Jonan Hanggoro, putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Dia adalah adik dari Bagas. Sebenarnya hidup dia tidaklah buruk. Dia bukan tipe pria yang sering keluar malam seperti Bagas. Hanya saja, Jonan adalah tipe pria yang terkadang merasa malas jika harus berurusan dengan seorang wanita.
Jika ditanya mengapa Jonan bisa jatuh hati pada Anin, Jonan sendiri tidak tahu. Yang Jonan ketahui, Anin adalah wanita menyedihkan yang tinggal di rumah ini. Wanita terbodoh yang mau disakiti oleh suaminya sendiri.
Jonan ingin tertawa saat berulang kali menggoda Anin dengan kata ‘Bodoh’. Jonan sering meledek Anin hingga menyebut hal sensitif. Anehnya, Anin tidak pernah marah saat Jonan melakukan hal tersebut. Di situlah Jonan mulai tertarik untuk terus menggoda Anin.
Tertarik pada kakak ipar mungkin salah, tapi kalau hati sudah memaksa, mau bagaimana lagi? Jonan ingin membantah, hanya saja terasa begitu sulit.
“Kamu mau pergi ke mana?” tanya Jonan ketika Anin muncul sudah berpakaian rapi.
“Keluar sebentar,” jawab Anin.
Anin hendak berlalu, tapi tangannya ditarik oleh Jonan. “Kemana?” tanya Jonan sekali lagi.
Anin mendengkus dengan bibir mencebik. “Mau pergi ke makam ayah, ibu dan kakekku,” jawab Anin kemudian.
“Aku ikut.” Jonan langsung menggandeng lengan Anin dan mengiringnya berjalan keluar.
“Apa sih!” dengus Anin. “Lepasin!”
“Diamlah!” balas Jonan. “Pakai mobilku saja.”
Anin berdecak kemudian mengibaskan tangan Jonan. “Memangnya aku ngijinin kamu buat ikut?”
“Nggak,” jawab Jonan enteng. “Tapi aku tetap mau ikut.” Jonan kemudian mendorong punggung Anin. Mau tak mau, Anin pun akhirnya masuk ke dalam mobil.
Dialah Jonan, pria yang menurut Anin sangat aneh. Segalanya yang Anin larang, justru selalu Jonan hadapi. Selama satu tahun mengenal Jonan, Anin sama sekali tidak pernah melihat Jonan bergandengan dengan wanita manapun. Terkadang, Anin ingin bertanya akan hal tersebut, tapi selalu urung.
“Di mana tempatnya?” tanya Jonan saat sudah dalam perjalanan.
“Lurus saja. Nanti aku yang tunjuk jalannya,” kata Anin.
Sunyi kembali. Keduanya diam seperti tak menemukan topik pembicaraan. Dan kesunyian itu berlangsung sampai mobil berhenti di area pemakaman.
Sebelum keluar, Jonan menoleh ke arah Anin. Wanita itu saat ini sedang memejamkan mata sambil menarik napas beberapa kali. Hingga jatuh di hitungan ke tuju puluh detik, bola mata Anin pun terlihat lagi.
“Kamu tunggu sini saja,” kata Anin setelah itu.
Jonan yang sudah hendak membuka pintu mobil mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Nggak pa-pa. Aku cuma mau menyendiri sebentar,” ujar Anin.
Jonan terdiam di dalam mobil dan membiarkan Anin keluar sendirian masuk lebih dalam ke area pemakaman. Dari balik kaca mobil, Jonan melihat kalau Anin sudah duduk di samping salah satu makam. Itu pasti makam keluarganya.
“Pagi Pa, Ma, Kakek ...,” kata Anin. “Anin datang, tapi maaf ... Anin nggak bawa bunga. Anin nggak sempat beli tadi.”
Sambil bersimpuh di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan liar, Anin mulai mencurahkan isi hatinya yang ia simpan selama satu tahun ini.
“Kakek,” panggil Anin setelah berdiam diri untuk beberapa detik. Bukan menyebut nama papa dan mama, Anin lebih dulu memanggil kakek. Anin hanya tahu dua pemakaman di samping kakeknya adalah tempat peristirahatan papa dan mama. Dalam artian, Anin tidak tahu seperti apa rasanya hidup bersama mereka karena memang sudah ditinggal sejak masih kecil.
Untuk saat ini, sebaiknya jangan membahas tentang hal itu lebih dulu. Anin datang hanya untuk mengadu tentang pernikahannya dengan Bagas yang terlanjur menyedihkan.
“Kakek, kenapa kakek menjodohkan aku dengan Bagas?” tanya Anin pada udara. “Apa kakek tahu, Bagas selalu menyakitiku, Kek. Dia tidak mencintai aku, Kek. Dia sudah berselingkuh di luar sana.”
Mata berkaca-kaca mulai merembes mengeluarkan buliran bening membasahi wajah.
“Aku harus gimana, Kek? Aku bingung. Aku ingin lepas, tapi aku nggak punya siapa-siapa.”
