Share

Part 6

“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.

Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.

“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.

“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.

Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”

Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.

“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.

Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ada orang yang bersedih. Terutama Anin.

“Kalau aku kasih saran, apa kamu mau menurutinya?” tanya Jonan.

“Kalau kamu meminta aku buat ninggalin Bagas, aku belum bisa,” kata Anin.

Tentu saja Jonan sontak menggaruk tengkuknya sendiri. “Sejujurnya, cuma itu cara supaya kamu lepas dari Bagas.”

Selain karena Anin bertahan karena memang sudah tidak memiliki siapa-siapa, tapi Anin juga memiliki kekhawatiran lain. Anin tahu tujuan Bagas yang lain. Yaitu, Bagas tak mungkin menceraikan Anin sebelum mendapat perusahaan yang katanya milik ayahnya.

“Nggak semudah itu untuk bisa lepas dari Bagas,” kata Anin lirih. Wajahnya mendadak menunduk sambil tangannya memeluk kedua lututnya.

Melihat Anin hampir menangis, Jonan merapatkan posisi duduknya. Satu tangannya perlahan naik dan berhasil merangkul pundak Anin. Bukan menolak, Anin justru mendaratkan kepala di dada Jonan.

“Aku capek,” lirih Anin. “Aku sangat capek, Jonan.” Isak tangis mulai terdengar.

Selain karena tak tega, Jonan paling tak kuat melihat Anin menangis seperti ini. Jonan memiliki rasa yang tentunya Anin tidak tahu.

“Jonan,” panggil Anin lirih. Wajahnya mendongak dan mata sembabnya menatap wajah Jonan.

Jonan lantas menunduk. “Apa?” saur Jonan sambil menyusuri wajah Anin yang terlihat begitu cantik. Dua bibir itu memancing Jonan untuk segera menyentuhnya.

“Apa Bagas suatu saat bisa cinta padaku?” tanya Anin. “Apa justru Bagas akan membuangku setelah mendapatkan apa yang dia mau?”

“Apa maksudnya?” batin Jonan. Kalimat kedua Anin membuat Jonan bingung.

“Apa kamu masih mencintai Bagas?” Jonan justru bertanya.

Anin menggeleng. “Aku nggak tahu. Aku nggak tahu gimana perasaanku sekarang.”

Jonan merangkul Anin lebih erat dan mendaratkan dagu di pucuk kepala Anin.

“Jonan,” panggil Anin lagi.

“Hm?” sahut Jonan yang sedang menikmati aroma wangi rambut Anin.

“Kenapa kamu peduli sama aku?”

Lagi-lagi pertanyaan Anin membuat Jonan bingung. Sebenarnya Jonan sudah berkali-kali memancing Anin supaya tahu tentang perasaannya, tapi nampaknya Anin memang kurang peka.

“Aku kan sudah sering bilang ...” Jonan berhenti berkata. Rangkulan Jonan lepas kemudian menangkup wajah Anin hingga sejajar dengan wajahnya. “Apa kamu masih tidak paham?”

Anin berkedip-kedip masih dengan menatap sorot mata Jonan. “Apa?”

Tak ada kalimat berikutnya, yang ada hanyalah sebuah kecupan lembut mendarat di bibir ranum Anin.

“Jonan!” pekik Anin yang sontak mundur lalu mengatupkan bibir dengan telapak tangan. “Kenapa kau—”

Jonan menarik tengkuk Anin, dan menyingkirkan telapak tangan yang menutup bibir. Selanjutnya, Jonan mendaratkan sebuah ciuman lagi yang lebih dari tadi. Intinya bukan sebuah kecupan, melainkan lumatan lembut dari bibir Jonan.

“Ini salah! Ini sangat salah.” Batin Anin. “Kenapa aku nggak melawan?” Anin masih bertempur dengan batinnya sendiri.

“Bibi kamu manis, Anin,” kata Jonan saat beberapa detik melepas pagutan tersebut untuk membiarkan Anin menghirup udara.

“Jonan!” hardik Anin kemudian dan mendorong dada Jonan hingga terjangkang.

