Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian penembakan itu, Callista belum berhasil menemukan pelaku penembakan yang sudah membunuh Fernando. Meski kepolisian masih menyelidikinya, tapi dia tak bisa berdiam diri dan menunggu. Ambisinya untuk melakukan balas dendam sudah tak bisa ditahan lagi. Sudah tiga minggu dirinya mencari-cari si pelaku dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari orang lain.
Callista tidak akan menyerah begitu saja dan harus menemukan si pelaku entah bagaimana caranya. Untuk sekarang, dia sudah berhasil mengetahui kalau ada seseorang yang mungkin bisa membantu. Menurut informasi yang dia dapatkan, seorang pria berkulit hitam memiliki akses lebih tentang aktivitas kriminal di kota ini. Tak mau kehilangan kesempatan, maka Callista harus mencari keberadaannya.
Tepat di kawasan sudut kota, Callista berjalan seorang diri. Dia mencari keberadaan orang yang dimaksud oleh si pemberi informasi dan di tangannya terdapat sebuah foto yang menunjukkan wajah pria tersebut. Wanita ini pun masuk ke dalam gang, berharap dia menemukan seseorang yang mungkin bisa ditanyainya.
Namun hal tak terduga terjadi, dirinya melihat beberapa pria menghajar pria lainnya dan tampak brutal. Callista terkejut saat melihat salah satu orang yang dia kenal tengah berdiri di dekat orang-orang itu. Dia bergumam, “Orang itu ada di sana, tapi kenapa dia membiarkan mereka menghajar orang lain?”
“Mungkinkah orang itu adalah bos mereka?” lanjutnya. Tak mau kehilangan kesempatan, Callista pun mendekati mereka. Tentu saja dia mengendap-endap agar tidak ketahuan. Setelah memastikan bahwa salah satu dari mereka adalah orang yang dia cari, Callista pun keluar dari persembunyiannya.
“Maaf mengganggu kesenangan kalian, aku hanya ingin bertanya,” kata dia dengan lantang tanpa rasa takut. Kehadirannya membuat para pria itu berhenti menghajar dan menolehkan kepala, termasuk orang yang sedang dia cari.
“Berani sekali seorang wanita datang menghampiri kami,” ujar salah satu dari mereka. Callista enggan membalas, dia malah menunjukkan foto seorang pria yang sedari tadi dia genggam.
“Aku hanya ingin bertanya, apakah kalian mengenal orang ini?” tanyanya. Mereka pun mengernyitkan dahi lalu menolehkan kepala ke arah pria yang sama seperti di foto.
“Sepertinya kau memiliki penggemar, Bos,” sindir mereka.
“Aku tak suka orang lain mencariku, apalagi seorang wanita. Bawa dia dan habisi!” suruh orang itu tanpa ingin berbicara dengan Callista. Sebagian dari mereka tampak tertawa lalu berjalan mendekat.
“Aku datang hanya untuk menanyakan beberapa informasi kepadamu, bukannya menimbulkan masalah,” ujar Callista kepada pria berkulit hitam itu yang kini berdiri cukup jauh. Terpaksa dia harus memundurkan diri untuk menjauhi para pria itu.
“Cih! Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan kepada polisi, bukan kepada bosku! Justru kehadiranmu di sini hanya akan menjadi santapan enak untuk kami.” Pria yang lain menyahut dengan wajah penuh nafsu. Terlihat jelas matanya terus menatap ke arah tubuh Callista. Mendengar ucapan itu membuat Callista menjadi kesal, dia tidak bisa membuang waktunya dengan perdebatan tidak penting.
Dirinya berpikir kalau percuma saja terus berdebat, orang yang ingin dia tanyakan tentang penembakan waktu itu malah bersikap tidak peduli. Menurut informasi, pria tersebut memang seperti itu. Sulit untuk diajak berbicara serta kerja sama, alih-alih membantu, malah membuat masalah. Callista tak suka situasi ini, dia memilih untuk berhenti meminta bantuan dan berniat untuk membatalkan keinginannya itu.
Diam-diam dirinya mengambil pepper spray yang dia sembunyikan di saku belakang celananya lalu menyemprotkan isi benda itu ke wajah para pria yang mendekat. Mereka tampak berteriak seraya menutup mata akibat rasa perih yang ditimbulkan oleh benda itu. Tak terima dengan apa yang dilakukan wanita ini, para pria yang tidak terkena semprotan pun menghalangi Callista agar tidak bisa melarikan diri.
Callista tak bisa kabur karena mereka mengerumuni dirinya. Di tangan dia terdapat pepper spray yang siap kapan saja untuk disemprotkan ke wajah mereka. Namun orang-orang ini terlalu banyak dan benda yang dipegangnya itu tak mungkin cukup untuk membuat mereka menjauh. Hanya perkelahian dengan tangan kosong yang bisa dia lakukan. Di dalam hatinya, dia ingin melakukan hal itu demi menyelamatkan diri sendiri daripada menjadi bahan amukan mereka.