Mengatakan hal tersebut, rasanya terasa sangat menyesakkan dada. Kalimat itu memang sangat membuktikan bahwa Anin bukanlah siapa-siapa jika lepas dari keluarga Hanggoro.
“Aku sendiri masih nggak tahu gimana cara buktikan kalau aku nggak salah. Aku nggak tahu menahu kenapa aku bisa berada di kelab itu. Aku hanya ingat kalau aku diajak wanita bernama Ela. Aku bahkan tak ingat lagi seperti apa rupa wanita itu.”
Degh! Jonan yang ternyata berdiri di belakang Anin mendadak terperanjat. Jonan kaget mendengar satu nama yang disebutkan Anin. Ela, ya ... dia adalah kekasih Bagas sebelum menikah dengan Anin.
“Aku hanya berniat menolong dia karena waktu itu dia meminta bantuan aku. Sungguh, aku nggak ingat lagi apa yang terjadi, Kek. Aku tiba-tiba sudah terbangun di atas teras rumah.”
Cukup sampai di situ curahan hati Anin. Anin mengusap wajah sambil berdiri. Namun, saat Anin berbalik, Anin kaget karena Jonan sudah berdiri di sana dengan tatapan sendu.
“Jonan?” pekik Anin. “Sejak kapan kamu di sini?” tanya Anin gugup.
Jonan bersikap biasa saja. “Baru saja. Aku hanya bosan duduk di dalam mobil terus.”
Anin tak berkata lagi selain berjalan melewati hadapan Jonan dan kembali masuk ke mobil. Jonan segera menyusul.
“Mau kemana kita?” tanya Jonan sebelum menyalakan mesin mobil.
“Apanya yang kita?” hardik Anin. “Nggak ada kita-kita. Pulang saja sekarang!”
Jonan menaikkan kedua alisnya dengan bibir menipis. “Kenapa pulang? Lebih baik kita jalan-jalan dulu.”
“Nggak mau!” sahut Anin. “Aku mau pulang saja. Aku capek.”
“Dasar nggak asik!” sungut Jonan. Tak berbicara lagi, Jonan pun melajukan mobilnya.
Sampai di tengah perjalanan, mobil Jonan berbelok. Bukan ke arah jalan pulang, melainkan menuju arah lain yang Anin sendiri belum tahu kemana arahnya.
“Kenapa kesini? Kamu mau bawa aku kemana, Jonan?” tanya Anin gemas. “Jangan aneh-aneh. Ayo pulang.”
Bukannya langsung putar balik, Jonan terus melajukan mobilnya dan kemudian masuk ke sebuah parkiran pusat perbelanjaan.
“Ngapain kesini?” tanya Anin heran. “Aku nggak suka ke tempat ramai. Lagian aku juga nggak perlu belanja apapun.”
Jonan tak menggubris melainkan langsung melompat turun dan bergegas membukakan pintu untuk Anin. “Cepat keluar!” perintah Jonan.
“Nggak mau!” tolak Anin. “Kamu saja yang kesana. Aku tunggu di sini.”
“Nggak boleh begitu.” Jonan menyeret lengan Anin dengan paksa. “Nurut saja. Kau kan butuh hiburan.”
Tak lagi bisa menghindar, Anin terpaksa turun dari mobil. “Sudah, lepas!” tepis Anin saat Jonan masih mencengkeram lengannya.
Tidak tersinggung, Jonan justru meringis. “Nggak pa-pa kali. Banyak kok yang bergandengan tangan.”
Anin membalas dengan pelototan mata. “Memangnya kamu siapa? Nggak sopan bergandengan tangan tanpa status.”
Jonan menaikkan satu alis. “Oh ya?”
“Iya!” jawab Anin tegas.
Belum juga keduanya sempat masuk ke dalam, dari arah pintu keluar masuk pusat perbelanjaan tersebut, Anin mendapati sebuah pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Sang suami tengah bergandengan mesra dengan wanita cantik yang Anin lihat saat di hotel kemarin.
Menyadari akan hal itu, Jonan dengan sigap memeluk tubuh Anin dan menjauhkan pandangan dari kedua orang itu.
“Ayo masuk,” kata Jonan kemudian. “Maafkan aku.”
Anin masuk masih dengan pandangan kosong. Bibirnya bergetar dengan mata yang mulai berkedut-kedut.
Jonan yang merasa bersalah, segera tancap gas dan segera membawa Anin pergi dari tempat itu. Bukan pulang ke rumah, melainkan Jonan membawa Anin ke sebuah tempat yang lumayan sepi.
“Kenapa kesini?” tanya Anin dengan suara parau. “Aku mau pulang.”
“Turunlah, kamu kan butuh suasana yang tenang untuk saat ini. Percaya deh!” Jonan melempar senyum di hadapan Anin yang masih duduk di jok mobil.
Menghela napas, Anin pada akhirnya mau turun.
***“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ad
Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengi
Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”“
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal
Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona
Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa
Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka