Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.
Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik."Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi."Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?"Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka."Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.Hatiku mencelos mendengar itu. Entah kemana harus aku kejar anak ku? Seandainya bertanya sama Mama juga yang lainnya. Sudah pasti mereka pun akan merahasiakan."Ya sudah, Buk. Terima kasih infonya ya, Buk!""Iya sama-sama ya, Kay. kamu yang sabar jadi istrinya Azzam," ujarnya.Aku hanya mampu tersenyum seraya melangkah pergi dengan membawa perasaan yang semakin tak menentu. Aku benar-benar merasa buntu harus meminta bantuan siapa?Yang ingin aku perjuangkan bukan tentang pernikahan, tetapi anak. Aku ingin Daffa tetap ada bersamaku.Dengan sisa keberanian. Aku melangkah menuju rumah Mama. Biasanya kalau sudah sepagi ini ada ayah mertua duduk di luar dengan memangku anak bungsu.Benar saja, ku lihat ayah sedang duduk di kursi sembari menghisap sebatang rokok di tangannya. Lekas aku datang mendekat."Maaf, Ayah. Mas Azzam membawa Daffa pergi, memangnya pergi kemana, Yah?"Ayah mertua ku nampak terkejut. Ia lekas menoleh dan menatap ku dengan tatapan yang menunjukan rasa iba tetapi aku tak terpengaruh dengan hal itu sebab sifatnya sungguh sangat membingungkan kadang baik kadang pun seperti sama saja dengan Mama mau pun Mas Azzam."Eh! Key. Kamu dari mana?" tanyanya.Memang keluarga penuh dusta penuh drama. Berpura-pura tak tahu dengan apa yang sudah aku alamai padahal sudah jelas masalah yang menimpaku semata-mata karena anaknya."Aku tanya sama Ayah. Mas Azzam membawa Daffa ke mana?""Heh, Kayla. Bisa sopan nggak kalau ngomong sama orang tua?" sentak Mama yang tiba-tiba muncul seperti jailangkung."Kamu cari Daffa? Cari saja di rumah Tia istri muda Azzam yang lebih kaya lebih segalanya dari pada kamu," hardik Mama. Matanya melotot seperti akan terlepas dari tempat.Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar saja dalam Hati."Iya, Ma. Tapi, aku minta alamatnya, Ma. Mas Azzam nggak bisa dihubungi ponselnya." Aku menjawabnya meskipun mustahil Mama memberikan apa yang aku minta."Ma, kasih tahu saja lah! Kasihan dia Ibunya Daffa. Malu sama tetangga lihat Kayla lontang lantung di jalan kaya gini," tekan Ayah.Aku sedikit terkejut mendengar Ayah mertuaku sedikit membentak istrinya. Ini untuk pertama kali aku mendengar ketegasan Ayah."Kamu kenapa jadi belain dia sih, Pak? Jangan -jangan bener kecurigaan saya. Kalian ada main di belakang saya.""Astaghfirullah, Ma. Tolong jangan selalu su'udzon sama aku, Ma! Meskipun aku kere dan selalu buruk di mata mama. Tapi tak pernah ada niat aku menduakan Mas Azzam dengan lelaki mana pun. Apa lagi kalau sampai merebut Ayah dari Mama." Aku membantah tuduhan Mama yang lagi-lagi membuat hati aku semakin sakit dengan segala ucapan juga tuduh yang tak mendasar itu."Aku akan pergi jauh dari keluarga kalian. Asal kalian ngasih tahu dulu alamat istri mudanya Mas Azzam," imbuh ku tegas dan pasti.Mama kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama ia pun kembali keluar dengan membawa secarik kertas di tangan."Nih!" ujarnya melempar kertas ke tepat memgenai wajah ku.Lekas aku pungut kertas yang terjatuh ke lantai tersebut. Aku tak perduli cara Mama memberikannya seperti apa, yang terpenting aku sudah mendapatkan apa yang aku mau."Kayla, ingat! Jangan pernah lagi datang ke sini! Azzam anak saya sudah tidak sudi memiliki istri udik seperti kamu." Makinya berapi-api."Baik, Ma! Dan terima kasih untuk semuanya. Maafin aku kalau selama aku di sini sudah menjadi beban untuk Mama. Aku berharap, Mas Azzam juga cepat memberikan surat cerai untuk aku," jawabku. Setelah berkata demikian. Aku pun segera pergi meninggalkan rumah Mama.Aku membuka lipatan kertas yang diberikan Mama. Aku membaca alamat itu. Meskipun tak tahu arahnya kemana. Tetapi tekadku tetap akan mendatangi dan mengambil Daffa dari tangan mereka.Hari sudah semakin siang. Aku menarik koper menuju jalan raya yang kebetulan tak begitu jauh dari rumah Mama."Kayla!""Eh? Teh Nani!" sambutku sedikit