Share

Part 4

Saat Anin sudah tertidur pulas, Jonan pun berdiri. Puas sudah sedari tadi Jonan duduk di atas lantai memeluk tepian ranjang sambil memegangi tangan Anin yang sedang berbaring.

Dalam kondisi seperti ini, Jonan bahkan sampai lupa kalau saat ini berada di kamar yang seharusnya tidak dipijak. Kamar Bagas dan Anin tentunya. Namun, Jonan bisa bernapas lega karena sampai Anin terlelap sosok Bagas tetap tidak muncul.

“Aku akan memilikimu. Pasti,” kata Jonan saat sudah berdiri.

Hampir saja Jonan memberi kecupan di kening, tapi Jonan buru-buru tersadar dan segera angkat kaki.

Baru beberapa langkah menjauh dari pintu kamar Anin, Jonan mendengar suara langkah seseorang menaiki anak tangga. Nampaknya sedang berbicara di telpon.

“Iya, besok aku pasti datang. Kamu nggak usah khawatir. Dadah, emmmuah!”

Jonan terperanjat mendengar kata penutup panggilan itu. Jonan yang sedang berdiri di depan tralis pembatas tepian lantai dua, hanya sekedar melirik hingga Bagas sampai di lantai dua.

“Dari mana kamu?” tanya Jonan pias.

“Tentu saja dari kantor. Memangnya dari mana lagi,” jawab Bagas enteng. Bagas sama sekali tidak menoleh ke arah Jonan, melainkan masih menatap layar ponselnya sambil cengengesan.

“Apa kau pergi dengan Ela lagi?” tanya Jonan.

Pertanyaan tersebut tentunya sontak membuat Bagas menoleh. “Apa maksudmu?” pekik Bagas.

“Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya sekedar bertanya.”

Bagas diam. Seperti tak menemukan satu kata untuk menjawab, Bagas kembali menatap ponselnya kemudian berlalu masuk ke dalam kamar.

“Aku harus cari tahu kenapa Bagas tidak mau melepaskan Anin.” Jonan berpaling dari lantai dua dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai satu.

Jonan berhenti sejenak di setiap ruangan yang ia tapaki. Menoleh ke kanan dan ke kiri mencari seseorang untuk diajak bicara.

“Jonan,” tegur Mama. “Kamu cari siapa?”

“Eh, Mama,” pekik Jonan. “Aku lagi cari papa. Apa di rumah?” tanya Jonan kemudian.

“Papa sedang di ruang kerjanya,” jawab Mama.

Tak berkata lagi, Jonan melempar senyum kemudian berlalu meninggalkan mama.

“Kenapa dia?” gumam Mama. “Nggak biasanya cari papa.” Sasmita menaikkan satu alisnya sebelum berlenggak ke arah dapur.

“Papa,” panggil Jonan ketika sudah masuk ke ruang kerja papa.

“Jonan?” kata papa setengah terkejut. “Tumben?”

Jonan tersenyum lalu duduk sofa. Papa yang penasaran, tentunya juga ikut duduk.

“Ada apa?” tanya papa. “Apa ada masalah?”

Jonan menggeleng. Jonan kemudian duduk dengan melipat satu kakinya di atas sofa menghadap ke arah papa. “Aku hanya ingin bicara dengan papa.”

Papa mengerutkan dahi. “Bicara? Soal apa?” tanya papa.

“Sedikit sensitif sih ...” Jonan mengerutkan sebagian wajahnya sambil menautkan dua jari. “Tapi aku penasaran. Hehe.”

Papa mengerutkan dahi lagi. “Apa sih? Kamu jangan buat papa penasaran?”

Jonan berdehem sekali, kemudian mulai bicara. “Apa papa menjodohkan Bagas dengan Anin?”

Papa refleks mengatupkan bibir rapat-rapat dengan pandangan lurus tanpa berkedip beberapa saat ke arah Jonan.

“Kenapa tiba-tiba kamu tanya begitu?” tanya papa kemudian.

Jonan berdecak sambil memutar bola mata lalu bersandar. “Waktu Bagas nikah, aku kan nggak di rumah. Yang aku tahu Bagas kan pacar Ela.”

Degh! Papa terdiam lagi. Wajahnya mendadak datar dan terlihat bingung. Papa baru ingat kalau saat Bagas menikah, Jonan sedang tidak ada di rumah. Jonan sedang menuntut ilmu di luar negeri.

“Apa benar mereka dijodohkan?” Jonan mengulangi pertanyaan lagi.

Papa menghela napas lalu ikut bersandar. “Mereka memang papa jodohkan,” kata papa kemudian. “Papa dan kakek Anin yang sudah berencana menjodohkan mereka berdua.”

Jonan menarik napas sambil meraup wajah. Setelah posisi duduknya menegak, Jonan bertanya lagi, “Apa waktu itu Bagas dan Anin langsung setuju?”

