Jantungku seolah ingin lepas dari tempat. Mulut tanpa sadar sudah ternganga lebar. Tak percaya apa yang baru saja aku dengar. Laksana petir menyambar di siang hari. Kabar yang benar-benar mengejutkan membuatku merasa miris sendiri akan nasib yang aku alami. Satu atap dengan keluarga toxic membuat hidupku seakan tak berati.
Ingin rasanya aku menjerit, menagis dan berteriak sekuat tenaga. Menumpahkan kekecewaan dan kekesalahan akan kenyataan yang harus aku terima. Ketika kesetiaan berbalas pengkhianatan sedemikan rupa. Saat awal menikah, sudah kedatangan tamu yang entah siapa. Masih bisa aku bersabar dan bertahan. Segala hinaan dari Mama mertua sudah biasa aku terima hari-harinya. Ketika Daffa baru berusia tujuh bulan lahir. Aku ditinggal Mas Azzam merantau ke Palembang. Satu tahun setengah tanpa ada kabar dan berita. Aku tanya semua teman-teman Mas Azzam yang pergi bersama. Mereka semua sudah bisa pulang di hari raya. Tetapi, Mas Azzam sendiri tidak pulang tidak juga berkiriman uang. Aku pontang panting cari kerja agar bisa dapat uang untuk membeli susu juga untuk kebutuhan lainnya. Karena sejak Daffa lahir, ada masalah dengan asiku. Aku melahirkan Daffa juga harus dengan jalan caesar karena hasil USG posisi bayi sungsang dan sangat beresiko untuk bisa lahir normal apa lagi panggulku sempit. Ayah mertua lumayan baik. Tapi, ada tapinya ... sehingga membuat aku sedikit ngeri. Sesekali memberi uang untuk membantu membelikan susunya Daffa. Namun, jika Mama tahu. Satu kecamatan seolah harus tahu juga. Dan, tak jarang pula Mama menangis di jalan dengan sejuta cerita yang dibuat-buat seolah aku ini istri mudanya ayah mertua. Mama cerita ke orang dengan mengatakan serasa dimadu hidup seatap dengan menantu. Sampai disuatu hari, Mama mertuaku tega memfitnah. Mama menuduh aku telah mengguna-gunahi Mama karena Mama sakit. Ternyata, Mama sakitnya di sebabkan sedang hamil muda. Enam belas bulan yang lalu. "Ayah, Mama kemana? Kok sejak pagi belum kelihatan?" "Mama lagi sakit katanya, Kay," jawab ayah. "Sakit apa, Yah?" tanyaku lagi. "Ayah kurang tahu, dari kemaren muntah-muntah terus, Key. Viona sudah ngajak ke dokter tapi Mama nggak mau terus," papar ayah. Aku lantas meminta Izin dengan ayah mertua untuk melihat Mama di kamarnya. Saat itu, Daffa masih berusia tujuh bulan. Dan bulan pertama Mas Azzam pergi ke Palembang. Aku titipkan dulu Daffa sama Viona yang sedang bermain dengan adik ke tiganya. Segera aku masuk ke kamar Mama. Aku meraba kening dan tubuh Mama yang tertutup selimut tebal. "Mama! sakit apa?" tanyaku hati-hati. "Ngapain tanya-tanya?" ketusnya. Aku tak perduli sikap Mama yang terus membenci tanpa alasan yang pasti. Akupun membujuk Mama untuk ke puskesmas. Kebetulan aku ada sedikit uang karena sudah kerja bantu-bantu di warung makan milik tetangga sebelum akhirnya kerja di toko baju. "Mama! ke puskesmas ajah yuk! aku ada uang sedikit mudah-mudahan cukup untuk berobat Mama," rayuku. "Heh! gak usah sok perduli kamu! saya sakit juga gara-gara kamu tahu! Kamu sudah dukunin saya. Kamu sudah guna-gunain saya ke dukun andalan kamu kan?" tuduhnya tanpa bukti. Aku terkesiap mendengar ucapan Mama. Teganya Mama memfitnah aku ngedukunin. Mengguna-guna, apa untungnya buat aku? Mas Azzam bukan terlahir dari keluarga sultan. Jika alasanku ingin merebut harta, sungguh tak masuk akal. "Kenapa Mama memfitnah aku? Seumur hidup, aku tak pernah tahu perdukunan, Mah." Aku