria itu kini benar-benar menghilang di balik pintu.
Sebelum datang ke hotel yang akan menjadi tempat acara besarnya malam ini, Jayden terlebih dahulu pulang ke rumah. Dia tidak mungkin datang ke hotel dengan keadaan yang kacau seperti ini. Hal itu bisa membuat wibawanya sebagai seorang CEO tercoreng.
Sebenarnya dia tidak perlu repot untuk mengontrol segalanya. Toh, pekerjaan itu sudah ia limpahkan pada Roy dan Jayden yakin pria itu tidak akan pernah mengecewakannya.
"Kau dari mana saja?"
Kata pertama yang Jayden dengar saat dia memasuki rumah itu.
"Bukan urusanmu!" ketus Jayden tanpa melirik Hera sedikitpun.
"Lalu di mana Elena?" Pertanyaan itu sontak membuat Jayden menghentikan langkah dan akhirnya menoleh ke arah Hera.
"Kenapa kau bertanya? Bukankah ini yang kau inginkan? Agar Elena keluar dari rumah ini?" tanya Jayden beruntun dengan seringai mengejek di wajahnya.
"Memang itu yang aku inginkan," jawab Hera.
"Apa?"
"Walau bagaimanapun, wanita itu bukan siapa-siapa. Jadi dia tidak berhak tinggal di rumah ini."
"Jaga ucapanmu, Hera!" pekik Jayden cukup kuat.
"Dan kau juga jaga perbuatanmu, Jayden. Kau masih berstatus suamiku. Kau tidak ingin 'kan reputasi keluarga ini hancur saat ada yang tahu kau membawa selingkuhanmu tinggal bersama istrimu," balas Hera membuat Jayden kehabisan kata-kata.
Sosok Hera yang seperti sekarang tak pernah Jayden lihat sebelumnya. Dia ternyata lebih kuat dari dugaan. Jayden bak menemukan lawan yang seimbang. Dan keadaanlah yang memaksa Hera mengeluarkan sisinya yang begitu egois. Sudah cukup dia menangis dan terluka melihat suami yang ia cintai justru bercumbu dengan wanita lain di depan matanya. Untuk melawan mereka bukan dengan air mata namun dengan sebuah perlawan balik. Hera tidak ingin selalu berada di bawah tekanan pasangan tidak tahu malu itu.
"Kau mengancamku?" tanya Jayden seakan tidak percaya.
"Jika kau menganggapnya seperti itu ... iya aku mengancammu," balas Hera kemudian berlalu dari sana meninggalkan Jayden yang hanya bisa terkekeh kecil. Betapa berani wanita itu.
***
Hera tersenyum tipis melihat pantulan bayangannya di cermin. Gaun itu terlibat sangat cocok di tubuhnya.
"Kau sudah selesai?" tanya Jayden masuk begitu saja ke dalam kamar tamu yang ditempati Hera. Walau Elena sudah tidak ada di sana Hera masih enggan untuk pindah, lagi pula dia tidak punya alibi untuk kembali ke kamar itu lagi.
"Sudah," jawab Hera seraya tersenyum manis. Tanpa sadar Jayden terus memperhatikan Hera. Dalam balutan gaun panjang berwarna peach itu Hera terlihat sangat anggun dan cantik. Dandannya pun tidak berlebihan membuat dia seperti wanita yang berusia dua puluh tahun. Bahkan tak terlihat seperti wanita yang baru saja melahirkan.
"Kita pergi sekarang?" tanya Hera menyadarkan Jayden dari lamunannya.
Jayden kegalaban. "Y-ya. Ayo kita pergi!" katanya berjalan lebih dulu. Jayden sampai harus berpura-pura memperbaiki penampilannya agar tidak kelihat gugup di depan Hera.
Sial! Kenapa aku seperti ini? Tanya Jayden pada dirinya sendiri.
Sebagai seorang pasangan yang akan menjadi sorotan di sana. Jayden dengan sigap membawa tangan Hera untuk melingkar di lengannya. Seperti biasa, saat berada di depan umum seperti sekarang mereka harus memberikan sandiwara yang membuat setiap orang yang melihatnya akan iri atau terkesan.
"Selamat datang!" sambut beberapa orang yang dibalas pelukan singkat dari Jayden serta senyuman manis dari Hera.
"Aku ingin bertemu ayah dan ibu dulu," kata Hera pamit pada Jayden saat nertranya menemukan eksistensi ayah dan ibunya. Jayden hanya mengangguk pelan tanda izin dan kembali sibuk mengobrol dengan para koleganya.
"Ayah, ibu!" panggil Hera membuat pasangan itu berbalik untuk menatap Hera.
"Hera! Kau sudah datang, Nak?" sambut sang ibu membawa putrinya ke dalam pelukannya.
"Iya, Bu. Aku tidak menyangka ayah dan ibu akan datang." Mata Hera berkeliling lagi seperti mencari seseorang. "Apa Mama dan Papa juga datang?" tanya Hera kembali menatap orang tuanya.
"Mereka ada di sana!" tunjuk Andrew pada besannya yang juga sedang sibuk mengobrol bersama beberapa klien.
Mereka hanya tersenyum ke arah Hera beberapa saat dan Hera pun membalas sambil melambaikan tangan pelan.
"Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama," kata Andrew menunjuk pria dengan balutan jas berwarna silver di depannya.