Papa mendadak tersenyum sumringah. Senyum seorang ayah yang terlihat begitu bangga pada sang putra.

“Bagas langsung setuju waktu itu,” ujar Papa. “Tapi Anin ... dia sempat mikir-mikir dulu.”

“Mikir-mikir?” Jonan mengerutkan dahi. “Maksud papa bagaimana?”

“Anin sempat menolak waktu itu. Anin bilang kalau belum siap menikah, tapi setelah papa dan kakek Anin memberi waktu beberapa bulan untuk saling mengenal, kemudian Anin mau. Dan dua bulan kemudian mereka menikah.”

Setelah usai mengatakan kalimat panjang tersebut, Papa langsung tersenyum. Sebuah senyum yang mengembang sempurna.

“Papa senang, akhirnya mereka bisa hidup bahagia,” desah papa setelah itu.

Jonan menepuk kedua pahanya, lalu berdiri. “Apa benar mereka bahagia?” tanya Jonan tiba-tiba.

Hilang sudah senyum di wajahnya, Papa berubah mengerutkan wajah. “Apa maksud kamu, Jonan.”

“Kalau papa ingin tahu, maka papa cari tahu, tapi ... tanpa mereka berdua tahu.” Jonan tersenyum tipis sebelum berlalu keluar dari ruangan tersebut.

Sementara masih di ruangan, papa berkedip-kedip sambil melongo karena tidak paham dengan ucapan Jonan. Sepertinya kalimat membingungkan itu berhasil membuat papa bingung dan penasaran.

Mungkin Jonan memang tahu pernikahan Anin dan Bagas tidak ada kata bahagia. Jonan pun tahu kalau Anin masih suci. Entah benar atau tidaknya, tapi Jonan mendengar Bagas tak akan menjamah Anin sampai kapan pun. Kira-kira beberapa hari setelah Jonan kembali ke Indonesia.

“Kamu tidur di sofa dulu. Aku sedang gerah!” perintah Bagas ketika Anin terbangun dari tidurnya.

Tak membantah—masih dengan mata sayu—Anin merangkak turun dari atas ranjang. Matanya yang masih terasa pedas karena sisa menangis, Anin sembunyikan dari pandangan Bagas.

Setelah Anin sudah sampai di sofa, Bagas pun melebarkan selimut kemudian bersembunyi di baliknya. Anin tak bisa berkata apa-apa. Sebaiknya memang diam.

“Aku tak bisa tidur kalau kaya gini,” batin Anin. Pandangan Anin memutar mencari jam dinding. “Pukul sebelas,” gumam Anin kemudian.

Melihat sudah tak ada pergerakan dari sang suami, Anin beranjak angkat kaki. Menapak dengan sangat pelan hingga akhirnya sampai di luar kamar.

Tak toleh kanan dan kiri, Anin berjalan menuju lantai dua. Langkah Anin sedikit berhati-hati tatkala menuruni anak tangga. Tubuhnya terasa tak seimbang dan kliyengan. Mungkin karena Anin lupa makan dari siang.

“Aku lapar,” kata Anin lirih. “Mungkin sebaiknya aku buat mi saja.”

Karena   memang sudah tak ada siapapun di lantai bawah, Anin akan lebih leluasa begadang. Setelah membuat mi, Anin berencana akan nonton TV sampai rasa kantuk mungkin akan datang kembali.

“Kamu lagi apa?” kejut seseorang sambil memeluk Anin dari arah belakang.

Anin yang terkejut, sontak berjinjit dan menyingkir. “Jonan?” pekik Anin kemudian. “Ngapain kamu di sini?” Anin meletakkan panci berisi air di atas kompor yang sudah menyala.

Jonan angkat bahu, lalu meraih pinggul Anin lagi. “Tidak ada. Aku hanya ingin ganggu kamu saja,” kata Jonan santai.

Tak mau ada orang yang melihat, Anin segera melepaskan diri. “Jangan begitu. Kalau ada yang lihat bagaimana?” Anin mendelik.

“Kalau begitu, jangan di sini. Kita ke kamarku saja.”

“Jonan!” hardik Anin kemudian.

Jonan hanya meringis sambil mencoba meraih pinggang Anin lagi. “Kau kesepian kan?”

“Jonan!” Sekali lagi Anin memperingatkan.  Kali ini Anin melotot sambil mengacungkan pisau. “Jangan macam-macam. Kamu pergi saja sana! Nggak usah menggangguku.”

Jonan mencebik dengan satu kerlingan mata, barulah kemudian berlalu meninggalkan Anin. “Aku suka kalau kamu sudah tersenyum.”

Anin terhenyak dan refleks mengatupkan bibir rapat-rapat. Anin mana tahu kalau ternyata senyum tipisnya terlihat oleh Jonan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kartika Lanika Sa
bagus sekali ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status