Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.
Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.
Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.
“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.
Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”
Bagas berdiri mema
Makan malam berlangsung tanpa kehadiran Bagas. Hingga menjelang malam, Bagas juga tak kunjung pulang. Tidak ada yang curiga karena setelah semua selesai makan, mereka segera masuk kamar untuk istirahat.Keluarga ini memiliki bisnis masing-masing, jadi akan jarang ada waktu untuk sekedar begadang malam. Lebih baik gunakan waktu untuk tidur.Hingga keesokan paginya, Anin tak menjumpai sosok Bagas di dalam kamar. Sepertinya semalam memang Bagas tidak pulang.Sampai di lantai bawah, semua penghuni rumah nampak sudah tidak ada. Semalam mama sempat bilang kalau akan pergi ke rumah seseorang untuk merias wajah pengantin. Kalau papa, memang sudah biasanya pergi sekitar pukul tuju pagi.“Apa sudah berangkat semua, Bi?” tanya Anin pada Bibi Niah.Bibi Niah yang sedang menyapu teras rumah lantas mengangguk. “Nyonya berangkat pagi sekali tadi. Kalau Tuan, beliau baru saja berangkat.”Anin manggut-manggut. Saat hendak kembali masuk ke dalam rumah, mobil
Keberuntungan untuk Jonan dan kesialan untuk Anin. Entah bisa tahu dari mana, saat ini Jonan sudah berdiri di halaman tempat karaoke. Jonan tengah bersandar pada mobilnya sambil memandangi Anin yang sedang berjalan ketawa-katiwi bersama Nana.Hingga sampai di dekat mobil Jonan terparkir, tawa Nana mendadak hilang. Anin yang belum menyadari akan hal itu, dengan cepat Nana sikut dan tawa pun terhenti.“Apa sih!” dengus Anin. Nana tidak menjawab, melainkan menyikut lengan Anin dan memainkan mata.“Apaan?” Anin bertanya lagi. Kali ini pandangannya mengikuti gerak jari telunjuk Nana.Saat pandangannya berhenti pada sesuatu yang membuat tawa Nana mendadak berhenti, Anin menelan ludah dan mengerjapkan mata cukup lama.“Jonan?” kata Anin usai berkedip dan sedikit berkedip. “Ngapain di sini?”“Nyari kamu lah!” sahut Jonan. Jonan melempar puntung rokok lalu menginjaknya. “Di telpon malah dimatikan!”Anin berdecak tak peduli. “Aku kan suda
Satu bulan sudah berlalu sejak peresmian Bagas. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan sandiwara cinta masih terus berlanjut sampai detik ini. Bedanya, kian hari Bagas semakin menjauh dari Anin. Bisa dikatakan, Anin hanya bertemu Bagas saat sarapan pagi dan menjelang tidur.Anin tak peduli akan hal itu sekarang. Setelah Jonan terus mengganggu Anin hampir setiap hari, Anin sampai-sampai lupa kalau statusnya saat ini masih menjadi istri Bagas. Bukan berarti Anin berselingkuh dengan Jonan, melainkan Anin hanya lebih sering menghabiskan waktu bersama Jonan.Tidak ada ikatan khusus di antara mereka terkecuali masih sebatas saudara ipar.“Kalau mama tanya, bilang saja aku sedang ada urusan bisnis sampai malam,” kata Bagas sebelum berangkat kerja.Anin cukup mengangguk saja. Sejujurnya Anin sudah malas berhadapan dengan Bagas. Bagas terlihat aneh dan selalu terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Entah ini hanya perasaan Anin, atau memang begitu adanya.