Saat Callista hendak melakukan ancang-ancang, seketika saja seorang pria lainnya menghajar beberapa dari mereka. Tak sengaja, mata Callista dan orang itu bertemu. Tanpa suara, pria tersebut berkata, “Larilah!”
Karena ada peluang untuk kabur, dengan cepat Callista melarikan diri dan membiarkan orang itu menghajar mereka. Setelah dirasa aman dan cukup jauh dari lokasi perkelahian itu, dia berhenti berlari lalu mengatur napasnya.
“Sial! Aku malah mengorbankan orang lain,” gumam Callista. Dia pun melihat foto yang tadi dia genggam lalu merobeknya hingga menjadi beberapa potongan. Dia kesal karena pria yang ada di foto sangat menyebalkan dan tidak bisa diajak bekerja sama. Tak mungkin juga dirinya memohon-mohon demi sebuah informasi.
“Ternyata nyalimu besar juga.” Seseorang berkata begitu membuat Callista menoleh. Ternyata pria tadi berhasil melarikan diri dan wajahnya tampak babak belur.
“Kau … bukankah kau yang dihajar mereka tadi?” tanya Callista.
“Ya, ada sedikit masalah antara aku dengan orang-orang itu hingga aku dihajar, dan terima kasih banyak karena kau menyelamatkanku,” jawabnya.
“Aku tidak menyelamatkan siapapun,” balas wanita itu.
“Ya, bagiku itu adalah sebuah penyelamatan. Sekali lagi terima kasih, sekarang kita menjadi seri, bukan?” Callista meliriknya lalu mengangguk. Tak mau berurusan dengan orang asing, wanita ini pun berjalan meninggalkan pria itu.
“Tunggu dulu!” cegahnya lalu berjalan mendekat dan berdiri di depan Callista. “Aku ingin mentraktirmu sebagai tanda terima kasihku. Ku dengar di sekitar sini ada bar yang menjual informasi. Mungkin kau bisa mendapatkan informasi yang ingin kau ketahui.”
Penawarannya cukup menarik dan ucapannya meyakinkan. Mungkin saja Callista bisa menemukan informasi yang dia inginkan. Tanpa pikir panjang, wanita ini menganggukkan kepala. Mereka pun berjalan menuju ke sebuah bar yang disebutkan oleh pria itu.
“Namaku Richard Valfredo Holtzman, aku seorang CEO dari perusahaan yang tak begitu terkenal. Gang tadi adalah jalanan yang selalu aku lalui. Sengaja aku melalui jalan itu karena aku tidak suka kebisingan di luar gang. Suara mobil yang berlalu lalang membuatku enggan melangkahkan kaki di trotoar, makanya aku memilih untuk masuk gang karena sepi dan tidak bising,” jelas pria bernama Richard itu. Callista tidak merespon, dia hanya mendengarkan seraya menatap ke depan.
“Ehm … orang-orang tadi adalah pemeras. Mereka meminta sejumlah uang kepadaku serta barang berharga, tapi aku menolak dan memukul salah satu dari mereka. Akibat kelakuanku itu, mereka menghajarku sampai seperti ini,” lanjutnya.
Terdengar suara desisan dari Callista. Dia membalas, “Kenapa tidak kau hajar saja mereka? Dengan begitu kau tak akan babak belur.”
“Kau lihat sendiri jumlah mereka lebih banyak daripada aku, kan? Tak mungkin aku bisa memenangkan perkelahian walau aku bisa berkelahi. Lagi pula aku tak semahir itu.”
“Benar juga,” sahut Callista. Mereka pun saling terdiam satu sama lain hingga tak terasa bar yang dimaksud Richard pun sudah di depan mata. Keduanya masuk ke dalam sana dan duduk di kursi bar lalu memesan alkohol.
Seraya menunggu, Richard bertanya, “Kau belum menyebutkan namamu. Bolehkah aku tahu siapa kau?”
“Florencia Fleischer, hanya seorang pengangguran,” jawab Callista dengan nada singkat tanpa ingin memberitahukan tentang dia dan sengaja menggunakan nama lain untuk menutupi identitas aslinya.
“Aku melihatmu mengenal salah satu dari mereka. Sebenarnya apa yang ingin kau ketahui dari orang itu?” Pria itu tampak ingin tahu. Sebenarnya Callista enggan untuk memberi tahu, tapi dia tak bisa menyembunyikan hal ini. Apalagi Richard melihat sendiri bagaimana dirinya berbicara dengan orang yang ada di foto tadi.
Saat hendak menjawab, seketika saja seseorang menyerukan nama Callista. Merasa tak asing dengan suara itu, Callista menoleh seraya berkata, “Fernando?!”