menampik tuduhan Mama Hasni. "Mana ada maling ngaku? Nyatanya dukun yang saya datangi mengatakan kalau saya sakit karena di guna-guna sama menantunya. Menantu saya kan cuma kamu. Berarti bener, kamu sudah ngedukunin saya untuk guna-gunain saya." Jawab Mama panjang lebar. "Astaghfirullah. Ma, demi Allah berani aku bersumpah, Ma. Aku tidak ada dan tidak merasa mendukunkan Mama. Sumpah demi apapun aku mau, Ma!" tegasku. Karena memang faktanya tak melakukan apa yang Mama Hasni tuduhkan. "Sekarang gini, Ma. Aku minta alamat dukun itu. Aku mau menanyakan kenapa bisa menuduh orang seenaknya?" tegasku tak mau kalah menantang tuduhan Mama karena ingin memastikan kenapa dukun itu bisa bicara sesukanya. "Tidak perlu," tolaknya. "Lho ... kenapa, Ma? Aku hanya ingin meluruskan saja tentang fitnah ini," kataku lagi. Hening Mama tak lagi berkata apapun. Aku ikut terdiam menahan gemuruh di dada. Andaikan saja dia bukan Mama mertua. Mungkin sudah aku tarik dan aku paksa mengantar pergi ke dukun yang ia maksud. Merasa penasaran saja dengan tampang dukun yang main tuduh seenak udel sendiri. "Sudah sana kamu keluar! Ngapin berlama-lama di kamar saya?" usirnya. "Ya sudah. Aku keluar dulu ya, Ma. Kalau butuh apa-apa, panggil saja. hari ini aku izin libur dulu kerjanya," kataku seraya melangkah keluar dari kamar Mama. "Naj*s." Sarkas Mama. Aku keluar rumah untuk mencari Daffa tanpa perduli umpatan Mama toh sudah biasa. Karena waktunya Daffa makan. Maka, aku mencarinya. Bocah itu juga sudah di ajarkan Daffa makan nasi jadi tak terlalu banyak minum susu. Baru saja aku sampai di teras. Samar-samar aku mendengar tetangga-tetangga sedang ngerumpi. Dan sekilas salah satu di antara mereka menyebut namaku. Aku mengendap-endap berjalan mendekat. Aku tajamkan indera pendengaran. "Kamu kata siapa?" "Kata ibunya Bu Hasni lah. Kata dia, Bu Hasni sakit gara-gara didukunin si Kayla menantu yang tak tahu diri itu." "Hussstt ... !!? Jangan asal nunduh, Yuyun! kalau tidak ada bukti, kan jatuhnya fitnah." Rupanya, nenek dari Mas Azzam yang sudah menyebarkan fitnah ini. Aku hanya beristighfar seraya mengelus dada saja. Sungguh, fitnah itu amatlah kejam bahkan lebih kejam dari membunuh. Dua minggu sudah Mama sakit. Neneknya Mas Azzam kerap datang ke rumah melihat kondisi anak pertamanya. Saat aku sedang mengepel lantai ruang tengah. Aku mendengar percakapan ibu dan anak itu. "Hasni! Bagaimana hasil pemeriksaan ke puskesmas kemaren?" tanya neneknya Mas Azzam. "Ternyata aku lagi hamil, Buk," jawab Mama Hasni. Aku terhenyak mendengar pengakuan Mama. Bukan masalah kehamilan Mama di usianya yang sudah 41 tahun. Tapi ... yang membuat aku terkejut adalah, Mama memfitnah aku mengguna-guna. Nyatanya, Mama sakit karena sedang ngidam anak ke 4 karena Viona anak nomer dua. Yang ke tiga masih sekolah SMP. 'Jadi Mama sakit itu karna lagi hamil?' monologku dalam hati. Lekas aku berlalu dari tempat itu. Sebelum Mama mertua dan neneknya Mas Azzam memergoki aku yang berdiri dekat kamar dengan pintu yang terbuka. *** Aku masih terdiam. Tak percaya atas perkataan Mas Azzam barusan. Seketika aku teringat saat menemukan kondom disaku jaketnya. Saat ia baru pulang dari Pelembang. Merantau di kota itu selama satu tahun enam bulan. Tapi, ngasih uang ke istri hanya sebesar 100 ribu saja. Dan sekarang, baru beberapa bulan kerja jadi security. Tiba-tiba kedatangan tamu dan ternyata tamu itu istri muda