Happy reading....
"Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga.
"Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden.
"Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon."
"Aku hanya merindukanmu."
Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu.
"Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu.
"Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden.
"Baiklah."
Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya.
Namun ternyata ekspektasi Elena di luar dugaan.
Prang!
Gelas yang berisi wine pecah berkeping-keping di atas lantai.
"Jadi kau tidak mau menceraikan Hera dalam waktu dekat?" tanya Elena begitu emosi. Padahal dia sudah berdandan sangat cantik dengan balutan gaun berwarna biru yang sangat seksi tapi semuanya terasa sia-sia. Dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Bukan tidak mau, tapi tidak bisa," jawab Jayden. Sungguh dia pun sangat frustasi sekarang.
Elena terkekeh kecil lalu melipat tangannya di dada. "Lalu kau ingin aku bertahan dengannya dalam satu atap? Ck! Aku tidak sudi!"
"Tolong, Elena! Hanya sampai proyek ini selesai," kata Jayden memohon sambil mengelus bahu Elena yang bergetar karena emosi.
"Jika memang kau lebih membutuhkan Hera dari pada diriku, lebih baik kau memilih dia saja!" tegas Elena mengambil tasnya yang terletak di atas tempat tidur. "Tidak usah peduli lagi padaku!" katanya lagi beranjak dari sana tak ingin melihat Jayden lagi.
"Ah, sial!" umpat Jayden menatap frustasi kepergian Elena.
Sejak awal pernikahannya dengan Hera memang hanya untuk kepentingan bisnis. Hanya gimik agar keluarga mereka terlihat sempurna. Tak peduli betapa Jayden sangat membenci Hera dia tetap melakukannya agar apa yang pria itu inginkan bisa terwujud.
Namun Jayden sudah terlalu muak bersandiwara di depan Hera hingga dia mengambil keputusan yang mungkin dia sesali hari ini. Seharusnya Jayden bisa mengontrol sedikit egonya sampai dia mendapatkan segalanya.
Kini segala impian Jayden berada di depan matanya namun terhalang karena dia harus memilih antara Elena atau impiannya.
"Tidak ...." Pria itu menggeleng cepat. "Aku tidak mau kehilangan keduanya. Aku akan mempertahankannya bagaimanapun caranya," lirih Jayden mengeluarkan sisinya yang paling egois.
***
Elena membanting dengan kasar tas yang ia bawa ke atas sofa. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh begitu saja. Wanita itu terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Menyembunyikan suara tangis yang membuatnya merasa sangat lemah di hadapan takdir.
"Apakah kau akan kalah untuk kedua kalinya, Elena?" lirih wanita itu miris. Sungguh dia sangat kasihan pada dirinya sendiri.
Entah kenapa takdir begitu kejam padanya. Setiap rencana yang ia rancang tidak pernah sesuai dengan apa yang terjadi. Selalu saja berakhir Elena yang akan menangis. Dia bukannya tidak ingin melihat pria yang ia cintai sukses tapi tidak bisakah Elena menjadi alasan untuk itu?
"Kenapa harus Hera? Kenapa bukan aku?!" pekik Elena kuat melempar vas bunga yang terletak di atas meja hingga hancur berkeping-keping.
"Bukan salahku terlahir dalam keluarga yang berantakan ... hiks ... hiks," tangis Elena semakin terdengar pilu. Jika saja keluarganya seperti keluarga Hera mungkin nasibnya tidak akan setragis sekarang. Pasti semuanya akan berbeda.
"Elena!" panggil seseorang menerobos masuk ke dalam rumah wanita itu. Dia hanya menoleh sebentar lalu membuang muka.
Sosok itu menghampirinya dan langsung memeluk Elena dari belakang.
"Kenapa kau kemari, huh? Datang saja pada istrimu itu tidak usah datang lagi padaku!" marah Elena memberontak namun percuma saja karena ia sudah terlalu lemah akibat terlalu banyak menangis. Ternyata sisi kekanakan dan ingin dibujuk tak pernah hilang dari sosok Elena.
"Aku tidak mungkin datang padanya saat aku hanya mencintaimu," lirih Jayden menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih.
Jika sudah seperti ini, Elena tidak akan bisa lepas lagi dari Jayden. Terlebih saat bibir tebal pria itu mulai mengecupnya dengan intens.
"Eugh ...." Hanya akan terdengar lenguhan lirih dari mulut Elena saat Jayden mulai mengambil alih dirinya.
Jayden memutar tubuh Elena untuk menatapnya. Pada detik ketiga dua belah bibir itu bertemu dengan sempurna. Hingga tanpa sadar kini Elena telah terduduk di atas sofa. Dengan tergesah Jayden melepaskan pakaian Elena walau masih menyisakan celana yang tersakut ujung kaki serta pakaian bagian atas yang teracak sempurna karena cumbuannya.
