Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”
Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”
“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.
“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam Callista lagi seraya menjauhkan diri serta pistol yang dipegangnya. Secara bersamaan, Alberto menghembuskan napas lega karena ketegangan yang dia rasakan tadi sekarang sudah berakhir.
Alberto terdiam sejenak. Dia merasa tak bisa lagi mengancam Callista, apalagi dirinya tahu betul bagaimana keras kepalanya wanita di depan dia itu. Alberto pun menatapnya lalu berkata, “Fernando Foligno sempat menjadi anak buahku selama 3 tahun. Alasannya bekerja di sini karena dia ingin mendapatkan uang dengan cepat. Di usianya yang masih muda, dia berhasil membunuh banyak orang. Sayangnya, Foligno melakukan pengkhianatan yang membuatku membencinya.”
Penjelasan yang dilontarkan Alberto membuat Callista membelalakkan mata. Dia tak menyangka kalau mantan suaminya pernah mengkhianati pria di depannya ini. Apa yang dilakukan Fernando? Apa alasannya? Banyak pertanyaan yang terlintas di benak Callista, tapi dia tak bisa memotong pembicaraan karena ingin tahu lebih lanjut.
“Aku ingin membunuhnya karena pengkhianatan itu dan terus mencari dia. Sialnya, dia pandai bersembunyi sehingga kami kesulitan untuk menemukannya. Namun ku dengar, setahun kemudian Foligno bekerja dengan kelompok mafia. Bahkan menjadi seorang mata-mata untuk mematai musuh mafia tersebut,” lanjut Alberto seraya memerintahkan asistennya yang sedari tadi ada di ruangan itu untuk mencarikan sebuah dokumen.
“Kau mendapatkan informasi itu dari mana?” tanya Callista.
“Aku memiliki seorang informan, Zouch. Jelas saja aku mencari tahu dan mengetahuinya,” jawabnya. Callista hanya mendengkus. Dia ingin tahu lebih jauh tentang Fernando. Tak lama, asisten Alberto menunjukkan sesuatu kepada Callista.
“Apa ini?”
“Itu adalah bukti kalau Foligno sering bepergian dari satu markas mafia ke markas mafia lain.” Callista melihat foto dari rekaman cctv yang menampilkan mantan suaminya sedang berjalan di suatu tempat dan menuju ke sebuah bangunan. Hal tersebut dilakukan berulang kali dan di hari yang berbeda. Di sana juga terlihat aktivitas yang dilakukan Fernando.
“Karena dia sudah bergabung dengan mereka, kami tidak bisa menyentuh Foligno. Kalau kami melakukan hal itu, kelompok kami akan mendapatkan masalah. Apalagi dia bergabung dengan kelompok mafia yang lain dengan identitas yang berbeda. Kita tak akan bisa mendekati meski tahu di mana keberadaannya,” imbuh Alberto.
Callista mendengkus lagi lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dirinya sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Fernando di masa lalunya sampai menjadi anggota mafia bahkan menjadi mata-mata. Sebelum tahu hal ini, Callista tidak tahu banyak tentang mantan suaminya karena pria itu tidak menceritakan kepada dia. Jadi, ini, rahasia yang dimiliki Fernando? Tanyanya dalam hati.
Dia pun bertanya, “Apakah kau tahu musuh-musuh Fernando?”
“Aku memiliki banyak musuh yang tak terhitung jumlahnya, apalagi dia yang terus bergabung dengan banyak kelompok, kemungkinan musuhnya lebih banyak dariku.”
Callista menggelengkan kepalanya pelan, dia tak menyangka Fernando akan terlibat dengan kriminalitas. Seandainya dia mengetahui hal ini sebelum kenal dengan Fernando, mungkin dia tak mau menikahi orang itu. Padahal Callista sudah berjanji kepada dirinya sendiri kalau dia akan menikah dengan orang yang berbeda, bukan seorang kriminal dan terbebas dari permusuhan di dunia yang kini sedang dia hadapi. Sayang sekali, kenyataan inilah yang harus dia dengar.
