Share

5. Beberapa Alasan

Jiro tersenyum pada gadis di depannya, mengulurkan tangan ke depan untuk berjabat tangan. "Jiro Adelardo, manajer HRD di perusahaan pusat Williams Corp."

"Yuri Agatha." Gadis bernama Yuri itu balik menjabat tangan, tersenyum singkat padanya.

"Tumben pergi ke kantor Papa, Yuri? Ada masalah apa?" tanya Pak Adam pada putrinya. Tidak ingin mengganggu percakapan antara bos dan anaknya, Jiro pamit izin keluar. Tetapi belum juga angkat bicara, Pak Adam sudah menyela, "Jiro, kamu bisa duduk dulu. Periksa ulang berkasnya di sini."

Jiro mengernyit. "Periksa ulang berkas? Ada yang salah, Pak?"

Pak Adam menggeleng. "Periksa aja."

Tidak mau membantah, Jiro kembali melangkah mengambil berkas laporan yang tadi ia berikan. Ia duduk di sofa tamu di ruangan direktur utama, membolak-balik kertas laporan untuk ke sekian kalinya. Jiro itu agak perfeksionis dan teliti. Jadi ia sudah memastikan memberikan laporan nyaris sempurna pada atasannya.

Gadis bernama Yuri tadi mendekat ke meja Papanya, tersenyum. "Nggak ada masalah kok, Pa. Mau anter makan siang aja buat Papa. Setelah itu pergi kuliah."

Alih-alih memeriksa berkas laporan sesuai perintah Pak Adam, Jiro malah sibuk menguping percakapan anak bapak di dekatnya. Entah. Mendadak ditawari menikah dengan Yuri membuatnya jadi ingin tahu bagaimana gadis itu. Setidaknya untuk bahan berpikir bagaimana menolak dengan baik permintaan atasannya—meskipun Jiro belum yakin ia bisa menolak.

"Tumben kamu buatin Papa makan siang. Biasanya nggak pernah," ujar Pak Adam.

Yuri nyengir, menarik sofa single tak jauh dari Jiro untuk duduk dekat dengan Papanya. "Ini hadiah buat Papa karena bolehin aku nikah. Oh ya, udah nemu calon suami buat aku belum, Pa?"

UHUK!

Jiro yang sedang sok-sokan memeriksa laporan tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri. Seketika Pak Adam dan Yuri yang sedang mengobrol langsung menoleh ke arahnya, membuatnya bingung harus merespon apa.

Jiro tersenyum canggung. "Maaf. Tenggorokan saya tiba-tiba nggak enak," alibinya.

Pak Adam malah tersenyum. "Minum dulu, Jiro. Ambil air di sana," katanya seraya menunjuk dispenser dekat lemari tempat menyimpan berkas-berkas.

Jiro berdiri, membenarkan jas hitamnya. Ia melangkah mengambil minum, menuangkan air putih dingin ke kerongkongan. Mendengar pertanyaan barusan membuat tenggorokannya sungguhan jadi gatal. Pasalnya gadis itu seolah mempertanyakan tentang dirinya yang baru saja ditawari menikah dengannya beberapa menit yang lalu.

Pak Adam berkata, "Papa lagi mengusahakan calon suami buat kamu, Yuri. Sabar aja. Kamu tahu cari suami itu nggak segampang cari baju di mall. Lama carinya."

Gadis dengan setelan baju kasual itu menggeleng. "Nggak boleh lama. Maksimal seminggu, ya, Pa? Yuri mau nikah bulan ini kalau bisa."

Jiro yang mendengarnya menahan diri untuk tidak beraksi berlebih. Yuri itu tidak bercanda kan? Bagaimana bisa gadis itu terobsesi untuk menikah muda dengan seseorang yang tidak dikenal? Bagaimana bisa ia mengorbankan masa mudanya yang harusnya penuh kebebasan? Serius. Jiro tidak bisa memahami jalan pemikiran gadis muda yang duduk tidak jauh darinya sekarang.

"Iya, Yuri. Papa usahakan."

