Share

2. Papa Setuju

Yuri paling tidak suka rencana yang sangat ia inginkan ditolak begitu saja oleh orang tuanya. Tidak hanya Mama, tetapi juga Papanya.


Apa yang salah dengan menikah? Bukannya itu hal yang baik mengingat pacaran zaman sekarang benar-benar mengerikan. Setidaknya jika Yuri khilaf dengan suaminya, ia tidak akan merasa bersalah karena hubungan mereka sudah sah.


Astaga... Memang siapa yang akan menjadi suaminya?


Yuri sadar dirinya masih terlalu muda; 20 tahun. Ia bahkan janji pada Papanya hanya menikah dan tinggal bersama dengan calon suaminya—tidak melakukan hubungan suami-istri sebelum lulus kuliah. Tetapi Papa malah marah-marah, bilang mana ada lelaki yang ingin menikah, tetapi tidak melakukan hubungan suami-istri terlebih dahulu selama 2 tahun lamanya.


Lagi pula, memangnya menikah hanya untuk hal itu-itu saja, ya? Ada banyak kegiatan romantis yang bisa dilakukan tanpa hal intim itu. Yuri bisa saja me-list rencananya bersama calon suaminya nanti. Diantar kuliah pulang dan pergi, pergi liburan ke luar negeri, saling memeluk sebelum tidur dan bercerita apa yang terjadi di sepanjang hari.


Haaah. Membayangkannya membuat Yuri makin terobsesi untuk menikah saja.


"Yuri, keluar! Kamu udah dua hari nggak pergi kuliah!" Mama di luar kamar meneriakinya.


Kebiasaan Yuri saat merajuk adalah mengurung diri di kamar. Ia tahan mengurung diri satu sampai dua hari. Tetapi tenang saja, ia sudah mempersiapkan hal-hal yang diperlukan sebelum melakukan hal itu. Tentu saja ia akan menimbun makanan dan snack serta order makanan yang nantinya diantar pembantu di rumahnya lewat jendela kamar. Untuk masalah BAB dan BAK, kamarnya punya kamar mandi dalam. Jadi tentu saja ia bisa tahan selama itu.


"Nggak mau sebelum Papa Mama bolehin aku nikah!" serunya dari dalam. Untuk masalah sepele, mengurung diri seorang Yuri itu biasanya akan berlangsung sehari saja. Tetapi untuk masalah ini, Yuri rasa ia bisa mengurung diri di kamar sampai 3, 4, bahkan sepekan lamanya. Tergantung Papa dan Mama mengasihaninya dengan cepat atau tidak.


"Ngobrol baik-baik dulu di luar, Yuri. Biar Papa bisa kasih tahu alasan-alasan Papa ngelarang kamu nikah." Kali ini Papa yang berbicara.


"Nggak!" Yuri masih saja berseru tidak mau tahu.


Setelah Papa kembali dari Jerman, Mamanya langsung membicarakan perihal Yuri yang ingin menikah. Tetapi hasilnya tidak berbeda, Papa langsung menolak permintaannya saat itu juga. Yuri tambah kesal saat alasan Papa tidak mengizinkannya menikah sama seperti alasan Mama. Katanya Yuri masih kecil, manja, dan belum siap untuk menikah.


Apa-apaan itu! Dia sudah dewasa tahu!


Lagi pula Papa kaya. Jadi ia tidak akan hidup susah seperti orang yang sudah menikah kebanyakan. Ia hanya akan berganti status dan hidup dengan orang yang berbeda—orang yang nantinya akan ia cintai. Ia hanya butuh teman hidup, teman berbicara sepanjang waktu layaknya belahan jiwa.


"Mama harusnya perhatian sama Yuri, jangan biarin dia kesepian tanpa ada temen. Akhirnya dia minta nikah kan. Papa bisa turutin semua permintaan Yuri, apa pun itu. Tapi kalau nikah, Papa bener-bener nggak bisa. Yuri itu masih kecil. Dia nggak bisa apa-apa selain ngerengek ke kita. Terus sekarang, mau nikah? Gimana masa depannya nanti?"


Di luar sana, Yuri bisa mendengar Papanya berbicara panjang lebar. Yang membuatnya agak kesal ketika Papa berkata ia tidak bisa apa-apa. Kenapa orang-orang selalu meremehkannya? Yuri tahu ia suka merengek minta apa-apa, tetapi kan ia bisa melakukan apa-apa. Ia tidak lagi seperti saat SMA yang masih kekananakkan luar biasa; sering bolos sekolah hanya karena ngambek pada Mama dan Papanya.


"Mama nggak pernah biarin Yuri kesepian, Pa. Semua butik Mama akhirnya yang handle karyawan kan? Demi siapa? Demi anak Papa yang nyusahinnya luar biasa."


Yuri meniup anak rambut yang menutupi wajahnya, bangkit duduk setelah tadi rebahan di atas tempat tidur. Jika Mama mengatakan ia anak menyusahkan, Yuri tidak akan menampik kalimat itu. Sejak SD dia itu memang menyusahkan sekali. Wajar karena anak semata wayang sehingga jadi suka seenaknya.


"Mama di rumah terus sama aja kalau nggak pernah perhatiin Yuri. Nggak pernah ajak ngobrol atau punya waktu buat denger curhatannya. Dia pasti kesepian terus mutusin cari suami."


"Papa tahu dari mana, ha? Emangnya Papa sering di rumah? Papa yang harusnya ngerasa bersalah karena kerja mulu! Emang pernah punya waktu luang buat Yuri? Kenapa Papa jadi salahin Mama? Kenapa dulu nggak buatin adek banyak aja buat Yuri? Sekarang Mama udah tua dan nggak mungkin ngelakuin hal itu, Papa mau nyalahin Mama lagi? "


Yuri yang mendengarnya hanya memutar bola mata malas. Aduh Mamanya mulai bawa perasaan. Papa Mama itu suka sekali bertengkar. Epiknya, mereka selalu bertengkar karena dirinya. Menyalahkan satu sama lain. Padahal menurut Yuri mereka berdua sama-sama tidak bersalah. Bahkan Yuri tidak merasa kesepian seperti yang mereka berdua katakan. Yuri hanya malas melakukan segala sesuatu sendiri. Ia ingin punya seseorang yang menemaninya.


"Oke deh oke!" Papa berseru tiba-tiba.


Yuri di dalam kamar mengernyitkan dahi.


"Yuri, dengerin Papa! Kamu boleh nikah," kata pria baruh baya itu tiba-tiba. Yuri menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, melotot tak percaya. "Tapi Papa punya beberapa syarat buat kamu."


Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status