"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Maaf, cari siapa ya Mbak?" tanya ku ketika seorang wanita mengucapkan salam."Mas Azzam-nya Ada?" tanyanya. Aku tertegun sesaat lamanya. Ku perhatikan wanita yang kini berdiri di hadapan ku."Heh! Ada tamu bukannya disuruh masuk malah bengong ajah!" tegur Mama mertuaku cukup mengejutkan."Eh? Iya, maaf, Mah. Mari silahkan masuk, Mbak!" sambutku meskipun hati diliputi sejuta pertanyaan yang memantik rasa penasaranku. Aku menebak jika itu saudara jauh dari keluarga Mas Azzam suamiku. Karena Aku sendiri tak memiliki saudara kandung atau saudara yang cukup dekat apa lagi mau mencari jauh-jauh untuk mendatangi yang berbeda kabupaten."Kayla, buatkan minum saja sana! dari pada bengong kaya gitu," omel Mama. Wanita itu itu menyambut tamu dan mengajaknya masau lalu duduk di kursi ruang tamu."Baik, Mah!"Aku pun berjalan menuju dapur berniat untuk membuatkan minuman untuk tamu sesuai perintah nyonya ratu.Ketika aku masih sibuk di dapur. Terdengar Mama ngobrol dengan tamu itu menyebut nama Mas Azzam juga Nama ku."Tia, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau kesini? Kan bisa di jemput sama Azzam. Pastinya Azzam juga nyuruh si Kayla pergi dulu kalau tahu kamu mau ke sini, Nak.""Permisi!" ujarku menyela obrolan keduanya. Ku letakan dua cangkir teh manis di atas meja serta setoples kue untuk jamuannya.Aku memllih kembali ke dapur karena harus segera memasak. Sebentar lagi Mas Azzam pulang dari tempat kerjanya dan belum ada masakan yang tersaji di meja. Bisa kena amukan lelaki arogan itu, pikirku.Saat aku fokus dengan tugasku di dapur. Aku dikejutkan kembali oleh lengkingan suara Mama memanggil. Dengan tergesa aku kembali menemui Mama. Tetapi aku melihat wanita itu tersenyum sinis menatapku. "I-iya, Ma!" Singkat Aku menjawab dengan tubuh dan bibir bergetar sehingga suaraku terbata karena gugup sekaligus penasaran."Kamu cepat telepon Azzam suruh pulang sekarang juga!" pinta Mama."Tapi, ma!""Nggak usah banyak tapi-tapi! Cepetan suruh balik dulu! Ada tamu penting gitu!" perintah Mama penuh penekanan. "Baik, Ma!" sambutku cepat.Aku tergesa melangkah ke kamar berniat untuk mengambil ponsel. Aku hanya mengirim pesan singat saja melalui aplikasi hijau dan kebetulan kulihat Mas Azzam sedang Onlien.[ Mas, kamu cepat pulang! Ada tamu penting ]Setelah itu lekas ku matikan ponsel dan ku taruh kembali di atas nakas.Kembali ku lanjutkan aktifitas memasak.Sepanjang aku mengerjakan tugasku. Hati aku terus berpikir ada hubungan apa Mas Azzam dengan tamu itu?Tidak berapa lama. Aku mendengar suara Mas Azzam sudah ada di depan rumah. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikum salam, eh ... tuh! Azzam sudah pulang, Tia!" kata Mama. Aku yang masih di dapur hanya menyimak saja. Jikapun aku menghampiri mereka. Sudah tentu Mas Azzam dan Mama akan memarahi dengan segala hinaan yang sudah terbiasa aku dengar. "Bundaaa ... "tiba-tiba Daffa anakku yang baru berusia 3 tahun kurang berlari mendekat. "Eh? anak Bunda, dari mana, Sayang?" Sambutku riang seraya merentangkan tangan untuk memeluknya. "Abit dali lumah kakak celin, Bun." Jawab Daffa dengan logat cadel. Yang di maksud celin adalah anak dari tantenya Mas Azzam yang rumahnya tak jauh dari rumah mama mertua. "Keyla!"Terdengar Mas Azzam memanggil. Segera aku berjalan mendatangi sebelum ia marah dan memaki sesuka hati. "Sini duduk! Daffa sini sama Ayah!" ujar Mas Azzam. "Nda au!" tolak bocah itu. Ya, Daffa memang kurang dekat dengan ayahnya. Daffa juga selalu bilang ayah jahat, ayah tium-tium tante Ia. Rupanya yang dimaksud tium adalah ayah suka cium-cium tante Tia. Kini sedikit terjawab salah satu pertanyaanku tadi. Hari-hariku memang bekerja di toko baju milik tetangga rumah mertua. Daffa aku titipkan di adik iparku. "Daffa ... main di kamar dulu ya! Bunda mau ada perlu sama Ayah. Nanti Daffa main lagi sama Bunda," pujukku. Bocah itu mengangguk setuju. "Muuaahh ... Dedek ayang Bunda," ujar Daffa sembari mencium