Mas Azzam. Lebih tepatnya maduku. "Jangan bercanda, Mas!" "Mas tidak bercanda." Jawab Mas Azzam sengit Kini aku alihkan pandangan. Aku menatap wanita yang sedang tersenyum mengejekku. Mama Hasni sudah kembali ke kamar karena rengekan anak bungsunya yang terbangun. Aku beranjak dari tempat duduk. Lekas aku berlalu ke kamar berniat mengambil sesuatu. Setelah aku dapatkan. Lekas kembali menemui pasangan selingkuh itu. Prakk! Terlihat Mas Azzam terkejut. "Kayla! Apa yang kau lakukan, hah?" sentak Mas Azzam dengan tatapan nyalang mentap aku. Tak terima dengan yang aku lakukan terhadap gundiknya. Ya, aku melempar dua buku nikah milik aku dan Mas Azzam tepat di mukanya. "Kau tau apa itu, ja*ang? Mas Azzam masih sah suamiku. Ayah dari Daffa. Lalu kau datang kemari mencari. Kau tahu sebelumnya? kalau Mas Azzam sudah punya anak istri?" ucapku penuh emosi di depan gundik. Telunjukku nyaris menyentuh wajah bopeng-bopeng seperti bekas luka di wajah gundik yang sok cantik itu. "Cukup Kayla!" sentak Mas Azzam tak terima gundiknya aku maki. Andai hatiku tak terus-terusan beristighfar. Ingin rasanya menghajar habis wanita sia*an itu. "Kenapa, Mas? kamu tak terima gundik mu**hanmu aku maki? Oh ... sekarang aku baru paham. Saat kamu baru pulang dari Palembang, aku menemukan alat pengaman di jaketmu. Apa mungkin kamu melakukan itu dengan gundikmu ini takut bunting duluan?" tuduhku. Plak! Plak!Plak! plak! Dua kali Mas Azzam menampar wajahku. Selama ini, Mas Azzam jika marah hanya sekedar membentak. Tetapi, kali ini. Dia sudah berani main fisik. Oke, suamiku ini sudah menabuh gendrang perang. "Maksud kamu apa? menemukan alat pengaman." Tanya Mas Azzam terlihat panik. "Aku menemukan ko**om di saku celana kamu," dengan tegas aku menjawab. Si gundik pun berlari keluar. Setelah aku berkata demikian. Sungguh, sepertinya banyak sekali rahasia yang Mas Azzam sembunyikan. "Kayla ... puas kau?" teriak Mas Azzam murka. Aku hanya menyunggingkan senyuman penuh dengan kebencian seraya memegangi pipi yang terasa panas karena tamparan kuat Mas Azzam. Aku melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Untuk melihat Daffa yang tadi sempat terlihat tidur di lantai karena kelehan bermain sendirian. Cukup lama aku terdiam di kamar. Aku memandangi wajah tampan bocah itu. Wajah yang sangat mirip sekali dengan Mas Azzam. Menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Azzam rasanya banyak sekali cobaan. Ad
Aku memilih diam saja sembari terus melangkah menuju kamar. Mendengar ucapan Mas Azzam, aku sudah tak ingin perduli apapun kata dia. Yang katanya tak akan melepaskan aku. Mungkin dia belum puas sebelum melihat hidupku benar-benar hancur lebur. "Kay ... buatkan Mas kopi!" pinta dia dengan santainya. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Meskipun hati tak mau. Terpaksa aku melakukan tugas sebagai istri. Aku buatkan kopi pesanan mafia kelamin sebelum membuat hati semakin sakit dengan segala hinaan dan siksaannya. Setelah selesai membuat kopi. Aku lekas membawa ke kamar. Karena Mas Azzam masih di dalam menemani Daffa yang masih terlelap dalam tidur siang. Padahal hari sudah semakin sore. Aku lirik jam sudah menujuk di angka 15.15menit WIB. "Kay, Mau mandi? Mandi bareng Mas yuk!" ajak Mas Azzam ketika melihatku mengambil handuk dan membawa baju ganti. Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur tanpa mau menjawab pertanyaan Mas Azzam. Tetapi ..