Hera tersenyum manis ke arah pria itu lalu mengulurkan tangannya.
"Hera Altezza, istri Jayden Xavier," kata Hera memperkenalkan diri. Walau sebenarnya dalam lubuk hatinya dia hanya ingin memperkenalkan diri sebagai Hera saja tanpa embel-embel istri Jayden.
"Haidar Pratama," ujar Haidar menjabat tangan Hera.
Waktu terasa berhenti di sana. Hera menatap lekat Haidar begitupun dengan pria itu.
Kenapa aku merasa pernah melihat mata hitam legam itu di suatu tempat? Lirih batin Hera.
Suara, wajah bahkan rasa hangat yang tercipta dari perkenalkan mereka ini seperti Hera pernah melihat dan merasakannya sebelumnya namun dia lupa di mana.
Haidar terlihat tidak asing. Namun terasa asing untuk Hera. Dengan cepat wanita itu menarik tangannya membuat tangan dan tatapan itu terputus. Bahkan mereka tidak sadar jika mereka hanya tinggal berdua di sana. Entah ke mana perginya ayah dan ibu Hera.
"Maaf ...." Haidar bersuara membuat Hera menoleh padanya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Haidar.
Jadi, bukan hanya aku yang merasa dia tidak asing? Sebenarnya siapa Haidar Pratama?
To be continue....
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading.... "Apakah kau tidak punya baju yang lebih sopan?" tanya Haidar pada wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Dia terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. "Tidak," jawab Viona singkat membuat Haidar hanya bisa memutar bola matanya malas. Sekarang mereka sedang berada di dalam lift menuju ruangan Haidar. Pria itu sudah meminta agar Viona tinggal di apartemen saja namun wanita itu menolak dengan alibi ingin melihat kantor Haidar. "Setidaknya kau bisa menghargai sedikit kantorku, Vio," kata Haidar lagi setelah mereka telah sampai di ruangan yang didominasi dengan warna putih dan hitam. Bahkan lukisan yang terletak di dindingnya pun hanya memiliki dua warna netral itu. Sangat menggambarkan seorang Haidar. "Pakaianku 'kan memang selalu seperti ini. Kenapa kau terlihat risih?" tanya Viona kini duduk di sofa yang terletak di depan meja Haidar. &nbs
Happy reading.... "Tolong kau urus semuanya dulu," kata Haidar pada sang asisten yang kini berdiri tegap di depan mejanya. "Kalau boleh tahu, Anda mau ke mana, Pak Haidar?" tanya pria yang memiliki usia sebaya dengan Haidar, Ridwan. Haidar tersenyum tipis setelah selesai memakai kembali jasnya. "Mengurus masa depan," katanya membuat Ridwan ikut tersenyum manis. Baru kali ini dia melihat sang atasan terlihat begitu bahagia. "Tentu, Pak. Saya menunggu kabar baiknya segera," timpal Ridwan membuat senyum Haidar semakin lebar. "Doakan saja semuanya lancar," katanya lalu mengambil kunci mobil. "Kalau begitu saya pergi dulu. Jangan mengecewakanku, Ridwan," lanjut Haidar kemudian berlalu setelah Rindwan mengangguk paham. Tak butuh waktu lama, mobil Haidar telah sampai di tempat tujuannya. Rumah sakit. Haidar membuka jas dan juga rompi yang ia kenakan. Ras
Happy reading.... "Kau sudah selesai?" tanya Haidar sebelum masuk ke dalam mobil. "Sudah," jawab Hera. Setelah mendengar jawaban Hera, Haidar segera masuk ke dalam mobil. Netranya tertuju pada baby Juan yang tertidur dipangkuan Hera. "Dia juga sudah tidur," lanjut Hera tersenyum simpul. "Terimakasih, Haidar atas pengertianmu," kata Hera menatap Haidar tulus. Mungkin jika orang lain mereka pasti sudah marah karena kejadian tadi. "Tidak masalah. Lagi pula aku tidak mungkin diam saja melihat jagoan ini menangis," kata Haidar mencubit pipi Juan gemas namun tak sampai membuatnya terbangun. "Oh iya, kau dari mana?" tanya Hera. Dia sempat melihat tadi Haidar pergi dengan sedikit terburu-buru. "Ah itu, aku membeli minuman dan beberapa makanan," ujar Haidar mengangkat paper bag berwarna coklat di tangannya. Tidak
Happy reading.... "Saya permisi sebentar," kata Jayden pamit. Sejak awal wanita itu datang Haidar sudah merasa jika di antara Jayden dan wanita itu pasti ada sesuatu dan benar saja. Haidar terkekeh kecil melihat adegan di mana rekan bisnisnya itu memeluk erat wanita tadi di luar hotel. "Jadi kau memiliki hubungan gelap di belakang keluargamu, Jayden?" dengus Haidar. Kedua tangannya mengepal kuat. Jika tidak ingat dengan rencananya sudah bisa dipastikan Jayden akan masuk rumah sakit malam ini. Berani sekali pria itu mengkhianati wanita yang Haidar cintai di saat Haidar sudah mengalah untuknya. *** Hera diam seribu bahasa. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Berbohong juga tidak mungkin karena Haidar sudah melihat semuanya. Tangan wanita itu saling mengait satu sama lain dengan mata yang menunduk.