Share

Part 8

Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.

Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”

Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.

Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”

“Apa maksud kamu?” Nana melebarkan kedua tangan—menghalangi langkah Anin. “Siapa yang mau ninggalin kamu?”

Anin tersenyum getir. Membalas tatapan Nana, Anin lantas menurunkan tangan Nana sebelah kanan. “Tentu saja Bagas.” Anin berjalan lagi.

“Sungguh?” pekik Nana yang dengan cepat mensejajari langkah Anin.

Anin mengangguk. “Harusnya aku senang karena bisa lepas dari Bagas,” kata Anin pelan. Dua kakinya berbelok masuk ke sebuah butik.

Nana mengikuti dengan langkah buru-buru. “Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mendadak bilang kalau Bagas akan ninggalin kamu?

Anin berjalan mendekati sebuah manekin yang berbalut dress berwarna kuning. “Sebentar lagi, apa yang Bagas inginkan akan tercapai. Saat itu juga, mungkin Bagas akan langsung menceraikan aku.”

“Apa ini tentang perusahaan?” tanya Nana penasaran.

Anin beralih ke deretan baju yang menggantung rapi di lemari dengan pintu kaca terbuka lebar. “Apa ini cocok untuk aku?” tanya Anin saat satu dress menempel di depan dada.

“Aniiin!” tekan Nana saat Anin justru mengalihkan topik pembicaraan.

“Apa?” saur Anin santai. “Bagus kan?” Anin masih menempelkan dress tersebut di badanya.

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” hardik Nana yang kemudian menjambret dress tersebut dari tangan Anin.

Anin melengos ke arah kursi panjang di sudut ruangan kemudian menghampiri dan duduk. “Bukan begitu ... aku hanya sedang bingung.”

Nana ikut duduk setelah menggantung lagi dress tersebut ke tempat semula. “Aku tahu ... tapi jangan begini. Yang ada kamu bisa stres,” ujar Nana.

“Hei, Nana,” panggil Anin tiba-tiba. Anin menoleh sambil meraih tangan Nana. “Apa masih ada lowongan di restoran tempat kamu bekerja?”

“Apa sih!” tepis Nana saat itu. “Kok kamu malah semakin ngelantur?”

“Siapa sih, yang ngelantur?” timpal Anin. “Aku cuma sedang mempersiapkan semuanya sebelum lepas dari Bagas.”

“Dengar ....” Nana meraih kedua pundak Anin. “Aku tahu kamu stres, bingung atau apapun itu. Tapi ... jangan jadikan masalah ini sebagai beban tambahan. Pikirkan kalau kau sebentar lagi memang akan bebas. Bagaimana kehidupanmu nanti, pikir belakangan.” Nana mengangguk-angguk meminta persetujuan.

Apa yang Nana katakan, mungkin sebaiknya Anin praktikkan. Bayangkan saja bahwa Anin akan segera terbebas dari jerat pernikahan yang tidak jelas kelanjutannya. Anin akan memikirkan cara yang Nana ucapkan.

“Anin, kita pisah di sini ya?” kata Nana saat sudah berada di halaman butik. “Mamaku SMS. Dia nyuruh aku pulang sekarang.”

Menyampirkan tas cangklong yang merosot, Anin kemudian mengangguk. “Baiklah ... jangan lupa datang, nanti malam,” kata Anin.

Nana mengangkat tangan kemudian menautkan dua jarinya dan membiarkan tiga jari lain tetap berdiri. Setelah Anin melambaikan tangan, Nana segera masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi.

Setelah mobil Nana sudah tak terlihat, Anin pun masuk ke dalam mobilnya sendiri. Namun, sebelum itu, Anin terlihat toleh sana sini seperti sedang mencari sesuatu.

“Mobil Bagas masih di sana, itu artinya mereka berdua masih di dalam restoran,” batin Anin.