Bersambung …
Ternyata yang memanggilnya adalah Fritz Ryker, seorang pria yang dikenal Callista dari suatu tempat. Pria tersebut tampak tersenyum, tapi Callista malah mendengkus kesal karena dia salah mengira kalau Fernando yang menyerukan namanya. Suara Fritz tak jauh berbeda dengan sang mantan suami.“Maaf! Aku kira Fernando,” kata Callista kepada pria itu.“Tak perlu meminta maaf. Kau sedang apa di sini? Tidak biasanya kau pergi ke bar.” Fritz tampak penasaran. Dia duduk di samping Callista.“Kebetulan aku lewat jalanan ini dan mampir sebentar. Kata orang ini, mereka menjual informasi, siapa tahu mereka bisa membantuku,” jawab Callista seraya menunjuk Richard lalu sedikit mengubah posisi duduknya agar Fritz bisa melihat pria di sampingnya itu.Alih-alih membalas, Fritz malah menunjukkan raut wajah terkejut. Kedua matanya membelalak dengan lebar. Hal ini membuat Callista mengernyitkan dahi karena kebingungan. Ada apa dengan pria ini? Tanyanya dalam hati.“Kenapa wajahmu tampak terkejut begitu?” t
Callista berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik menghadap ke arah Fritz. Dia sangat terkejut ketika mendengar ucapan pria itu. Dia kembali bertanya, “Apa kau bilang? Dia seorang bos mafia?”“Ya, dia berbahaya. Kau harus menjauhinya, Callista. Jika kau berurusan dengan dia, kemungkinan kau tidak akan dilepaskan olehnya. Ka-““Apakah kau memiliki bukti? Jika tidak ada bukti, jangan berbicara sembarangan! Dia hanyalah seorang CEO dari sebuah perusahaan, tidak mungkin seorang bos mafia. Terlihat dari wajahnya, tidak mungkin dia berbohong kepadaku,” tukas Callista tidak terima. Wanita ini tidak mengerti kenapa dirinya berkata begitu kepada Fritz. Padahal di dalam benaknya, dia ingin mempercayai ucapan temannya itu.“Kau tidak percaya kepadaku?” tanya Fritz dengan raut wajah menahan kesal.“Bukannya aku tidak percaya, aku hanya tidak mau kau berbicara sembarangan tentang orang lain,” jawab Callista.“Apakah kau membelanya setelah melihat wajah tampannya itu dalam jarak dekat?” sindir Fr
Callista berjalan seorang diri di sekitaran taman yang menjadi lokasi penembakan pada bulan lalu. Meski kenangan pahit itu kembali dia ingat, dirinya tidak ingin menyerah dan terus menelusuri kawasan itu. Siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal, yang bisa menjadi petunjuk baginya. Padahal sudah berulang kali dia datang kemari, tetapi dia tidak menemukan apapun.Karena informasi yang dia dapatkan semalam cukup meyakinkan, makanya dia kembali ke sini untuk memastikannya sendiri. Kini dia berhenti di depan sebuah gang yang dimaksud oleh Fliora. Gang tersebut menjadi saksi kematian seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Ada kemungkinan si pelaku adalah orang yang sama, mengingat kalau pelaku itu pergi ke sini setelah kejadian penembakan di taman sekitaran kawasan ini.Callista menghampiri seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya. Dia menanyakan tentang kejadian waktu itu. Menurut pria tersebut, sebelum para medis dan kepolisian datang
Dengan cepat Callista membalikkan arah jalannya lalu menarik kerah pakaian Letizia. Dia mengancam, “Jika kau tahu tentang si pelaku itu, katakan kepadaku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!”Secara perlahan, Letizia menarik tangan Callista. Wanita ini tertawa pelan. “Jangan terburu-buru, Senior! Aku tak akan memberikan informasi secara percuma. Sebagai anggota dari Foreszther, seharusnya kau tahu akan hal itu,” balasnya.“Aku bukan anggota mereka lagi dan tidak sudi bekerja sama denganmu! Ka-““Tidak masalah kalau kau bukan lagi anggota di sana, aku tak begitu memedulikannya, tapi kita harus bekerja sama. Kau ingin informasi itu, kan?” tukas Letizia membuat Callista berdecak. Dengan kasar, wanita itu menarik tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Letizia lalu menjauh.Callista sangat kesal karena di saat dia ingin mendapatkan informasi tentang si pelaku penembakan, malah ada orang lain yang ingin memanfaatkannya, terutama orang asing seperti Letizia. Ditambah wanita itu adalah anggo
Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan
Callista berhenti menyerang dan terkejut ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapan dia. Dirinya bertanya, “Richard? Huft! Ku kira siapa.”“Sepertinya kau hebat dalam bertarung dan memiliki kepekaan akan bahaya yang akan menyerangmu,” ujar Richard membuat Callista terkekeh pelan.“Hanya kebetulan saja. Aku sangat khawatir kalau seseorang membuatku celaka, ditambah sebelum ke sini aku sempat dijahili oleh orang lain, makanya aku mencoba menyerang meski tak pandai berkelahi,” dalihnya. Tak mungkin dia mengatakan kalau dirinya bisa berkelahi dan memiliki kepekaan akan situasi di sekitarnya. Callista tak mau pria di depannya itu tahu kalau dia tidak selemah yang dikira Richard.Richard manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Callista. Dia pun bertanya, “Lalu kenapa kau ke ruangan ini?”“Aku mencoba memancing orang yang menjahiliku. Tidak ku sangka ternyata kau yang datang,” jawab Callista. Richard kembali manggut-manggut. Kini giliran Callista yang bertanya kenapa pria