Share

Part 3

Kalimat-kalimat yang Jonan katakan pagi tadi, tak mudah untuk Anin abaikan begitu saja. Jika biasanya Jonan hanya sekedar menggodanya atau menyindir hal-hal sepele, tapi kali ini Jonan justru mulai menjerumus.

Anin yang memang tak tahan menyimpan rahasianya sendiri, ia selalu memilih meluapkannya pada sahabat dari semasa kecil.

“Apa ada masalah lagi?” tanya Nana.

Anin yang sedang duduk di atas ayunan, terlihat tersenyum pias. “Aku memang selalu ada masalah ....”

Nana menyeret kursi lebih dekat ke samping Anin lalu duduk. “Bukan begitu ... tapi masalah yang lain.”

Anin menghentikan gerak ayunannya. “Aku capek, Na,” desah Anin. “Aku ingin menyudahi semuanya, tapi bagaimana?”

“Kalau begitu, kamu sudahi saja,” sahut Nana. “Beranikan diri.”

Anin mendesah kemudian mendongakkan wajah. Memandangi birunya langit untuk sesaat, kemudian Anin menoleh ke arah Nana dengan senyum getir. “Nggak semudah itu, Na.”

Membalas senyum tipis yang tak terniat itu, Nana lantas berdiri. “Tapi kamu akan terus tersiksa kalau kaya gini terus,” kata Nana sambil mengayun pelan ayunan tersebut.

“Aku tahu ...” Anin menoleh. “Aku hanya takut kalau menyudahinya. Kamu tahu kan, aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi?”

Kalau Anin sudah membahas tentang hidupnya yang memang hanya sebatang kara, itu membuat Nana tak bisa memaksa Anin untuk berhenti menyudahi pernikahannya. Nana sendiri hanya sekedar pelayan restoran, untuk hidup sendiri dan keluarganya saja baru bisa dikatakan cukup. Jadi, untuk membantu Anin lebih lanjut Nana tentu saja belum bisa.

Keduanya sama-sama diam untuk beberapa menit, hingga kemudian Anin meminta Nana untuk menghentikan ayunannya.

“Aku pulang dulu ya, Na,” kata Anin kemudian.

“Mau aku antar?” tawar Nana.

Anin tersenyum sambil mencangklong tasnya yang sedari tergeletak di kursi panjang. “Nggak usah. Kamu kan juga harus pergi ke restoran. Jam kerja kamu hampir mulai.”

Nana meringis. “Aku lupa.” Menjitak kepala sendiri kemudian Nana memeluk Anin. “Hati-hati ya. Jangan terlalu dipikirkan. Ingat, kamu juga harus jaga kesehatan.”

Saat pelukan terlepas, Anin tersenyum. “Makasih kamu selalu menemani aku.”

Keduanya kemudian terpisah. Anin dan Nana sama-sama beranjak pergi dari atas rerumputan hijau di taman pinggir kota. Tentu saja arah keduanya berlawanan.

“Apa aku ikuti saran Nana saja ya,” gumam Anin saat mobil sudah melaju. “Tapi ... aku takut.” Anin menciut di kalimat terakhir.

“Bagas?” pekik Anin tiba-tiba.

Anin lantas membelokkan mobilnya. “Apa itu Bagas?” masih fokus dengan gerak mobilnya, Anin juga terlihat masih memantau dua orang yang sedang bergandengan masuk ke dalam sebuah hotel.

Dada mulai berkecamuk dan rasa penasaran terus meronta, Anin kemudian menghentikan mobil di area halaman hotel tersebut. Tanpa berpikir panjang, Anin melompat turun dari mobil kemudian segera menyusul orang yang Anin duga adalah suaminya.

“Kemana arahnya?” tanya Anin sambil celingukan.

Anin ingin tanya pada resepsionis, tapi tampaknya tak akan mendapat jawaban. Lebih baik cari sendiri saja.

Anin kemudian berjalan cepat memasuki lorong utama. Saat ada siku belokan ke arah lain, Anin mendadak mundur. Dari jaraknya berdiri saat ini, terlihat Bagas sedang bergandengan mesra dengan seorang wanita memasuki sebuah lift.

Didorong rasa curiga dan penasaran, Anin pun mendekati pintu lift tersebut. “Lantai empat,” kata Anin kemudian saat melihat monitor dengan tulisan warna hijau di atas pintu lift.

Anin bergegas masuk dan tentunya langsung menekan tombol menuju lantai empat.

“Kamu jahat tahu, Mas!” kata Ela sambil memukul dada Bagas. “Kamu sudah menghianati istrimu.”

Bagas tertawa sambil merangkul Ela. “Aku tidak jahat, justru dia yang jahat. Dia yang sudah tega membohongiku.”

Ela tersenyum kemudian merangkulkan kedua tangannya di tengkuk Bagas. “Kalau aku, pasti nggaj jahat, kan?”

“Tentu saja enggak.” Bagas memepet tubuh Ela pada pintu berwarna coklat. “Kamu justru wanita baik yang aku cintai saat ini.” Sebuah kecupan mendarat sempurna di bibir Ela.

