Share

3. Pertanda Buruk

Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.

Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.

Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.

Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. 

Firasat aneh mulai menghampiriku.

"Kenapa, Ra?" Mama bertanya.

Aku langsung menoleh ke arahnya.

"Ah, nggak apa-apa, Ma."

Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.

Aku memilih untuk mengabaikan hal itu dan mulai memberi makan anakku yang sudah mulai kelaparan.

Balasan dari Mas Gandhy datang di sore dan jawabannya sungguh membuatku bertanya-tanya. Dia mengatakan untuk promosi.

Namun, aku yang tak puas dengan jawaban itu lalu menelepon dirinya dan langsung diangkatnya. Setelah mengucapkan salam, aku langsung berbicara.

"Kenapa diganti photonya, Mas?" tanyaku to the point.

"Photo apa?" tanyanya.

"Photo profil," jawabku.

"Kan tadi udah Mas bilang kalau buat promosi," jawabnya dari seberang sana.

"Promosi gimana?"

"Ya promosi jualan. Kamu ini gimana sih. Kan sudah tahu sebentar lagi mau lebaran, banyak pesanan. Mas harus promosi biar tambah laris," jawabnya lagi.

Aku mencoba bersabar tapi kemudian tetap berkata, "Promosi ya di status lah Mas. Apa gunanya promosi di photo profil?"

Mas Gandhy terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Ya kan biar tahu kalau ini nomor Mas. Biar mudah nyarinya kalau ada yang mau pesan."

Aku masih tak mengerti dengan jawaban yang lemah itu jadi aku malah semakin menekannya, "Kan mereka sudah tahu. Yang menyimpan nomor Mas itu kan otomatis tahu kalau Mas itu sales. Di photo itu juga hanya photo snack aja. Nggak ada keterangan apapun. Apa bisa menarik pembeli?"

"Kamu itu. Photo profil aja diributin. Senang banget ya mancing emosi orang. Puas ya kalau udah bikin jengkel? Iya? Mas itu baru pulang kerja, capek. Perlu ya kamu harus bahas hal kecil kaya gini?" ucap Mas Gandhy dengan suara yang cukup tinggi.

Aku terdiam kaget. Aku ingin berbicara lagi tapi kudengar Mas Gandhy berkata, "Mas mau mandi dulu biar segar."

Panggilan itu dimatikan begitu saja tanpa salam. Hatiku jadi diremas-remas rasanya. Dia terasa meremehkan hal itu dan ini justru malah semakin membuatku curiga.

Aku terdiam untuk beberapa saat dan tak menyentuh ponselku. Anakku sudah tertidur sore itu jadi yang bisa aku lakukan hanya menunggu azan Maghrib.

Saat azan sudah berkumandang, kami segera berbuka puasa bersama. Aku menyempatkan diri mengucapkan selamat berbuka pada suamiku lewat chat seperti biasanya dan saat aku melihat chat itu kembali usai berbuka puasa, chat itu tak dijawab oleh Mas Gandhy.

Aku hanya tersenyum kecut melihat ponselku.

Setelah menunaikan salat Magrib, aku segera melirik ponselku lagi dan masih juga tak ada balasan meskipun pesanku sudah berubah warna menjadi biru yang artinya sudah dibaca.

"Kenapa nggak dibales sih?" gumamku mulai kesal.

Aku kemudian melihat status orang-orang dan ternyata suamiku membuat sebuah status yang isinya segala jenis dagangan yang dia jual. Dia memberi caption, 'Kerja keras terus walau tak dihargai.'

Aku mengernyit melihat statusnya. Dengan kesal aku langsung mengirim pesan padanya lagi. Aku bertanya tentang apa maksud dari status itu. Dan dia dengan cepat membalas, 'Status sekarang dijadikan masalah juga ya?'

Aku ingin sekali membanting ponselku sekarang tetapi tak jadi setelah ingat jika ponsel itu satu-satunya yang kumiliki dan itu pemberian suamiku. Aku tetap bersabar dan kemudian dengan sangat terpaksa meminta maaf kepadanya.