Seperginya dari rumah lagi, Bagas bukan kembali ke kantor melainkan pindah arah ke tempat lain. Bagas menghentikan mobil tepat di depan halaman rumah seseorang. Tak lama kemudian, baru saja Bagas turun dari mobil, seorang wanita berlalu menghambur datang dan langsung memeluk Bagas.“Kenapa lama sekali, Mas?” keluh Ela sambil menggesek-gesekkan pipi pada lengan Bagas. “Aku kan kangen,” rengeknya lagi.Sifat manja Ela selalu saja berhasil membuat Bagas semakin cinta.“Maaf, tadi aku sekalian mampir ke rumah dulu. Ambil berkas penting,” kata Bagas.“Ya sudah, ayo masuk,” ajak Ela kemudian. “Aku sudah membuatkan kamu puding yang enak.”Apapun yang dilakukan Ela, akan membuat Bagas selalu mengangguk dan berkata ‘Iya’. Sambil berjalan masuk ke dalam, Bagas sempat memberi tepukan di area pantat Ela. “Sebentar lagi, aku akan menikmati benda ini.”“Mas, jangan begitu,” umpat Ela. “Kamu kan emang sudah pernah menikmatinya. Kamu yang pertama kan?” Ela menyen
Tak mudah bagi Jonan untuk berbicara yang sebenarnya pada papa. Papa sudah terlalu percaya dengan kehebatan Bagas yang memang ahli dalam mengurus perusahaan. Bukan hanya papa yang percaya dengan, tapi mama juga. Jonan akan kesulitan jika hanya sekedar berbicara tanpa menunjukkan bukti bahwa pernikahan Bagas dan Anin tidaklah bahagia.Harusnya malam ini Jonan ingin berbicara dengan Anin menyangkut masalah dengan Bagas, akan tetapi Jonan harus pergi ke luar kota untuk mengurus pengiriman barang dari pabrik. Kemungkinan Jonan menginap di luar kota selama dua hari.Sementara di rumah, Anin yang masih duduk sendirian terlihat sangat gelisah. Sedari siang, Anin hanya duduk, berdiri lalu kembali naik ke kamar dan kemudian kembali ke lantai satu dan duduk lagi di ruang tamu. Apa yang membuat Anin gelisah adalah Jonan. Entah kenapa Anin begitu merindukan sosok Jonan. Padahal, tadi pagi Anin sudah sembat bercengkerama dengan Jonan.“Kenapa aku jadi gelisah begini ya?” gumam
Malam berubah mencekam tatkala papa dan mama sudah melihat rekaman singkat di ponsel Bagas. Mama yang paling terkejut karena melihat terlebih dulu, seketika ambruk lunglai di atas sofa.“Apa-apaan ini, Anin?” sesal mama dalam helaan napas. “Mama nggak nyangka kamu ....” mama berhenti berbicara.Anin yang belum mengerti betul-betul apa yang telah mereka tonton, masih terlihat kebingungan. Anin bahkan seperti orang linglung yang sedang dihakimi tanpa tahu kesalahan yang sebenarnya.“Anin, sekarang juga, aku ceraikan kamu.” Bagas melontarkan kalimat yang memang sudah Anin tunggu selama ini.Harusnya Anin merasa lega bukan? Namun, Anin tetap membisu menantikan ada salah satu di antara mereka memberitahu apa yang ada di dalam ponsel itu.“Anin ....” kali ini papa yang bicara. “Apa sungguh ini kamu?” papa menyodorkan ponsel yang layarnya menyala.Perlahan-lahan, mata Anin terbuka dan membelalak sempurna. Anin yang tak menyangka, hanya bisa menutup
Sampai larut malam Anin menangisi nasibnya. Anin masih tidak percaya kalau Bagas akan menceraikannya dengan cara picik seperti ini. Anin pikir dirinya akan diceraikan secara baik-baik tanpa ada kebohongan, tapi ternyata Bagas lebih buruk dari yang sempat Anin bayangkan.Masih berada di kamar, untuk saat ini Anin hanya bisa meringkuk di atas ranjang. Anin sama sekali tak peduli kemana Bagas akan tidur malam ini. Anin sudah mengunci pintu setelah pembicaraan tadi usai.Anin berlari menaiki anak tangga dengan tangis yang terus meluber.“Jonan, kamu di mana?” Anin masih berharap Jonan akan muncul.Pria itu mendadak menghilang saat Anin sedang membutuhkan. Anin ingin sekali marah pada Jonan. Kenapa Jonan harus menghilang di saat runyam seperti ini? Di mana dia?Anin masih terisak sambil beberapa kali memanggil lirih nama pria itu.“Jonan, aku lagi butuh kamu. Kenapa kamu malah pergi?” desis Anin.Membiarkan Anin menangis di dalam kamar sepe
Dari pagi sampai menjelang malam lagi, Anin tak kunjung menemukan sosok Jonan. Sudah dua hari ini Jonan tidak pulang ke rumah. Ingin bertanya, tapi Anin tahu kalau seisi rumah sedang membencinya. Tentang perceraian itu, Anin sebenarnya tidak terlalu dipikirkan, toh Anin harus merasa lega karena sudah terbebas dari jerat pernikahan tipu-tipu dengan Bagas.Masalahnya sekarang, Anin harus mencoba hidup mandiri tanpa bantuan keluarga ini. Ini mungkin salah Anin juga karena menuruti mertuanya yang memintanya untuk tidak usah bekerja. Mereka bilang, kalau Bagas bisa membiayai tanpa Anin ikut bekerja. Bodohnya, Anin sama sekali tidak memikirkan akan berimbas seperti ini.“Kamu belum juga menemukan Jonan?” tanya Nana. Jam makan siang Nana terpaksa digunakan untuk menemani Anin yang tengah bersedih.“Aku nggak tahu Jonan pergi kemana. Aku bisa saja menelpon, tapi aku ragu. Bisa jadi dia memang nggak mikirin aku lagi kan?” Anin menatap sendu.“Jangan bilang