pipiku. "Bunda juga," balasku singkat dan tersenyum menatap kepergian Daffa yang masuk ke kamar. Mama mertua juga Mas Azzam dan wanita bernama Tia hanya terdiam melihat kami berdua yang saling sayang. "Mau ngomong apa, Mas?" tanyaku. Mataku terus menatap wajah wanita bernama Tia yang tiba-tiba agresif pada Mas Azzam yang duduk di sampingnya. "Duduklah dulu kalau suami mau ngomong! Dan dengerin baik-baik! Jangan kampungan terus gaya kamu," ujar Mama bernada sinis. Padahal dia sendiri pun hidup di kampung hanya gayanya saja yang sok orang kota besar dan sok paling kaya. Aku hanya terdiam. Mataku terus mengawasi pergerakan tangan dua manusia lawan jenis itu yang terus saling menggenggam. Bibir Tia juga terus mengukir senyuman dan menatap wajah Mas Azzam semakin dalam. Kuperhatikan juga bibir Mas Azzam yang monyong-monyong macam ikan lohan. "Kayla, Kenalkan. Ini Tia istri kedua Mas. Mas sudah menikahi dia setahun yang lalu," ujar Mas Azzam tegas dan lantang. "Apa, Mas?"Jantungku seolah ingin lepas dari tempat. Mulut tanpa sadar sudah ternganga lebar. Tak percaya apa yang baru saja aku dengar. Laksana petir menyambar di siang hari. Kabar yang benar-benar mengejutkan membuatku merasa miris sendiri akan nasib yang aku alami. Satu atap dengan keluarga toxic membuat hidupku seakan tak berati. Ingin rasanya aku menjerit, menagis dan berteriak sekuat tenaga. Menumpahkan kekecewaan dan kekesalahan akan kenyataan yang harus aku terima. Ketika kesetiaan berbalas pengkhianatan sedemikan rupa. Saat awal menikah, sudah kedatangan tamu yang entah siapa. Masih bisa aku bersabar dan bertahan. Segala hinaan dari Mama mertua sudah biasa aku terima hari-harinya. Ketika Daffa baru berusia tujuh bulan lahir. Aku ditinggal Mas Azzam merantau ke Palembang. Satu tahun setengah tanpa ada kabar dan berita. Aku tanya semua teman-teman Mas Azzam yang pergi bersama. Mereka semua sudah bisa pulang di hari raya. Tetapi, Mas Azzam sendiri tidak pulang tidak juga berkiriman uang
Plak! plak! Dua kali Mas Azzam menampar wajahku. Selama ini, Mas Azzam jika marah hanya sekedar membentak. Tetapi, kali ini. Dia sudah berani main fisik. Oke, suamiku ini sudah menabuh gendrang perang. "Maksud kamu apa? menemukan alat pengaman." Tanya Mas Azzam terlihat panik. "Aku menemukan ko**om di saku celana kamu," dengan tegas aku menjawab. Si gundik pun berlari keluar. Setelah aku berkata demikian. Sungguh, sepertinya banyak sekali rahasia yang Mas Azzam sembunyikan. "Kayla ... puas kau?" teriak Mas Azzam murka. Aku hanya menyunggingkan senyuman penuh dengan kebencian seraya memegangi pipi yang terasa panas karena tamparan kuat Mas Azzam. Aku melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Untuk melihat Daffa yang tadi sempat terlihat tidur di lantai karena kelehan bermain sendirian. Cukup lama aku terdiam di kamar. Aku memandangi wajah tampan bocah itu. Wajah yang sangat mirip sekali dengan Mas Azzam. Menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Azzam rasanya banyak sekali cobaan. Ad
Aku memilih diam saja sembari terus melangkah menuju kamar. Mendengar ucapan Mas Azzam, aku sudah tak ingin perduli apapun kata dia. Yang katanya tak akan melepaskan aku. Mungkin dia belum puas sebelum melihat hidupku benar-benar hancur lebur. "Kay ... buatkan Mas kopi!" pinta dia dengan santainya. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Meskipun hati tak mau. Terpaksa aku melakukan tugas sebagai istri. Aku buatkan kopi pesanan mafia kelamin sebelum membuat hati semakin sakit dengan segala hinaan dan siksaannya. Setelah selesai membuat kopi. Aku lekas membawa ke kamar. Karena Mas Azzam masih di dalam menemani Daffa yang masih terlelap dalam tidur siang. Padahal hari sudah semakin sore. Aku lirik jam sudah menujuk di angka 15.15menit WIB. "Kay, Mau mandi? Mandi bareng Mas yuk!" ajak Mas Azzam ketika melihatku mengambil handuk dan membawa baju ganti. Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur tanpa mau menjawab pertanyaan Mas Azzam. Tetapi ..
"Keylaaa ... !!! Dari tadi brisik terus. Ada apa sih?" sentak Mama. Kepalanya menyembul dibalik pintu kamarku. Aku hanya melirik sinis pada Mama. Hatiku sudah benar-benar sakit sekali. Aku raih Daffa dan kugendong keluar kamar melewati Mama yang masih berdiri dekat kamarku dengan sorot mata kebenciannya. Sedangkan Mas Azzam entah sudah kabur kemana. "Cucu, Bun," pinta Daffa menunjuk kotak susu yang biasa aku taruh di atas meja kecil samping rak piring. Segera saja kubuatkan susu agar tangisnya mereda. Memar dikeningnya membiru. Aku lekas mengambil es batu yang kebetulan tak di gembok untuk meredakan nyerinya setelah selesai membuat susu. "Maafin Bunda ya Nak!" ucapku seraya menggosok-gosokkan es batu ke luka memarnya meskipun Daffa merintih kesakitan.Setelah tangis Daffa mereda. Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menidurkan Daffa yang tertidur lagi dalam dekapanku. Aku raih koper yang ada di atas almari. Kemudian, aku membereskan baju-baju milik aku dan Daffa lalu aku masukan k
Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik. "Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi."Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?" Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka."Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.Hatiku mencelos m
Sesuai petunjuk Nani yang lebih tahu alamat itu, Kayla menaiki mobil bus sampai ke terminal yang ada di kota tersebut. Nani yang lumayan baik itu hanya mengarahkan saja, jalan apa dan naik kendaraan apa lagi nantinya. Nani tidak bisa mengantar Kayla karena ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Ia juga ngeri jika bermasalah dengan keluarga Azzam. Tetapi bagi Kayla tak masalah. Yang paling penting dia sudah mengantongi alamat yang diberikan mertuanya. Tekad dia hanya ingin mengambil Daffa dari Azzam. Kayla tak rela jika anaknya dirawat madunya. Hampir 1 jam Kayla naik mobil bus dan akhirnya berhenti di terminal yang di maksud Nani. Kayla bergegas turun. Tetapi karena dia bingung selanjutnya naik apa lagi, Kayla pun bertanya kepada kondektur bus yang ia tumpangi tadi. "Kang, punten. Kalau ke alamat ini naik apa lagi dari sininya, ya?" Tanya Kayla sembari menunjukan kertas alamat yang dia ambil dari dalam saku sweater yang ia kenakan. "Oh ... ini naik
Berjalan di perbukitan yang terjal membuat Kayla merasa sedikit kesulitan. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti itu, tentu saja merasakan sebuah pengalaman yang cukup menantang. Ia berjalan di antara tebing-tebing curam yang cukup mengerikan. Terpeleset sedikit saja, bisa membuatnya terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam dan menelan tubuhnya yang mungil itu. Hamparan kebun teh yang terdapat di bawah perbukitan tampak begitu indah menghijau dengan bunga-bunganya yang mulai tumbuh. Kayla takjub dengan keindahan alamnya, tetapi tidak dengan salah satu penduduknya. Wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga dirinya bersama Azzam, tinggal di tempat yang begitu indah dengan udara yang sangat sejuk. "Neng, jalan-nya hati-hati licin. Semalam teh habis hujan." Pak RT mengingatkan kepada Kayla yang berjalan mengekor di belakangnya. Kayla hanya mengangguk saja menanggapi seraya tersenyum sopan. Ingatan wanita itu terus me
Ternyata Azzam dan Tia tidak membawa Daffa ke kampung halaman Tiara. 'Entah kemana perginya kedua manusia itu?' batin Kayla. Kayla berusaha menelan saliva yang terasa getir ketika Kepala Desa juga pak RT berkata. Lebih baik Neng pulang saja. Sungguh ... andaikan Kayla boleh meminta atau pun ia memiliki uang banyak, ingin rasanya ia menyewa rumah untuk beberapa hari saja di kampung tersebut. Kayla belum rela meninggalkan daerah itu sebelum menemukan Daffa, putranya. Tetapi ia tak kuasa untuk memberontak di kampung halaman orang. Meskipun kini warga kampung sudah tahu jika Kayla bukan pelakor. Semua yang mendukung Kayla hanya mampu berkata iba dan mencoba menguatkan Kayla dengan segala nasehat yang cukup menyejukkan hati meskipun hanya sesaat saja. Dengan bekal uang yang tersisa tak seberapa banyak. Kayla terpaksa harus pergi dari kampung halaman Tiara dengan tangan hampa. Tak seorang pun yang berbaik hati menawarkan untuk menginap di sana barang sema