"Keylaaa ... !!! Dari tadi brisik terus. Ada apa sih?" sentak Mama. Kepalanya menyembul dibalik pintu kamarku. Aku hanya melirik sinis pada Mama. Hatiku sudah benar-benar sakit sekali. Aku raih Daffa dan kugendong keluar kamar melewati Mama yang masih berdiri dekat kamarku dengan sorot mata kebenciannya. Sedangkan Mas Azzam entah sudah kabur kemana. "Cucu, Bun," pinta Daffa menunjuk kotak susu yang biasa aku taruh di atas meja kecil samping rak piring. Segera saja kubuatkan susu agar tangisnya mereda. Memar dikeningnya membiru. Aku lekas mengambil es batu yang kebetulan tak di gembok untuk meredakan nyerinya setelah selesai membuat susu. "Maafin Bunda ya Nak!" ucapku seraya menggosok-gosokkan es batu ke luka memarnya meskipun Daffa merintih kesakitan.Setelah tangis Daffa mereda. Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menidurkan Daffa yang tertidur lagi dalam dekapanku. Aku raih koper yang ada di atas almari. Kemudian, aku membereskan baju-baju milik aku dan Daffa lalu aku masukan k
Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik. "Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi."Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?" Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka."Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.Hatiku mencelos m
Sesuai petunjuk Nani yang lebih tahu alamat itu, Kayla menaiki mobil bus sampai ke terminal yang ada di kota tersebut. Nani yang lumayan baik itu hanya mengarahkan saja, jalan apa dan naik kendaraan apa lagi nantinya. Nani tidak bisa mengantar Kayla karena ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Ia juga ngeri jika bermasalah dengan keluarga Azzam. Tetapi bagi Kayla tak masalah. Yang paling penting dia sudah mengantongi alamat yang diberikan mertuanya. Tekad dia hanya ingin mengambil Daffa dari Azzam. Kayla tak rela jika anaknya dirawat madunya. Hampir 1 jam Kayla naik mobil bus dan akhirnya berhenti di terminal yang di maksud Nani. Kayla bergegas turun. Tetapi karena dia bingung selanjutnya naik apa lagi, Kayla pun bertanya kepada kondektur bus yang ia tumpangi tadi. "Kang, punten. Kalau ke alamat ini naik apa lagi dari sininya, ya?" Tanya Kayla sembari menunjukan kertas alamat yang dia ambil dari dalam saku sweater yang ia kenakan. "Oh ... ini naik
Berjalan di perbukitan yang terjal membuat Kayla merasa sedikit kesulitan. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti itu, tentu saja merasakan sebuah pengalaman yang cukup menantang. Ia berjalan di antara tebing-tebing curam yang cukup mengerikan. Terpeleset sedikit saja, bisa membuatnya terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam dan menelan tubuhnya yang mungil itu. Hamparan kebun teh yang terdapat di bawah perbukitan tampak begitu indah menghijau dengan bunga-bunganya yang mulai tumbuh. Kayla takjub dengan keindahan alamnya, tetapi tidak dengan salah satu penduduknya. Wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga dirinya bersama Azzam, tinggal di tempat yang begitu indah dengan udara yang sangat sejuk. "Neng, jalan-nya hati-hati licin. Semalam teh habis hujan." Pak RT mengingatkan kepada Kayla yang berjalan mengekor di belakangnya. Kayla hanya mengangguk saja menanggapi seraya tersenyum sopan. Ingatan wanita itu terus me
Ternyata Azzam dan Tia tidak membawa Daffa ke kampung halaman Tiara. 'Entah kemana perginya kedua manusia itu?' batin Kayla. Kayla berusaha menelan saliva yang terasa getir ketika Kepala Desa juga pak RT berkata. Lebih baik Neng pulang saja. Sungguh ... andaikan Kayla boleh meminta atau pun ia memiliki uang banyak, ingin rasanya ia menyewa rumah untuk beberapa hari saja di kampung tersebut. Kayla belum rela meninggalkan daerah itu sebelum menemukan Daffa, putranya. Tetapi ia tak kuasa untuk memberontak di kampung halaman orang. Meskipun kini warga kampung sudah tahu jika Kayla bukan pelakor. Semua yang mendukung Kayla hanya mampu berkata iba dan mencoba menguatkan Kayla dengan segala nasehat yang cukup menyejukkan hati meskipun hanya sesaat saja. Dengan bekal uang yang tersisa tak seberapa banyak. Kayla terpaksa harus pergi dari kampung halaman Tiara dengan tangan hampa. Tak seorang pun yang berbaik hati menawarkan untuk menginap di sana barang sema
Sebulan sudah berlalu. Azzam kembali ke rumah ibunya dengan membawa serta Daffa dan juga istri barunya. Entah bersembunyi di mana lelaki itu selama ini. Lelaki yang bekerja hanya sebagai security disalah satu pabrik tekstil di kota Bandung, tetapi tingkahnya mampu membuat Kayla mengelus dada. Baru sebulan Daffa bersama Azzam, Sang Ayah, tetapi badan bocah itu terlihat kurus kering. Bukan hanya itu saja, sekujur tubuhnya pun penuh luka lebam, serta ada benjolan di kepala. Yang paling mencolok adalah lebam di pelipis mata dan luka bekas cakaran kuku di bawah kelopak mata. Entah apa yang terjadi dengan Daffa. Andaikan saja Kayla melihat itu semua, sudah pasti perasaannya hancur lebur. Permata hati yang dia sayangi, kembali dalam keadaan tubuh penuh luka lebam serta kurus kering. "Allah Yaa Robb ... Daffa kamu kenapa, Sayang?" Tanya Nani ketika bocah itu diajak main oleh adik keduanya Azzam yang masih sekolah SMP. "Di ukul Ate Ia," jawab Daffa polos. N