Dan apa itu? Kenapa Pak Adam kalah dengan anaknya? Harusnya beliau tetap melarang bagaimana pun juga demi masa depan putri semata wayangnya.

"Yaudah, Pa. Aku mau berangkat kuliah sekarang, ya." Yuri bangkit berdiri. Gadis itu menggantung tas selempangnya di pundak. "Setengah jam lagi matkul-nya dimulai," jelasnya.

Pak Adam kemudian bertanya, "Mobil kamu bukannya lagi di-service rutin? Kamu naik apa ke sini?"

"Taksi online," jawab Yuri. "Bentar. Aku mau pesen dulu. Nanti kalau udah dateng baru turun ke bawah."

"Nggak perlu pesen taksi online." Pak Adam tiba-tiba berkata. Ia menoleh pada Jiro, berkata, "Jiro, kamu tolong antar Yuri ke kampusnya, ya."

Mendengar namanya disebut, Jiro langsung menoleh, melotot tak percaya. "Saya, Pak?"

Bosnya itu mengangguk.

"Kerjaan saya?"

Pak Adam tersenyum. "Untuk sementara kirim ke bawahanmu dulu. Anter Yuri nggak lama kok. Bisa kan?"

Untuk ke sekian kalinya, Jiro tidak mungkin menolak. Ia bangkit berdiri, menatap Yuri yang sekarang tampak santai-santai saja menunggu seseorang untuk mengantarnya pergi. "Ayo, Yuri. Saya antar."

=•=

Kini Jiro sudah berada di mobilnya. Alih-alih duduk di jok belakang, Yuri justru masuk mobil dan duduk di jok di sebelahnya.

"Kamu nggak duduk di belakang?"

Gadis di sebelahnya menggeleng. "Di sini aja enak. Di belakang sana sepi nggak ada temen," katanya. "By the way, kamu kan manajer di perusahaan Papa bukan supir mobil. Jadi anggap aja kita setara, Ji—aku harus panggil kamu apa? Pak Jiro? Om Jiro? Kak Jiro? Kayaknya kamu belum tua."

Jiro yang mendengarnya terkekeh, mulai menjalankan mobilnya keluar dari basement kantornya. "Panggil apa pun boleh. Jiro aja juga nggak masalah."

Yuri tampak tertegun sebentar. "Nggak sopan sih. Tapi yaudalah. Anggap aja kita seumuran. Kamu umur berapa, Jiro?"

"Dua tujuh."

Yuri mengangguk paham. "Cuma beda tujuh tahun. Aku umur dua puluh."

Jiro tersenyum tipis. Cuma, ya? Baginya itu perbedaan umur yang jauh sekali. Tetapi tidak masalah jika gadis di sampingnya memanggilnya Jiro tanpa embel-embel apa pun. Ia itu fleksibel.

"Kamu manajer baru, ya? Aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya," terang gadis itu.

Jiro mengangguk. "Saya dari perusahaan cabang di luar kota. Dipindah ke pusat satu bulan yang lalu."

Gadis di sebelahnya hanya ber-oh ria.

Keadaan di dalam mobil lenggang sejenak. Jiro fokus menyetir, sedangkan Yuri menatap ke luar jendela. Tidak lupa senyum cerah—karena sedang bahagia—masih menghiasi wajah campuran miliknya. Setahunya Pak Adam itu keturunan Barat, sedangkan istrinya berdarah asli Asia Timur. Tidak salah kalau ia bilang Yuri cantik karena gen perpaduan orang tuanya.

"Oh ya, boleh tanya sesuatu?" Jiro mendadak ingin tahu banyak hal. Yuri yang sedang menatap jalanan mengangguk. "Mungkin agak pribadi. Dan ya, saya tadi nggak sengaja denger obrolan kamu sama Papa kamu. Kenapa kamu pengen nikah semuda ini? Ada masalah sebelumnya? Maksud saya, bukannya nuduh yang bukan-bukan, tapi pasti kamu punya alasan kenapa pengen nikah muda."

