Share

4. Salah Memanggilku

Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh.

"Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku.

"Mungkin," jawab Mama singkat.

Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.

Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian.

Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.

Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.

Saat aku berhenti di pertigaan karena lalu lintas, aku melihat beberapa orang dengan seragam guru sedang menyeberang.

Ah, aku jadi rindu mengajar, batinku.

Akan tetapi, aku hanya bisa menatap mereka dari kejauhan dengan tatapan kagum.

Aku tentu tak bisa bekerja dulu, Fuchsia prioritasku. Aku tak ingin meninggalkannya untuk bekerja. Jadi, ku tepis pikiranku yang sempat ingin bekerja lagi itu dan fokus untuk menuju tempat percetakan.

Begitu sampai, aku lega luar biasa karena tempat itu sedang tak ramai.

Seorang pegawai mendekat ke arahku dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

Aku tersenyum canggung lalu menjawab, "Saya mau cetak polaroid, Mbak. Bisa?"

"Bisa, Mbak. Mau kertas yang apa?" tanyanya sambil menunjuk beberapa jenis kertas foto. Aku langsung memilih yang paling pinggir karena terlihat lebih tebal.

"File-nya bisa dikirim ke email kami ya Mbak," ucap pegawai itu lagi sambil menunjuk sebuah kertas yang berisi alamat email percetakan itu.

Aku mengangguk dan segera memilih foto yang ingin aku cetak. Setelah sudah semua, aku mengirim semua foto itu. Kebanyakan foto itu tentu saja foto anakku. Bahkan bisa dibilang delapan puluh persen foto itu adalah foto anakku dan sisanya foto kami bertiga.

"Sudah, Mbak. Ini bisa ditunggu ya?" tanyaku. Aku malas kalau harus bolak-balik ke percetakan itu hanya untuk mengambil foto.

"Bisa, Mbak. Silahkan tunggu di sebelah sana!" ucap pegawai itu. Dia menunjukkan beberapa sofa bewarna biru yang digunakan para pelanggan untuk menunggu.

Aku mendudukkan diriku di sana dan agar tidak bosan aku bermain ponselku lagi.

Aku membaca sebuah novel dalam bentuk p*f selama beberapa menit. Namun, kemudian aku merasa jenuh dan memilih untuk menghubungi Mas Gandhy.

Aku melirik jam di bagian pinggir ponselku. Pukul sepuluh pagi. Biasanya jam segini dia lagi di jalan atau sedang bertemu dengan para pedagang. Tetapi entah dorongan apa yang membuatku nekad untuk meneleponnya.

Aku menunggu beberapa detik sampai akhirnya dering itu berakhir, panggilanku tidak dijawab oleh Mas Gandhy. Aku tak heran.

"Pasti lagi sibuk," ucapku.

Akan tetapi, beberapa menit kemudian Mas Gandhy mengirim sebuah chat padaku. Aku dengan bersemangat membukanya sambil tersenyum.

'Ada apa, Yank?'

Seketika senyumku lenyap. Dia memanggilku 'Yank'. Aku membeku di tempatku duduk. Masih terdiam dan berusaha tenang. Aku melihat lagi dan benar. Tidak ada yang salah.

Dia benar-benar memanggilku 'Yank'. Panggilan yang tidak pernah dia gunakan untukku. Mas Gandhy hanya memanggilku, 'Adik atau Cherrie'. Panggilan 'Cherrie' ketika kami masih awal pacaran dan seiring waktu berubah menjadi 'Dik atau Adik'.

Tidak sekalipun dia memanggil selain itu. Tanganku gemetar tak karuan. Tidak mungkin dia memanggilku seperti itu. Dia jelas-jelas tak pernah salah memanggilku. Namun, kenapa sekarang malah begini?

Dengan cepat aku langsung mengirim pesan balasan untuknya.

'Kenapa Mas memanggilku 'Yank'?'

Aku sudah tak bisa menahan diriku lagi. Ingin aku bertanya tentang banyak hal terhadapnya. Aku menggigiti kuku jari tanganku sendiri untuk mengatasi kegugupanku.

Balasan darinya tak lama datang.

'Maaf, maksud Mas, Adikku sayang.'

Jawaban macam apa itu? Aku sungguh semakin curiga. Tak bisa lagi kubendung rasa tidak percayaku pada Mas Gandhy.

Namun, aku tidak membalas pesan itu dan malah melihat status milik orang-orang. Aku sengaja mencari status milik Mbak Deva. Entah apa yang ada di pikiranku yang langsung mencurigai wanita itu.

Dan ternyata memang ada. Sekitar dua menit yang lalu dia membuat status itu.

Isinya tentang tips menjaga agar hubungan awet. Aku langsung bertanya-tanya. Dia kan janda. Kok dia mikir cara menjaga hubungan sih?

Karena aku curiga, aku langsung chat dia.

'Wah, Mbak udah mau nikah ya?'

Seperti biasa, dia cepat sekali membalas pesanku.

'Doain aja ya!'

Hatiku memanas entah karena apa. Aku mulai pusing, aku sangat curiga pada bos suamiku itu tetapi terkadang aku merasa itu tidak mungkin.

Apa iya dia tega? Dia kan kenal aku cukup baik. Lagi pula suaminya kan baru satu tahun lebih meninggal, mana mungkin dia berniat menikah begitu cepat?

"Mbak, sudah selesai."

Suara pegawai percetakan berhasil membuatku tersadar dari lamunan.

***

Malam harinya, aku tak mengungkit perihal panggilan yang salah itu dan mencoba untuk bersikap biasa saja saat membalas pesan-pesannya.

Namun, pikiranku justru semakin tidak tenang. Aku berkali-kali melihat ponselku hanya untuk sekedar mengecek apakah keduanya online secara bersamaan atau tidak.

Dan benar saja. Keduanya selalu bareng saat online dan offline juga sama. Aku hampir frustrasi. Rasanya sungguh tidak enak sekali. Mencurigai sesuatu tetapi tidak memiliki cukup bukti untuk mengungkapkan rasa curiganya.

Tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku kembali teringat saat kita masih belum menjalin hubungan dulu dan bisa dibilang berteman secara online.

Dia dulu memiliki kehidupan yang bebas saat masih bekerja di ibukota. Dia bercerita tentang segala hal yang dia lakukan saat sebelum bertemu denganku.

Dia juga menceritakan bagaimana dia sering bergonta-ganti pasangan dan bahkan hampir tiap dua minggu sekali dia berganti wanita. Dia tak pernah serius menjalin sebuah hubungan. Baginya, berganti pasangan itu adalah bukan hal yang besar.

Selain itu, dia pun juga mengaku jika dia seorang pemabuk dulunya. Dia bahkan dengan jujur bercerita tentang jenis minuman apa saja yang dia pernah minum.

Namun, dia mengaku telah berhenti saat dia pulang ke kota kelahirannya dan lalu bertemu denganku. Aku semakin menangis. Aku takut. Sangat takut jika dia kembali menjadi seorang playboy.

Aku menoleh dan melihat Fuchsia yang memeluk guling kecilnya dengan mata terpejam. Aku mengecup puncak kepalanya.

Fuchsia, apa yang harus Mama lakukan? batinku bingung.

Aku merasa semuanya abu-abu. Tak ada yang jelas. Tapi tiba-tiba otakku bekerja, aku memikirkan sebuah cara. Aku mengirim sebuah pesan pada saudara laki-lakiku, Eros, yang tengah bekerja di luar kota.

'Eros, bisa hack aplikasi chat nggak?'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Rb
cuma gtu"aja alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status