Anin mengelap kasar bibirnya yang basah, kemudian mulai menitikkan air mata. “Kenapa kamu kaya gini sama aku?” lirih Anin sambil terisak. “Aku istri kakak kamu. Kamu nggak boleh melakukan hal ini sama aku.”

Jonan mengusap pipi Anin. “Bagas berselingkuh di luar sana, nggak adil kalau kamu hanya diam saja,” kata Jonan.

Anin menggeleng kuat. “Tapi bukan seperti ini. Ini salah, Jonan. Salah!” Anin menangis lebih keras.

“Maaf, aku minta maaf.” Jonan meraih tubuh Anin kemudian memeluknya. “Aku minta maaf, aku hanya ....”

“Kamu nggak boleh kaya gini sama aku.” Anin terus menangis sambil meremas kemeja Jonan. “Kenapa Jonan? Kenapa?”

Racauan yang diiringi tangis itu justru menaikkan hasrat yang sudah Jonan pendam. Jonan semakin tak kuat menahannya. Di tarik tengkuk Anin, mendongakkan ke atas, kemudian Jonan memberikan lumatan yang lebih ganas.

Bukan menolak, kali ini justru Anin menikmatinya. Sentuhan yang Anin inginkan selama satu tahun ini, tak bisa lagi Anin cegah. Rasa itu berontak dengan sendirinya dan melumer saat halus sentuhan Jonan menjalar.

Ini sangat salah. Anin tahu. Namun, Anin tak bisa mencegahnya untuk tidak menerima perlakukan Jonan. Tangannya yang membelai pipi, lidahnya yang lembut menyapu bibir, Anin sungguh tak bisa menolak.

Hingga pada akhirnya yang bisa Anin lakukan adalah, ambruk di dada Jonan sambil menangis. Jonan sendiri bingung harus berbuat apa. Jonan hanya bisa memeluk Anin dengan erat. Sangat erat.

Keduanya terpaku diam sambil memperbaiki deru napas yang naik turun tidak bisa terkontrol. Jantung masing-masing berdegup kencang membuktikan bahwa memang ada rasa di baliknya.

“Kalian dari mana?” tanya mama saat Jonan dan Anin memasuki rumah beriringan.

Ini baru pukul empat sore. Sepertinya hanya ada mama di sini.

“Anu, Ma.” Anin terlihat gugup.

“Aku baru antar Anin ke pemakaman kakeknya,” sahut Jonan. Jonan pastinya tahu kalau Anin masih kepikiran soal yang tadi di danau.

“Nggak diantar Bagas?” tanya mama pada Anin.

Anim tersenyum tipis sambil menggeleng. “Kalau gitu, Anin masuk kamar dulu ya, Ma,” pamit Anin.

Mama mengangguk saja. Kemudian saat Jonan hendak menyusul Anin, mama menarik lengan Jonan. “Mama mau bicara sama kamu.”

Mama menyeret Jonan ke ruang tengah.

“Apa sih, Ma?” dengus Jonan. “Aku capek, mau istirahat.”

Mama melotot. “Dengarkan mama dulu!”

Jonan kemudian membuang napas. “Apa?”

“Apa beber kamu habis ngantar Anin dari pemakaman?” tanya Mama kemudian.

Jonan mengangguk.

“Kenapa Anin nggak minta diantar sama Bagas?”

“Mamaku sayang ...,” kata Jonan sambil mencondongkan badan dan mendaratkan tangan di kedua pundak mama. “Coba deh, mama cari tahu ada apa diantara Bagas dan Anin.”

“Apa maksud kamu?” tanya mama bingung.

“Cari tahu apakah pernikahan mereka baik-baik aja atau nggak,” kata Jonan. “Tapi ingat, cari tahu tanpa mereka ketahui. Apa mama paham?”

Jonan tersenyum lalu berdiri tegak lagi. “Ingat, jangan mencurigakan. Sesekali mama dan papa emang harus bertanggung jawab dengan perjodohan kalian dulu.”

Mama terpaku diam memandangi langkah Jonan yang semakin jauh menaiki anak tangga. Ekspresi mama saat ini, tidak jauh berbeda dengan ekspresi papa malam itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status