terjekut."Kamu masih di sini?" tanyanya."Teh, Maaf. Tahu alamat ini nggak?" tanya ku tanpa menjawab pertanyaan yang dia ajukan.Teh Nani pun menerima kertas yang aku berikan. Ia lalu membaca dan nampak keningnya mengerut dalam."Kay, alamat ini mah jauh. Adanya di daerah pegunungan. Kalau dari sini sekitar 3 jam baru nyampe," katanya."Ya Allah jauh banget teh?"Tetapi aku tak perduli. Berapa pun jaraknya aku akan tetap mencari. Setelah aku tanyakan naik mobil apa dan arahnya kemana. Teh Nani menjelaskan sedetail mungkin agar aku tak tersesat di jalan."Bismillah."Sesuai petunjuk Nani yang lebih tahu alamat itu, Kayla menaiki mobil bus sampai ke terminal yang ada di kota tersebut. Nani yang lumayan baik itu hanya mengarahkan saja, jalan apa dan naik kendaraan apa lagi nantinya. Nani tidak bisa mengantar Kayla karena ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Ia juga ngeri jika bermasalah dengan keluarga Azzam. Tetapi bagi Kayla tak masalah. Yang paling penting dia sudah mengantongi alamat yang diberikan mertuanya. Tekad dia hanya ingin mengambil Daffa dari Azzam. Kayla tak rela jika anaknya dirawat madunya. Hampir 1 jam Kayla naik mobil bus dan akhirnya berhenti di terminal yang di maksud Nani. Kayla bergegas turun. Tetapi karena dia bingung selanjutnya naik apa lagi, Kayla pun bertanya kepada kondektur bus yang ia tumpangi tadi. "Kang, punten. Kalau ke alamat ini naik apa lagi dari sininya, ya?" Tanya Kayla sembari menunjukan kertas alamat yang dia ambil dari dalam saku sweater yang ia kenakan. "Oh ... ini naik
Berjalan di perbukitan yang terjal membuat Kayla merasa sedikit kesulitan. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti itu, tentu saja merasakan sebuah pengalaman yang cukup menantang. Ia berjalan di antara tebing-tebing curam yang cukup mengerikan. Terpeleset sedikit saja, bisa membuatnya terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam dan menelan tubuhnya yang mungil itu. Hamparan kebun teh yang terdapat di bawah perbukitan tampak begitu indah menghijau dengan bunga-bunganya yang mulai tumbuh. Kayla takjub dengan keindahan alamnya, tetapi tidak dengan salah satu penduduknya. Wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga dirinya bersama Azzam, tinggal di tempat yang begitu indah dengan udara yang sangat sejuk. "Neng, jalan-nya hati-hati licin. Semalam teh habis hujan." Pak RT mengingatkan kepada Kayla yang berjalan mengekor di belakangnya. Kayla hanya mengangguk saja menanggapi seraya tersenyum sopan. Ingatan wanita itu terus me
Ternyata Azzam dan Tia tidak membawa Daffa ke kampung halaman Tiara. 'Entah kemana perginya kedua manusia itu?' batin Kayla. Kayla berusaha menelan saliva yang terasa getir ketika Kepala Desa juga pak RT berkata. Lebih baik Neng pulang saja. Sungguh ... andaikan Kayla boleh meminta atau pun ia memiliki uang banyak, ingin rasanya ia menyewa rumah untuk beberapa hari saja di kampung tersebut. Kayla belum rela meninggalkan daerah itu sebelum menemukan Daffa, putranya. Tetapi ia tak kuasa untuk memberontak di kampung halaman orang. Meskipun kini warga kampung sudah tahu jika Kayla bukan pelakor. Semua yang mendukung Kayla hanya mampu berkata iba dan mencoba menguatkan Kayla dengan segala nasehat yang cukup menyejukkan hati meskipun hanya sesaat saja. Dengan bekal uang yang tersisa tak seberapa banyak. Kayla terpaksa harus pergi dari kampung halaman Tiara dengan tangan hampa. Tak seorang pun yang berbaik hati menawarkan untuk menginap di sana barang sema
Sebulan sudah berlalu. Azzam kembali ke rumah ibunya dengan membawa serta Daffa dan juga istri barunya. Entah bersembunyi di mana lelaki itu selama ini. Lelaki yang bekerja hanya sebagai security disalah satu pabrik tekstil di kota Bandung, tetapi tingkahnya mampu membuat Kayla mengelus dada. Baru sebulan Daffa bersama Azzam, Sang Ayah, tetapi badan bocah itu terlihat kurus kering. Bukan hanya itu saja, sekujur tubuhnya pun penuh luka lebam, serta ada benjolan di kepala. Yang paling mencolok adalah lebam di pelipis mata dan luka bekas cakaran kuku di bawah kelopak mata. Entah apa yang terjadi dengan Daffa. Andaikan saja Kayla melihat itu semua, sudah pasti perasaannya hancur lebur. Permata hati yang dia sayangi, kembali dalam keadaan tubuh penuh luka lebam serta kurus kering. "Allah Yaa Robb ... Daffa kamu kenapa, Sayang?" Tanya Nani ketika bocah itu diajak main oleh adik keduanya Azzam yang masih sekolah SMP. "Di ukul Ate Ia," jawab Daffa polos. N