Wanita ini terus bertanya-tanya, kenapa Fernando menyembunyikan hal sepenting itu? Apa yang menyebabkannya terus diam dan tak mengungkapkan kepada Callista? Dia ingin tahu kebenarannya secara menyeluruh, tapi dia tak tahu harus bertanya kepada siapa selain kepada Fernando. Sayangnya, sang suami sudah tiada.
“Jadi, apakah kau mau bergabung setelah mendengar kenyataan itu? Aku bisa membantumu menuntaskan balas dendam dengan mencari tahu si pelaku penembakan,” ujar Alberto dengan antusias.
“Tidak mau!” tolak Callista. Alberto terlihat mendengkus kesal.
“Baiklah, aku tak akan memaksamu,” serah pria itu. “Namun jangan mencariku kalau aku mendapatkan si pelaku terlebih dulu daripada dirimu.”
Wanita itu terlihat kesal dengan ucapan pria di depannya. “Kau ingin menangkapnya? Bukankah tidak ada hubungannya denganmu?”
“Kau benar, tapi aku tetap menginginkan si pelaku. Siapa tahu dia bisa memberikanku informasi yang bagus. Aku bisa mengirim anak buah terbaikku untuk mencarinya. Mudah bagi kami untuk menangkap orang itu. Bahkan ketika dia sudah masuk ke dalam penjara.”
Mendengar perkataan Alberto membuat Callista berdecak kesal. Kalau Alberto sudah menangkap si pelaku, maka sulit untuk dia membunuh orang itu. Bisa-bisa si pelaku akan dijadikan anak buah kalau otaknya dimanipulasi oleh pria di depannya ini. Hal tersebut bisa saja terjadi mengingat Callista tahu betul siapa Alberto.
“Kalau aku bergabung, apakah kau akan menyuruhku untuk membunuh seseorang?”
Alberto memasang raut wajah kemenangan mendengar pertanyaan dari Callista. Dia tahu kalau wanita itu akan bergabung, apalagi perkataannya tadi membuat Callista tidak terima. Padahal dia hanya berbohong dan enggan mencari si pelaku penembakan yang tidak ada hubungannya dengan dia. Ucapan Alberto tadi hanyalah pancingan agar Callista bersedia bekerja untuknya.
Pria itu menjawab, “Tentu saja. Harus ada balasan dari apa yang sudah ku berikan kepadamu. Kau harus melaksanakan misi dariku.”
“Kau hanya memanfaatkan aku, Pria tua! Ka-“
“Mana mungkin aku memanfaatkanmu. Kita saling diuntungkan, Zouch. Kau mendapatkan apa yang kau inginkan, begitupula denganku. Kesepakatan ini sangat adil, bukan? Dan aku yakin kau tak akan mengecewakanku, aku begitu yakin dengan kemampuanmu,” tukas Alberto dengan percaya diri. Callista membuang napasnya dengan kasar.
Melihat bagaimana reaksinya, Alberto tersenyum licik. Dia yakin sekali kalau Callista akan memikirkan hal ini. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin akan menemukan si pelaku penembakan Fernando, tapi kalau dia dan para anak buah berusaha, mungkin hasilnya akan didapat. Apalagi si pelaku pasti masih berkeliaran di kota ini.
“Misimu tidak begitu sulit, hanya melakukan pembunuhan saja, Zouch. Ditambah kau akan mendapatkan imbalan dariku selain bantuan dari anak-anak buahku,” lanjutnya.
Mengerti dengan arah pembicaraan Alberto, Callista pun bertanya, “Berapa jumlahnya?”
“Kau ingin berapa? Jika kau ingin misi berat, maka jumlahnya akan semakin besar, tapi kalau kau memilih misi yang mudah, mungkin aku tidak akan membayarmu dan hanya akan membantumu mencari si pelaku.”
