Share

Paket!

Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018?

Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan.

 “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar.

Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini.

Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya.

Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan.

Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya.

Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat.

“Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu.

“Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus.

‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, aku harus pergi dari sini,’ pikirnya.

Kurir itu semakin menatapnya dengan bingung. Ditambah sekarang lelaki itu menggaruk kepalanya, entah karena bingung atau karena memiliki masalah ketombe.

Sandra dengan bekas tangis di pipinya, mengabaikan paket yang dijulurkan padanya dan berjalan ingin meninggalkan rumah itu.

“Tunggu!” seru kurir itu untuk menahan Sandra.

“Tapi Ibu keluar dari rumah ini?” tanya lelaki itu ragu.

Sandra yang mendengarnya menjadi kesal.

“Enak aja manggil ibu, saya belum nikah, Mas! Kalau ibu, itu cocok sama wanita di dalam!” seru Sandra tak terima.

Tak lama setelah dia berkata seperti itu, wanita paruh baya yang tadi bersamanya di kamar itu muncul di sebelahnya.

“Nah, ini baru pantas dipanggil ibu, bukan saya!” ucap Sandra lagi sambil melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah itu.

“Ada apa ini?” tanya Bi Nilam itu bingung.

“Ini, ada paket untuk Nyonya Prakoso. Apa ibu yang bernama Nyonya Prakoso?” tanya kurir itu. Bi Nilam terkejut, untuk kesekian kalinya pagi ini.

“Bukan, Mas! Saya itu hanya pelayan di rumah ini. Jika itu paket untuk Nyonya Prakoso, itu berarti untuk nyonya saya itu!” tolak wanita itu sambil menunjuk ke arah Sandra yang mulai menjauh.  

Kalimat Bi Nilam yang lumayan keras itu sukses menghentikan langkah Sandra.

“Aku Nyonya Prakoso?” gumamnya.

‘Siapa itu Prakoso? Perasaan, seumur hidup aku tak pernah kenal nama Prakoso,’ pikir Sandra dalam hati.

“Nyonya, mau ke mana? Tunggu! Ini paket untuk Nyonya dari tuan!” teriak Bi Nilam.

“Buat ibu saja!” balas Sandra tak peduli.

Bi Nilam menampilkan wajah penuh frustasi.

“Ya Allah! Apa salah saya? Kenapa Nyonya seperti ini hari ini? Nyonya, anda itu Nyonya Prakoso! Anda ini sudah menikah! Sudah menikah dua tahun lalu dengan tuan! Nama tuan itu Prakoso, jadi tentu saja nama Nyonya menjadi Sandra Prakoso, Nyonya! Karena itulah, Nyonya saat ini dipanggil Nyonya Prakoso! Paket itu untuk Nyonya! Pasti dari tuan!” seru  wanita itu panjang lebar sambil memijat pelipisnya.

“Aku tak peduli, Bu,” jawab Sandra terus berjalan.

Otaknya bekerja keras berusaha mencerna apa yang diucapkan Bi Nilam.

Suami.

Sudah menikah.

Dua tahun lalu.

Bagaimana mungkin? Dia tadi malam masih belum nikah, apa dia mengalami time travel? Ke masa depan?

Buktinya, tadi dia melihat sendiri bahwa tahun ini adalah tahun 2023. Rambutnya juga tiba-tiba pendek.

Lalu bagaimana dengan skripsinya? Kelulusannya? Wisudanya?

Kenapa fase hidupnya langsung melompat ke status menikah? Ini tidak adil!

Beberapa langkah kemudian, Sandra menghentikan langkahnya.

Dia tiba-tiba merasa pening. Penglihatannya menjadi buram seketika.

Kemudian gelap.

“Nyonya!” teriakan wanita yang mengatakan namanya Bi Nilam itu adalah hal terakhir yang diingat Sandra.

“Mas, tolong bantuin bawa nyonya saya ke dalam! Biar saya yang bawa paketnya, saya gak kuat kalau harus membawa nyonya ke dalam!” seru Bi Nilam panik.

Mas kurir itu pun merasa tak berdaya dan menuruti permintaan Bi Nilam untuk membawa Sandra yang pingsan ke kamar tidur.

***

“Tuan, bagaimana ini?” ucap Bi Nilam pada tuannya lewat panggilan telefon. Dia baru saja melaporkan tentang Sandra yang pingsan kepada tuannya, Tuan Prakoso.

“Maafkan aku, Bi. Aku tidak bisa pulang hari ini. Tolong panggilkan Agatha, suruh dia ke rumah. Aku khawatir dengan Sandra,” jawab suara dari seberang sana.

“Baik, Tuan,” jawab Bi Nilam.

Tut.Tut.Tut.

Terdengar suara panggilan terputus.

Tuannya sedang tugas di luar kota. Terkadang ada sinyal, terkadang tidak.

Panggilan itu terputus pasti karena sinyal yang tiba-tiba menghilang.

Bi Nilam menghela napas. Terbiasa dengan kondisi tuannya, tapi tak menghentikannya untuk merasa prihatin atas apa yang terjadi.

Wanita paruh baya itu kemudian mencari nomor telefon Agatha, untuk menyampaikan pesan tuannya.

Setelah selesai, Bi Nilam menatap nyonyanya yang masih tak sadarkan diri.

Dia sudah libur selama sebulan untuk pulang kampung dan saat kembali, keadaan nyonyanya seperti orang linglung.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dia juga tidak berani bertanya pada tuannya yang minim bicara itu. Kecuali tuannya itu memberitahunya, dia tak akan bertanya. Entah mengapa, walau lebih muda darinya, Tuan Prakoso itu membuatnya segan.

Saat Bi Nilam tertidur dengan posisi duduk di sebelah Sandra, pintu kamar terbuka membuat Bi Nilam mengerjapkan kedua matanya terbangun.

“Nona?” sapa Bi Nilam.

Agatha, wanita dengan wajah putih seperti pualam khas keturunan tionghoa. Manis sekali dengan kacamata yang terlihat mahal dan rambut panjang yang dikuncir kuda.

Tubuhnya berisi dan tingginya semampai.

Wanita itu meletakkan tasnya di pinggir tempat tidur dan mulai memperhatikan Sandra yang terbaring di sana.

“Apa saja yang diucapkan Sandra, Bi?” tanya Agatha.

Bi Nilam memandang prihatin nyonyanya.

“Nyonya menangis tersedu-sedu, mengatakan ingin pulang. Dia bilang rambut panjangnya hilang dalam semalam. Dia juga mengatakan bahwa tahun ini harusnya tahun 2018. Nyonya aneh sekali pagi ini,” jawab Bi Nilam.

Agatha tersenyum tipis.

“Maklumi saja ya, Bi. Tolong jangan menekan dan memaksa Sandra untuk mengingat apapun,” ucap Agatha.

Dia mengeluarkan beberapa kemasan dan menyerahkannya pada Bi Nilam.

“Ini, tolong seduh teh ini setiap pagi untuk Sandra, agar menenangkannya. Aku akan tinggal di sini, jadi Bi Nilam kalau bisa, tidak berbicara apapun. Bilang saja, hanya tuan yang dapat menjawab pertanyaan Sandra,” pinta Agatha.

Bi Nilam, ingin sekali bertanya, tapi kemudian dia memilih untuk mengangguk saja.

“Baik, Nona,” jawab Bi Nilam lalu berdiri meninggalkan Agatha untuk memeriksa Sandra.

Setelah tinggal berdua, Agatha mengusap rambut Sandra lembut dan menggelengkan kepala.

“Kamu mau pulang ke mana? Tuan Prakoso itu, tak mungkin membiarkanmu pulang. Dia tak akan melepaskanmu. Tidak setelah kejadian itu ....” ucap Agatha pada keheningan karena bagaimanapun, Sandra yang tak sadar tak akan mendengarkan perkataannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status