Kadang wanita dengan rambut panjang itu begitu benci pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah bisa membenci Jayden. Walau pria itu selalu saja mengecewakan dirinya. Elena benci karena pada kenyataannya dirinyalah yang tak bisa jauh dari Jayden. Dia yang sangat membutuhkan Jayden di sisinya.
Memberikan kecupan yang disertai dengan lumatan yang membuat seluruh syaraf Elena menegang. Memberikan kasih sayang lewat gerakan erotis yang seakan membelah dirinya menjadi dua namun secara bersamaan memberikan kenikmatan yang hanya bisa mereka rasakan saat bersama.
Elena begitu haus akan kasih sayang dan cinta. Dan selama ini hanya Jayden yang selalu memberikan dua hal itu. Mungkin itu salah satu alibi yang membuat wanita yang tengah menahan nikmat itu tak bisa lepas dari Jayden. Tidak ada seorangpun yang bisa menyayanginya sebaik Jayden. Atau justru Elena yang tidak ingin mencari orang lain?
Ya. Elena akui itu. Baginya jika sudah ada Jayden dia tidak butuh siapapun lagi.
Gerakan Jayden di inti tubuh Elena mulai tidak beraturan menandakan jika gelombang kenikmatan itu akan segera datang. Dan pada hentakan terakhir yang sangat kuat, Jayden memeluk erat Elena.
"Hah ... hah ...."
Deru napas keduanya saling memburu setelah pelepasan luar biasa. Jayden menyapu lembut kening Elena yang penuh dengan keringat. Pria itu tersenyum tipis lalu memberi kening Elena sebuah kecupan yang cukup lama.
"Tolong bertahanlah sebentar lagi. Aku janji akan menyelesaikannya dengan cepat," kata Jayden membujuk Elena seraya menatap dalam mata indah wanita itu.
Elena memejamkan matanya sesaat lalu mengangguk pelan.
"Aku aku menunggu hari itu datang, Jayden."
Pada akhirnya, Elena harus kembali mengalah.
To be continue....
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading.... "Apakah kau tidak punya baju yang lebih sopan?" tanya Haidar pada wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Dia terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. "Tidak," jawab Viona singkat membuat Haidar hanya bisa memutar bola matanya malas. Sekarang mereka sedang berada di dalam lift menuju ruangan Haidar. Pria itu sudah meminta agar Viona tinggal di apartemen saja namun wanita itu menolak dengan alibi ingin melihat kantor Haidar. "Setidaknya kau bisa menghargai sedikit kantorku, Vio," kata Haidar lagi setelah mereka telah sampai di ruangan yang didominasi dengan warna putih dan hitam. Bahkan lukisan yang terletak di dindingnya pun hanya memiliki dua warna netral itu. Sangat menggambarkan seorang Haidar. "Pakaianku 'kan memang selalu seperti ini. Kenapa kau terlihat risih?" tanya Viona kini duduk di sofa yang terletak di depan meja Haidar. &nbs
Happy reading.... "Tolong kau urus semuanya dulu," kata Haidar pada sang asisten yang kini berdiri tegap di depan mejanya. "Kalau boleh tahu, Anda mau ke mana, Pak Haidar?" tanya pria yang memiliki usia sebaya dengan Haidar, Ridwan. Haidar tersenyum tipis setelah selesai memakai kembali jasnya. "Mengurus masa depan," katanya membuat Ridwan ikut tersenyum manis. Baru kali ini dia melihat sang atasan terlihat begitu bahagia. "Tentu, Pak. Saya menunggu kabar baiknya segera," timpal Ridwan membuat senyum Haidar semakin lebar. "Doakan saja semuanya lancar," katanya lalu mengambil kunci mobil. "Kalau begitu saya pergi dulu. Jangan mengecewakanku, Ridwan," lanjut Haidar kemudian berlalu setelah Rindwan mengangguk paham. Tak butuh waktu lama, mobil Haidar telah sampai di tempat tujuannya. Rumah sakit. Haidar membuka jas dan juga rompi yang ia kenakan. Ras
Happy reading.... "Kau sudah selesai?" tanya Haidar sebelum masuk ke dalam mobil. "Sudah," jawab Hera. Setelah mendengar jawaban Hera, Haidar segera masuk ke dalam mobil. Netranya tertuju pada baby Juan yang tertidur dipangkuan Hera. "Dia juga sudah tidur," lanjut Hera tersenyum simpul. "Terimakasih, Haidar atas pengertianmu," kata Hera menatap Haidar tulus. Mungkin jika orang lain mereka pasti sudah marah karena kejadian tadi. "Tidak masalah. Lagi pula aku tidak mungkin diam saja melihat jagoan ini menangis," kata Haidar mencubit pipi Juan gemas namun tak sampai membuatnya terbangun. "Oh iya, kau dari mana?" tanya Hera. Dia sempat melihat tadi Haidar pergi dengan sedikit terburu-buru. "Ah itu, aku membeli minuman dan beberapa makanan," ujar Haidar mengangkat paper bag berwarna coklat di tangannya. Tidak