Callista terdiam. Saat ini dia juga membutuhkan uang, tapi di sisi lain dirinya tidak mau bergabung dengan mereka lagi. Callista harus memikirkan banyak pertimbangan, dia tak bisa memutuskannya secara sembarangan, apalagi hal ini menyangkut nyawa seseorang dan balas dendamnya.
“Pertimbangkan dengan baik, Zouch! Semua keputusan ku serahkan kepadamu.” Callista menundukkan kepala. Dia sangat memikirkan ucapan Alberto, ditambah ada keuntungan yang akan dia dapatkan kalau bergabung. Selain mendapatkan informasi, dia juga akan mendapatkan uang serta kemungkinan si pelaku dapat ditemukan dalam waktu dekat. Namun di sisi lain, dia harus melakukan sesuatu yang seharusnya dia hindari, tapi hanya ini satu-satunya kesempatan besar untuk menemukan pelaku yang telah membunuh mantan suaminya.
Beberapa menit berlalu, Callista pun menatap Alberto. Dia berkata, “Aku akan bergabung!”
Bersambung …
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan
Callista berhenti menyerang dan terkejut ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapan dia. Dirinya bertanya, “Richard? Huft! Ku kira siapa.”“Sepertinya kau hebat dalam bertarung dan memiliki kepekaan akan bahaya yang akan menyerangmu,” ujar Richard membuat Callista terkekeh pelan.“Hanya kebetulan saja. Aku sangat khawatir kalau seseorang membuatku celaka, ditambah sebelum ke sini aku sempat dijahili oleh orang lain, makanya aku mencoba menyerang meski tak pandai berkelahi,” dalihnya. Tak mungkin dia mengatakan kalau dirinya bisa berkelahi dan memiliki kepekaan akan situasi di sekitarnya. Callista tak mau pria di depannya itu tahu kalau dia tidak selemah yang dikira Richard.Richard manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Callista. Dia pun bertanya, “Lalu kenapa kau ke ruangan ini?”“Aku mencoba memancing orang yang menjahiliku. Tidak ku sangka ternyata kau yang datang,” jawab Callista. Richard kembali manggut-manggut. Kini giliran Callista yang bertanya kenapa pria
“Kau siapa? Apa alasanmu ingin membunuhku?” tanya Callista tanpa menoleh.“Jangan banyak bertanya! Aku akan membawamu ke suatu tempat dan kau akan dibunuh di sana. Sekarang berjalanlah dan jangan bicara!” Orang yang menodongkan senjata itu pun mendorong Callista agar melangkahkan kakinya. Dengan arahan dia, wanita ini terpaksa menurut. Tentu saja dirinya dilarang agar tidak menoleh, mengajukan pertanyaan dan hanya bisa menurut. Ditambah Callista penasaran, apa yang diinginkan orang itu darinya?Tak lama, mereka sampai di sebuah bangunan. Callista diminta untuk masuk ke dalam bersama si penodong itu. Ruangan di bangunan ini terlihat remang-remang. Callista tidak bisa melihat apa saja yang ada di sini, bahkan sangat sepi sekali. Orang yang ada di belakang wanita ini pun terus menuntunnya sampai naik tangga berulang kali hingga berhenti di rooftop.Tiba-tiba saja Callista didorong dengan keras hingga hampir terjatuh. Dengan sigap dia berbalik dan melihat seseorang memakai topeng tengah m
Tim ini sudah sampai di depan sebuah rumah besar yang ada di salah satu perumahan elit dan sekarang mereka tengah memantau dari dalam mobil. Seraya menunggu Federico meretas kamera pengawas di rumah itu, Justin memberitahukan bagaimana rencana mereka masuk ke dalam sana. Ada kemungkinan rumah tersebut dijaga oleh para penjaga, orang-orang ini harus berhati-hati dalam melakukan misi. Seusai berdiskusi dan disetujui, serta Federico sudah memberikan kode aman, mereka langsung turun dari mobil lalu berjalan mengendap-endap menuju ke rumah besar itu. Di telinga mereka terdapat alat komunikasi, dengan begitu, mereka bisa saling berbicara tanpa harus bertemu langsung. Justin sengaja memecah timnya menjadi dua, dia bersama dengan Callista, sedangkan Vittoria bersama Lionello. Mereka masuk melalui jendela yang tidak dijaga oleh si penjaga, tim yang satunya lagi melakukan pengalihan kepada para penjaga di depan pintu agar tidak mendengar jendela yang hendak dibuka. Dengan lihai, Justin membukan