Sejujurnya aku tak merasa salah, aku kan hanya bertanya. Namun, karena aku tak ingin bertengkar dengannya apa lagi di saat bulan puasa, aku memilih mengalah. Kami pun berbaikan dan aku kembali melihat status orang-orang hingga sampai pada status Mbak Deva.

Isi statusnya kembali membuatku merasa aneh. Dalam statusnya tertulis: 'Kalau tidak sanggup lagi ya lepaskan saja.'

"Kenapa orang ini? Kok rasanya nyindir. Tapi nyindir siapa? Masa aku?" gumamku lagi.

Tanpa menunggu aku langsung saja chat wanita itu dan berkata: 'Apa maksudnya, Mbak?'

Dia dengan cepat menjawab, 'Ya benar kan, kalau tidak sanggup menghadapi lagi ya lebih baik melepaskan saja.'

Aku kemudian hanya membalasnya dengan emoticon jempol.

Meskipun aku curiga, tapi tak mungkin kan aku terang-terangan mengatakan hal itu di depannya sementara aku tak memiliki bukti apapun.

Malamnya aku kembali gelisah. Mas Gandhy online sampai tengah malam begitu juga dengan Mbak Deva. Aku berkali-kali mengecek nomor keduanya dan sama-sama tak meninggalkan aplikasi chatting itu sedikitpun.

Hatiku mulai berdebar-debar, aku yang kemudian ragu dengan suamiku, memilih untuk bertanya pada seorang teman suamiku. Namanya Bagus, usianya sama denganku, dua puluh delapan tahun tapi dia belum menikah. Dia termasuk dekat dengan suamiku dan ke mana-mana Mas Gandhy selalu bersama Bagus sebelum kami menikah. Aku cukup mengenalnya meskipun tidak terlalu dekat.

Oh iya, suamiku itu lebih muda dariku tiga tahun. Akan tetapi, aku selalu memanggilnya 'Mas' sejak saat kita pertama kali bertemu untuk menghormatinya.

Aku bertanya pada Bagus dalam sebuah chat.

'Apa Mas Gandhy pernah pergi ke mana gitu selain bekerja?'

Dia menjawab dengan cepat, 'Tidak pernah.'

Tetpi dia pun dengan cepat pula memahami tentang keadaanku dan langsung saja menjelaskan jika Mas Gandhy tak pernah berbuat aneh dan tak mungkin akan berbuat aneh karena tak ada waktu untuk itu.

Mungkin saja orang menilai aku bodoh karena bertanya pada teman suamiku yang sudah pasti akan membelanya. Tetapi anehnya, aku tak merasa demikian. Aku pikir Bagus tidak mungkin berbohong. Kalau ditanya tentang alasannya, aku tak mengerti. Aku hanya percaya saja.

"Baiklah, cukup Zara. Mungkin ini semua hanya perasaanmu yang berlebihan saja. Sudah, sudah. Jangan pikirkan hal bodoh. Sudah tengah malam, waktunya tidur."

***

Keesokan paginya, semuanya membaik. Mas Gandhy bahkan lebih sering berkirim pesan. Dia mengucapkan selamat sahur dan paginya dia juga izin saat berangkat kerja.

Aku mulai berpikir positif kembali. Aku semakin yakin jika mungkin segala hal yang aneh kemarin-kemarin itu hanya sebuah kecurigaan saja.

"Fuchsia sama Mbah Uti dulu ya, Mama mau keluar sebentar untuk cetak photo."

Aku menyerahkan Fuchsia yang kelihatan cemberut seakan tak mau ditinggal.

"Mama, cuma sebentar kok." Aku mengecup pipi lembut putriku.

Namun, sebelum aku berpamitan, aku mendengar sebuah kaca pecah di ruang tamu. Aku buru-buru masuk ke dalam lagi dan melihatnya.

Ternyata sebuah foto berukuran besar, yakni foto pernikahan kami, jatuh ke lantai.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sibuk curiga aja. seharusnya kamu curiga kenapa suami sama kamu tinggal terpisah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status