Yuri tertawa kecil, menoleh ke arahnya. "Pantesan kamu tiba-tiba kesedak waktu di ruangan Papa."

Jiro tersenyum. "Maaf sebelumnya. Sebenernya saya antara sengaja sama nggak sengaja denger," ujar Jiro.

Yuri terkekeh. "No. Nggak perlu minta maaf. Santai aja. Itu bukan rahasia yang ditutup-tutupin kalau aku pengen nikah," terang gadis di sebelahnya.

"Jadi?"

Yuri berpikir sejenak. "Sebenernya nggak ada alasan khusus. Aku cuman lagi ada di fase bosen hidup gini-gini aja. Selalu sendiri, manja ke Papa Mama, diremehin orang-orang, dikata childish, disakitin cowok yang cuma dateng buat mainin perasaan."

Jiro yang sedang fokus menyetir terdiam cukup lama. "Kamu habis patah hati makanya pengen cepet nikah?"

Yuri menggeleng. "Nggak juga. Aku terakhir putus dua bulan yang lalu."

Jiro mengangguk mengerti. Kesimpulannya, gadis di sebelahnya sekarang ingin membuat perubahan dengan menikah. Mungkin ia tipe-tipe yang ingin rintangan alih-alih hanya berada di zona nyaman. Pak Adam tentu saja selalu memenuhi permintaan putri semata wayangnya tanpa kecuali. Membuat gadis itu jengah karena respon sekitar ikut meremehkannya. Untuk saat ini alasan itu masih bisa dipahami. Yang Jiro tidak paham mengapa Yuri keburu-buru sekali ingin menikah. Bahkan sampai bilang ingin menikah di bulan ini juga. Terlalu cepat.

"Jadi semua itu alasan kamu pengen nikah?" tanya Jiro.

Yuri mengangguk mantap. Gadis itu menatap lurus jalanan di depannya, tampak tidak terusik apa pun. Seolah semua yang ia sebutkan tadi memang alasan sebenarnya.

"Emang kamu udah siap berumah tangga? Kamu tahu sendiri jadi istri itu susah-susah gampang." Jiro kembali bertanya, berusaha sebisa mungkin agar pertanyaannya masih di dalam batas wajar. Yuri bisa jadi curiga jika ia bertanya macam-macam.

"Siaplah," jawab Yuri tanpa keraguan. "Cuman Papa kasih syarat sebelum aku nikah. Dan syaratnya agak nyusahin, buat orang yang nikah jadi berasa belum nikah," terang gadis bersurai hitam panjang itu.

Jiro mengernyitkan dahi. Syarat? Apa mungkin semisal tidak boleh hamil terlebih dahulu sebelum lulus kuliah? Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi mobil yang ia kendarai tidak terasa sudah sampai ke tempat tujuan. Lagi pula sepertinya itu sudah termasuk pertanyaan privasi. Ia harus menahan diri.

Mobil Jiro berhenti di depan pelataran kampus sesuai yang Yuri instruksikan. Yuri beringsut membuka pintu mobil, tetapi langsung ia cegah. "Aku aja yang buka."

Jiro segera keluar, membenarkan jas yang ia pakai. Ia berjalan menuju pintu mobil tempat Yuri duduk, lalu membukanya. Gadis itu keluar, tersenyum.

"Thanks, Jiro, udah anter ke kampus. Aku pergi dulu." Yuri berkata, melangkah menjauh beberapa detik kemudian. Ia melambaikan tangan sebentar, sebelum akhirnya berlari kecil menuju kelasnya.

Jiro menatap punggung gadis itu lama. Beberapa pertanyaan silih datang pergi ke pikirannya. Yuri sungguh membuatnya bertanya-tanya tentang suatu hal yang sebenarnya tidak perlu ia tanyakan.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Jiro segera mengambil benda tipis itu dari saku jas, membaca bahwa Pak Adam-lah yang menelpon.

"Iya, Pak?" jawabnya setelah menyentuh ikon hijau ke atas.

"...."

"Yuri barusan masuk ke kelasnya."

"...."

"Oke. Saya segera segera kembali ke kantor."

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status