Mereka menolehkan kepala ke arah di mana Callista berada. Dengan cepat dia bersembunyi di balik sofa yang kebetulan tak jauh darinya. “Siapa di sana?” teriak salah satu dari mereka yang mungkin menyadari keberadaan Callista.“Sepertinya ada seseorang,” ujarnya. Terdengar derap langkah mendekat, Callista memejamkan matanya dan berharap dia tidak ketahuan.Saat orang tersebut hendak mendekati sofa, tiba-tiba saja seorang pria lainnya turun dari lantai atas dan mengatakan kalau tidak ada siapapun di sana. Mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Kini Callista bisa bernapas lega setelah dia tahu orang tadi tidak jadi mendekat. Karena mereka sedang berbicara, inilah kesempatan Callista untuk pergi ke lantai atas seraya memasangkan kembali alat komunikasi yang sebelumnya dia lepas.Callista langsung meminta Federico agar menyampaikan rencana miliknya kepada Justin. Dia akan mendekati target, menyergap pria itu lalu membunuhnya. Terdengar mudah, tapi wanita ini tahu tindakannya cukup berisi
Vittoria terkejut sehingga dirinya berdiri dan menjauh dari Callista. Saat Vittoria hendak membalas, dia menyela, “Asal kau tahu, aku tak pernah melakukan hal menjijikan seperti itu! Meski aku seorang pembunuh, aku masih memiliki harga diri. Lagi pula aku melakukannya hanya untuk mempercepat waktu, tanpa memedulikan betapa bahayanya risiko yang sedang ku hadapi. Kalau kau tidak berani mengambil tindakan cepat, jangan jadi seorang pembunuh!”Seusai berkata begitu, Callista langsung pergi meninggalkan mereka yang mematung, termasuk Vittoria. Ucapannya menusuk hati, membuat wanita itu bungkam. Justin pun memperingatinya agar tidak berurusan dengan Callista kalau dirinya tidak mau terkena masalah. Mereka tidak akan tahu apa yang akan dilakukan senior mereka itu.Sementara itu, Callista berdecak kesal. Dia tidak terima dihina oleh orang lain, apalagi sampai menuduhnya telah tidur dengan seorang pria. Jangankan ingin melakukan hal tersebut, bertatap wajah saja Callista sangat tidak sudi. Uc
“Tidak! Pria itu sudah menolongku, tidak mungkin aku akan berpikiran negatif tentangnya. Bahkan dia menawarkan diri akan membantu aku untuk mencari informasi tentang si pelaku sialan itu. Pasti Fritz salah paham. Aku yakin sekali,” lanjutnya mencoba meyakinkan diri. Dia berusaha untuk tidak termakan dengan perkataan Fritz.Ketika Callista sibuk dengan pikirannya sendiri, seorang wanita masuk ke dalam ruangan ini. Dirinya tersenyum senang seraya menghampiri dan berkata, “Ternyata kau di sini, Callista Austerlitz Zouch.”Callista menolehkan kepalanya. Dia sempat mengernyitkan dahi karena merasa tidak asing dengan wanita yang baru datang itu. Namun raut wajahnya berubah ketika dia mulai mengingat dan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara wanita itu tertawa pelan seraya duduk di sofa.“Akhirnya kau bergabung juga. Ku kira kau tidak akan datang ke sini setelah apa yang aku katakan tempo hari,” ucapnya kepada Callista. Dia terlihat tidak peduli bahkan merespon pun tidak.“O