“Apa-apaan ini?” lirih Anin dengan tubuh bergetar dan mata berkaca-kaca.

Dari balik dinding tempatnya berdiri sekarang, Anin bisa melihat dengan jelas berbuatan tak senonoh itu. Sang suami sudah tega berselingkuh di belakannya. Bermesraan di depan pintu kamar sebuah hotel, Anin tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah kedua orang itu masuk dalam kamar tersebut 

“Ke-kenapa, kenapa begini?” lirih Anin lagi. Air mata sudah tak terbendung lagi dan akhirnya meluap begitu saja membasahi wajah.

Saat pandangan Anin mendongak, dua orang tersebut sudah raib. Mereka berdua sudah menghilang. Saat itulah Anin menangis hingga membuat dadanya sakit. Suami yang ia harapkan masih ada cinta untuknya, ternyata dengan tega berkhianat dan memilih tidur bersama wanita lain.

Anin kemudian menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan secara cepat, lalu Anin mengusap kasar wajahnya yang basah. “Aku harus pulang,” kata Anin.

Anin meraup wajahnya sekali lagi, barulah kemudian berjalan cepat keluar dari hotel tersebut. Apa yang baru saja Anin lihat, adalah sebuah bukti nyata kalau memang sudah tak ada rasa cinta dari Bagas untuk Anin. Kenangan manis yang terjadi sebelum pernikahan dulu, kini pada akhirnya berakhir dengan sebuah pengkhianatan.

BRAK!

Anin membanting pintu kamarnya sampai-sampai tidak tahu ada orang yang sempat memandanginya tadi.

“Kenapa dia?” gumam Jonan yang tahu Anin sedang bertingkah aneh.

Jonan yang awalnya sedang berdiri di depan rak buku, kemudian berjalan mendekat ke arah pintu kamar yang baru saja dibanting oleh Anin.

“Apa dia menangis lagi?” Jonan masih bertanya-tanya.

Sangat perlahan, kemudian Jonan memutar knop pintu. Mendorong pintu tersebut, hingga sosok wanita sedang menelungkup di bawah tepian ranjang pun terlihat.

Itu Anin. Ya, dia sedang menangis. Tebakan itu terlihat jelas dari kedua pundak Anin yang bergerak-gerak. Isak tangis pun bisa Jonan dengar.

Sudah tak tahan melihat Anin mengumpat tangis, Jonan kemudian berjalan mendekat secara perlahan. “Hei,” kata Jonan kemudian.

Masih dengan wajah yang basah dan mata sembab, Anin refleks mendongak. Ketika tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini, Anin segera berdiri dan mengusap wajahnya dengan cepat. Jonan yang terkejut juga ikut berdiri.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Anin sesenggukan.

“Tidak ada,” sahut Jonan sambil angkat bahu. “Aku cuma lihat ada wanita cantik yang berlari masuk kamar sambil menangis.”

Anin mundur hingga bagian tengkuk lutut menabrak tepian ranjang. “Si-siapa yang menangis,” elak Anin. Jemari-jemari lentik itu masih sibuk mengusap wajah dengan kasar.

“Sudahlah, jangan kasar begitu. Wajah kamu nanti lecet.” Jonan menarik kedua tangan Anin supaya menjauhi wajah.

Anin berdehem lantas membuang muka. “Kamu keluar dari kamarku. Aku mau sendiri,” kata Anin.

Jonan mendecih. Sesaat kemudian, tiba-tiba Jonan justru memeluk tubuh Anin dengan erat. Anin yang terkejut awalnya sempat menolak, tapi merasa ada kehangatan yang menjalar, Anin mendadak diam membisu.

“Dia menyakiti kamu lagi?” tanya Jonan lirih sambil menghirup aroma wangi rambut Anin.

Anin menangis lagi. Menangis dengan air mata lebih banyak dari sebelumnya. Baju Jonan bagian dada bahkan sudah mulai basah.

“Bagas ... Bagas menghianati aku. Di-dia ... dia selingkuh.” Pecah sudah air mata itu semakin deras.

Anin sudah tak tahan memendamnya lagi. Rasa kecewa dan sakit di hati pada sosok Bagas, semakin meluap begitu saja.

“Sshhtt!” Jonan melepas pelukannya, kemudian menangkup wajah Anin dengan kedua tangan. Dua ibu jarinya bergerak-gerak mengusap pipi basah itu. “Jangan menangisi orang seperti itu. Kamu hanya menyiksa diri sendiri kalau seperti ini.”

Anin menatap sendu wajah Jonan. Wajah Jonan terlihat tampan dan penuh kasih sayang. Andai saja ini Bagas? Ah, Bagas tidak mungkin seperti ini. Anin kemudian mengerjapkan matanya beberapa detik, sebelum akhirnya tersadar kalau memang pria yang saat ini sedang menenangkan dirinya bukanlah Bagas. Pria ini tak lain adalah Jonan. Sosok pria yang selama setahun ini selalu menjahili Anin.

***​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status