Hari pun telah berganti petang. Sebelumnya Kayla sudah meminta izin kepada saudaranya yang bernama Yulia untuk pergi ke Bandung. Selama di Jakarta, Kayla memang tinggal di rumah sepupunya. Karena hanya itulah saudara Kayla yang lumayan dekat. Meskipun sikap Yulia agak ketus dengan Kayla, tetapi Kayla sabar saja menghadapinya. Suami Yulia sendiri cukup baik dengan Kayla. Dan hal itulah yang membuat Yulia tak suka Kayla menumpang di rumahnya. "Mbak Yuli, Mas Bayu, aku berangkat ke Bandung dulu, ya!" pamit Kayla yang sudah menenteng tas selempang. "Ada ongkos?" tanya Yulia dingin. Meskipun ia terkadang jutek, Tetapi wanita itu masih sedikit memberi perhatian terhadap adik sepupunya tersebut. Pikir Yulia, mau siapa lagi yang bisa menolong Kayla selain dirinya. "Masih ada, Mbak. Insya Allah masih cukup untuk bekal aku sama Daffa," jawab Kayla. "Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, cepat kabari ya!" timpal B
"Gimana di busnya Kay, aman?" tanya Nani. Keduanya terlibat obrolan dan saling melepas rindu setelah sebulan tak bertemu. Dua sahabat yang terbiasa saling menguatkan satu sama lain, tetapi pada akhirnya harus terpisah karena Kayla tak mungkin lagi tinggal kota yang sama dengan Nani."Alhamdulillah aman, Teh. Tapi ada yang lucu," ucap Kayla dengan senyuman yang tersungging dari bibir ranum itu.Seketika Nani menatap wajah sahabatnya. Penasaran dengan apa yang membuat Kayla tersenyum."Apa tuh? Dapat kenalan, ya? Hehe ... " Nani terkekeh dan menebak apa yang sudah membuat Kayla nampak bahagia.Sebelum menjawab, Kayla celingukan mencari suami Nani yang ternyata sudah tak ada di ruang tamu."Nggak, Teh. Tadi di bus 'kan aku ketiduran. Pas bangun aku tuh baru inget belum bayar tiket bus. Aku kasihlah ongkos ke kondektur. Tapi ... kata kondektur, udah dibayar sama cowok yang duduk disebelahnya Mbak tadi. Katanya gitu, Teh." "Aku kaget dong. Kataku, ya Allah ... mana orangnya udah turun du
Tini alias Tiara murka melihat Azzam memeluk Kayla si Istri Pertama. Tak ayal lagi, Kayla maupun Azzam sama-sama mendapat tamparan keras dari tangan Tiara yang sudah terbakar api kemarahan dan di warnai kecemburuan.Hanya mampu terdiam dan menunduk dalam, sosok Azzam laksana kapas yang terkena air. Lelaki itu seakan hilang sudah wibawanya. Saat berhadapan dengan Tini atau Tiara, keberanian lelaki itu hilang entah kemana. Berbeda dengan Kayla, mendapat perlakuan kasar dari wanita yang sudah ikut andil menjadi duri dalam rumah tangganya, wajah ibu satu anak itu terlihat murka. Ia menatap tajam wajah gundik tak tahu diri yang kini berdiri tepat di hadapannya dan Azzam.Plak! plak!Kali ini Kayla lah yang memberikan tamparan dua kali ke wajah Tiara. Tamparan tangan Kayla rupanya tak kalah keras dari yang dilakukan Tiara Sebelumnya, sehingga kedua pipi Tiara memerah semua bahkan meninggalkan bekas jemari Kayla di pipi wanita itu."Dasar pelakor! Mata lo buta? Sampai tidak bisa lihat siapa
Demi kebaikan buah hatinya, Azzam dengan berat hati melepaskan putranya untuk ikut serta dengan Kayla tanpa dirinya.Ketika bocah itu diminta untuk berpamitan dengan kakek neneknya, Daffa dengan antusias menuruti perintah sang bunda. Netra Azzam sudah basah oleh cairan bening ketika putra semata wayangnya itu berpamitan untuk yang terakhir kalinya.Sejak tadipun kelopak mata Azzam terasa hangat menahan tangis agar tak pecah. Sejahat apapun lelaki itu, dia tetap menyayangi Daffa, putra yang sangat dia impikan. Namun karena keserakahan serta keegoisan dirinya, anak istri yang seharusnya selalu ada bersama dirinya, kini terlepas dan akan mencari jalan hidupnya masing-masing.Tia yang melihat lelakinya bersedih itu lantas berdecih tak suka. Mukanya ditekuk laksana buah mengkudu yang tak jelas bentuknya. Hatinya terbakar cemburu karena Azzam begitu menyayangi Daffa. Bahkan kepada anak sekecil itu pun dia merasakan kebencian."Mas, ngapain sih pake sedih segala?" ketusnya."Ti, walau bagaim