Didorong rasa penasaran, Anin menutup kembali pintu mobilnya dan memilih melangkahkan kaki mendekati area restoran. Semakin merasa tak sabar, Anin memberanikan diri masuk ke dalam restoran dan menghampiri mereka berdua.

“Hai,” sapa Anin.

Sapaan itu terdengar seperti satu kata bodoh yang keluar dari mulut orang yang tengah mengalami guncangan. Dengan polosnya Anin justru menyapa mereka berdua seolah merasa tak tersakiti sama sekali.

“Anin,” pekik Bagas dan Ela bersamaan.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Bagas sambil memantau pandangan di balik punggung Anin. “Sama siapa kamu?”

Anin tersenyum getir. “Tenang, aku cuma sendirian kok.” Anin kemudian mengamati beberapa paperbag yang berada di kursi kosong di samping Ela.

Selama menikah, Anin bahkan tidak pernah sama sekali dibelikan sesuatu oleh Bagas. Sekalipun itu barang sepele seperti makan ringan mungkin, tapi nyatanya Anin memang tidak pernah mendapatkan itu.

Anin tak bisa menyalahkan Bagas seratus persen atas sikap acuh tersebut. Toh sampai detik ini, Anin sendiri tidak bisa menunjukkan bukti tepat yang menunjukkan kalau foto di kelab itu hanyalah kesalahpahaman.

Mungkin Bagas merasa kecewa dan dikhianati saat itu. Karena Anin memang terlalu berpikiran baik.

“Apa kamu sudah menyiapkan semuanya untuk nanti malam?” tanya Anin gugup.

“Sudah,” jawab Bagas acuh. “Kamu pulang saja sana, aku masih ada perlu.”

Betapa bodohnya Anin karena mau menghampiri mereka berdua. Anin harusnya tahu kalau Bagas tidak akan peduli.

“Aku cuma mau kasih ini.” Anin merogoh tasnya. Setelah mendapatkan barang dari dalam tas itu, tangan Anin keluar dengan menggenggam boks persegi berwarna mewah. “Semoga nanti malam acaranya lancar.”

“Apa ini?” tanya Bagas. “Kamu tidak usah membelikan apa-apa untukku. Aku sudah punya segalanya.”

Ela yang masih duduk, terlihat tersenyum ngeledek. Anin tentunya tahu itu.

“Nggak pa-pa, itu hanya sebuah dasi. Mau kamu pakai silahkan, nggak juga silahkan,” kata Anin kemudian. “Kalau gitu, aku pergi. Maaf udah ganggu.”

Anin berbalik badan. Tubuhnya mendadak gemetaran dan terasa kaku untuk melangkah. Anin mencoba menarik napas panjang sambil menekan dada. Memejamkan mata sesaat, dan setelah merasa tenang Anin mulai melangkahkan kaki.

“Anin! Kamu memang bodoh!” seloroh Anin pada diri sendiri. Anin masuk kedalam mobil dan langsung membanting punggung—bersandar pada jok.

“Kenapa juga aku harus menghampiri mereka?” Anin masih mengutuki diri sendiri. “Dasar bodoh! Kamu kira Bagas akan kaget lalu minta maaf karena kepergok jalan dengan wanita lain? Tidak! Dasar Anin bodoh!”

“Sebaiknya aku pulang,” kata Anin kemudian. “Sebentar lagi sore. Aku juga harus bersiap-siap.”

Anin memasang sabuk pengaman kemudian tancap gas melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

Drt ... drt ... drt ...

Ponsel Anin bergetar. Anin memperlambat laju mobil dan langsung menelusupkan satu tangan ke dalam tas—mengambil ponsel.

“Jonan?” pekik Anin saat nama Jonan terpampang di layar depan.

***​

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wiryosentono Wiryosentono
maaf Thor, cerita mu terlalu bertele tele , harusnya kalo sebatang kara Anin jadi wanita yang kuat dn smart gak bodoh dn lembek .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status