Share

5. Sebuah Petunjuk

Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur.

"Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah.

"Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.

Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku.

Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah.

Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.

Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja?

Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikku.

"Aku curiga sama Gandhy, Ros. Aku curiga dia selingkuh. Aku nggak punya bukti, jadi bisa nggak kamu bantu buat hack aplikasi chat-nya itu?" pintaku.

Kudengar dia menghela napas.

"Mbak, kenapa sih dulu nikah sama dia? Aku udah tebak kalau pasti akan begini jadinya. Kamu kan tahu masa lalu dia begitu buruk, kenapa masih diterima sih?" Kudengar dia mengomel.

"Udah ada Fuchsia, udah telat kamu ngomong kaya gitu. Sekarang ini aku butuh tahu di sana dia ngapain aja. Kalau dia memang terbukti selingkuh, aku...."

Aku tak sanggup mengucapkannya. Apa yang harus aku lakukan?

Eros terdiam sebelum kemudian kata-katanya membuatku lega.

"Oke, aku akan coba, Mbak tapi jangan terlalu berharap. Aku soalnya belum pernah hack jarak jauh, biasanya aku harus tahu dulu jaringan apa saja yang terhubung dengan nomor yang dipakai dia dalam aplikasi chat itu."

Aku menutup panggilan itu dan masuk lagi ke dalam kamar. Aku cukup kacau saat ini. Bayangan-bayangan saat kami baru saja menikah hingga berbagai masalah-masalah yang timbul mulai kembali menyeruak di dalam pikiranku.

Aku kembali mengecek aplikasi chat itu dan tetap saja keduanya masih online secara bersamaan. Aku menutup wajahku dan mulai menangis sampai aku ketiduran.

Saat terbangun pada pukul dua dini hari, aku melihat pesan dari adikku.

'Mbak, maaf aku nggak bisa. Langsung tanya dia aja, Mbak. Kalau perlu, paksa ngaku.'

Kecewa? Tentu saja. Namun, apa yang bisa aku perbuat? Aku tak bisa melakukan apapun. Aku melirik sajadah dan mukena yang lupa aku rapikan. Tiba-tiba saja ada dorongan untuk salat.

Aku lalu mengambil air wudhu dan menunaikan salat tahajud. Aku selalu ingat, jika tak ada orang yang bisa membantumu, maka cukup Allah lah sebagai penolongmu. Minta tolonglah pada Allah, niscaya Dia akan membantumu.

Aku merasakan damai dan sensasi sejuk saat menunaikan ibadah salat tahajud. Hatiku menjadi ringan dan tenang. Setelah usai berdzikir, aku memanjatkan doa kepadanya dalam hati.

'Allah, aku memang memiliki banyak sekali dosa dan kekurangan. Aku dengan tidak tahu diri bahkan sering lupa akan bersyukur dan selalu meminta bantuanMu. Ya Rabb, tapi hanya Engkau yang bisa menolongku. Aku mohon, berikanlah petunjukMu untukku. Izinkanlah aku mengetahui hal yang sebenar-benarnya tentang suamiku. Izinkanlah, Ya Rabb!'

Aku menangis setelahnya, bersujud kembali dan menumpahkan segalanya di sana. Aku menyerahkan segalanya pada Tuhanku. Aku pasrah.

Di sela-sela tangisku, tiba-tiba saja ada bayangan rumah mertuaku yang terlintas dalam kepalaku. Aku menghapus tangisku dan duduk. Aku masih tak mengerti, tetapi aku entah kenapa ingin pergi ke rumah barat.

Jantungku berdebar aneh. Dengan segera aku merapikan mukenaku dan ke luar dari kamarku.

Mama dan papaku sudah bangun. Mereka sedang menungguku untuk sahur bersama. Aku tetap bersikap setenang mungkin di hadapan kedua orang tuaku. Aku tak ingin membuat mereka cemas. Aku makan dalam diam.

Setelah selesai sahur, aku kemudian berucap, "Ma, nanti habis subuh, Zara mau ke rumah barat ya."

Kulihat mamaku menaikkan alisnya dan menjawab, "Mau ngapain? Kan Gandhy baru ke sini beberapa hari yang lalu."

"Zara mau ambil beberapa barang, Ma." Tentu saja aku menutupi semuanya dari Mama, aku tak ingin mengatakan apapun sebelum semuanya jelas.

"Ya tapi kenapa harus pagi-pagi? Kenapa nggak siangan aja? Kalau Fuchsia nyari gimana?" Mama bertanya sambil membereskan meja dapur.

"Kalau pagi kan masih bisa ketemu Gandhy. Semoga nanti Fuchsia nggak rewel. Sebentar saja kok," ucapku berharap mama mengizinkan aku.

Aku tak bisa pergi tanpa izin Mama, karena aku membutuhkan Mama untuk menjaga Fuchsia selama aku pergi.

"Ya sudah, hati-hati. Pakai jaket tebal, Nduk!" ucap mama.

Aku mengangguk dan tak henti berterima kasih pada Mamaku yang selalu saja menjadi malaikatku.

Aku membuat sebuah status di aplikasi chat. Photoku bersama Fuchsia. Kami memakai mukena baru yang kubeli via online. Paket yang berisi mukena ini tiba saat aku sedang mencetak foto kemarin. Aku yang sedang bingung kemarin tetap mengambil foto sambil memakai mukena baru itu bersama Fuchsia.

Aku hanya memberi caption berupa emoticon ibu dan anak. Hanya dalam beberapa detik, aku melihat Mbak Deva melihat status yang aku buat itu dan secara bersamaan Mas Gandhy mengirim sebuah pesan.

'Maaf tadi Mas ketiduran. Bangun mepet terus langsung sahur. Ya dah, Adik nanti jangan lupa salat subuh ya. Mas mau lanjut tidur lagi. Masih ngantuk.'

Aku hanya menjawab singkat.

'Iya, Mas.'

Aku berusaha menenangkan diriku mati-matian.

***

Aku berkendara dengan tenang. Aku memakai headset dan memutar lagu. Aku tahu ini tidak bagus. Hanya saja aku takut melamun di jalan dan malah tak berkendara dengan benar. Jadi, untuk membuat pikiranku tak melayang kemana-mana, aku berkendara sambil mendengarkan musik.

Udaranya sangat dingin, tanganku hampir saja membeku. Aku padahal sudah memakai sarung tangan berbahan rajut juga jaket tebal yang berwarna cokelat.

Mengingat jaket yang sedang aku pakai sekarang, hatiku sedikit diremas-remas. Jaket ini adalah pemberian seorang mantan kekasihku.

Mantan kekasih yang pernah membuatku bahagia selama bertahun-tahun lamanya tapi akhirnya putus karena beberapa hal. Sudahlah, aku tak ingin mengingat-ingat lagi. Dia sudah menjadi masa lalu. Sekarang saatnya melihat masa depan.

Tetapi bagaimana masa depanku nanti? Jika sekarang saja semuanya seakan menjadi abu-abu. Aku menggelengkan kepalaku dan kembali berkonsentrasi mengemudi motorku.

Aku sampai di rumah mertuaku pukul lima lebih dua puluh. Matahari belum muncul. Aku memarkir motorku di depan pintu.

'Bismillah.'

Aku ucapkan itu sebelum masuk ke dalam rumah. Aku tak mengetuk pintu itu dan langsung saja berjalan masuk ke dalam. Aku melihat Bapak Mertuaku sedang menonton televisi di bagian belakang sendirian sambil tiduran, kebiasaan yang selalu dia lakukan seusai salat subuh.

"Assalamualaukum, Bapak."

Bapak Mertuaku terkejut dan langsung duduk. Dia tersenyum.

"Waalaikumsalam. Sendiri? Nggak ajak Fuchsia?" tanyanya.

Aku menghampirinya dan mencium tangannya.

"Sendiri, Pak. Fuchsia masih tidur. Ibu di mana?" tanyaku yang tidak melihat ibu mertuaku di sana.

"Di kamar, tidur lagi. Ada apa?" tanyanya dengan raut wajah keheranan.

Dia sudah mengenalku denganku baik. Aku tidak mungkin datang tiba-tiba ke rumah barat jika aku tidak memiliki masalah atau kepentingan.

Sebelum menikah, aku pernah datang sore-sore ke sana tanpa pemberitahuan karena ada masalah waktu itu. Dan kini pun aku datang di pagi-pagi buta pasti juga ada masalah. Aku mencoba membaca raut bingung di wajah mertuaku.

"Nggak ada apa-apa, Pak. Mas Gandhy masih tidur?" tanyaku.

"Masih. Bangunin aja!" ucapnya.

Aku mengangguk dan dengan jantung yang berdetak lebih cepat, aku dengan perlahan masuk ke dalam kamar Mas Gandhy.

Aku lihat dia masih tertidur dengan pulasnya. Aku tak membangunkan dia. Aku mencari ponselnya dan ternyata dia meletakkan ponsel itu di sampingnya. Dengan perlahan aku mengambilnya.

Masih di dalam kamar, aku membuka ponsel itu dengan tangan gemetar. Aku mencari aplikasi chat itu dan melihat isi chat-nya. Aku coba kuatkan hatiku untuk membaca isi pesannya.

"Astaghfirullahaladzim."

Ponselnya hampir jatuh dari tanganku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status