Share

Suami Anak Mami
Suami Anak Mami
Author: Desy Relistia

1. Aku, Suamiku, dan Ibu Mertua

"Apa mas? Kembali ke rumah ibu?" tanyaku setengah hati, berusaha menyembunyikan nada kesal yang kutahan susah payah.

"Iya, Lin! Ibu katanya nggak tenang kalau kita jauh!"

"Ibu yang nggak tenang atau kamu yang nggak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku agak ketus sebab aku hanya bisa mengeluh dalam hati. Suamiku yang berusia jauh lima tahun diatasku masih saja bergantung pada ibunya bahkan setelah kami punya anak.

"Kok gitu sih, Lin? Kamu nggak sayang sama ibuku, ya?" tanya Reihan sangat kekanak-kanakkan membuat dadaku seketika memanas. "Dia ibu yang melahirkan aku, Lin! Tanpa dia belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu dan nafkahin kamu." cerocosnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibuku? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?"

Aku beristighfar dalam hati. Menahan gejolak di hati yang semakin membara.

"Sabar, Alina, sabar!" gumamku menenangkan dalam hati. Seperti yang sudah-sudah, berdebat dengannya hanya akan menambah telingaku semakin panas dan hatiku bertambah sakit.

"Kok diem aja, sih? Kamu marah? Nggak terima aku nyenengin hati ibuku sendiri?" cetusnya menghakimi.

Kuhela nafas agak kasar dan panjang. Menahan emosi sekuat mungkin agar tidak meledak. Andai Reihan tahu, aku lelah berdebat terus dengannya tentang ibu. Aku juga mulai lelah dengan hidup baruku yang apa-apa di atur sama ibu sebab Reihan tak mampu lepas dari bayang-bayang ibu.

"Bukan begitu, mas! Aku hanya tidak nyaman tinggal di rumah ibu karena kamu tahu sendiri kan, ibu sepertinya masih belum menyukaiku sampai saat ini!" ucapku lirih sambil tertunduk, menyembunyikan dua mataku yang mulai basah.

"Halaah... alasan! Kau saja yang tak pandai mengambil hati ibuku! Wajar lah ibu begitu! Kamu beres-beres rumah aja nggak pernah rapi, masak makanan enak kagak bisa, ngurus anak, ngurus suami juga belum becus! Gimana ibu bisa suka sama kamu kalau kamu begini terus...." ucapnya tanpa rasa bersalah sambil lalu karena ponselnya yang terletak di atas meja berdering.

"Astaghfirullah...!" Aku hanya bisa beristighfar dalam hati sambil memukul pelan dadaku yang terasa kian perih. "Tega sekali kamu, mas!"

Kutatap dari jarak sedikit jauh wajah suamiku yang tengah tersenyum dengan nada riang saat menjawab panggilan dari ibunya. Lukaku rasanya teriris dalam saat melihat Mas Reihan begitu santun dan lembut saat berbicara dengan ibunya namun selalu ketus dan kasar saat berbicara denganku.

Aku selalu merasa asing dengan Mas Reihan. Ternyata dia tidak seperhatian dan selembut saat kami berpacaran dulu. Saking terbutakan oleh perhatiannya, dulu aku sampai memaksa ibuku untuk menerima lamaran darinya meski ibu berterus padaku ia tidak setuju saat itu. Tetapi karena aku terus memaksa, akhirnya ibu merestui demi kebahagiaanku. Mungkin tepatnya, terpaksa merestui.

Mendadak penyesalan yang besar merebak ke seluruh jiwaku. Padahal, aku baru saja merasa lega dan menaruh harapan besar jika Mas Reihan bisa lebih tegas dan mandiri setelah tinggal terpisah dari rumah ibu. Tapi apa sekarang? Belum juga satu bulan, ibu sudah meminta kami pulang dan tinggal satu atap lagi. Payahnya, Mas Reihan tak pernah mampu menolak permintaan ibu! Rasanya perjuanganku tiga tahun membujuk Mas Reihan untuk bisa hidup mandiri sia-sia saja.

"Iya, bu! Malam ini juga kami pulang! Ibu mau dibawakan makanan apa?" tanya Mas Reihan dengan senyum yang lebar.

Rasanya aku ingin menyumpal senyuman lebarnya dengan sekeranjang sampah makanan busuk. Dia saat pergi ke luar, boro-boro ingat membelikan sesuatu untukku. Jangankan bertanya mau dibelikan apa, saat kebetulan sedang pergi berdua pun ia tak pernah bertanya aku sedang ingin makan apa.

"Heh! Ngelamun terus kerjaannya!" ujarnya melemparkan tas baju ke wajahku. "Cepat beresin baju dan barang-barang kita! Kita berangkat ke rumah ibu secepatnya!"

"Kita tinggal di rumah ibu berapa lama, mas?"

"Udah jangan banyak tanya! Beresin aja semuanya!"

"Tapi mas... akuu... lebih suka tinggal disini!" ucapku dengan suara bergetar sambil menangis. Duhai hati, rasanya begitu berat untuk kembali tinggal bersama ibu mertua dan adik iparku yang terang-terangan memusuhiku.

"Udah deh, Lin! Aku capek! Tolong kamu mengalah sedikit demi ibu! Lagian disini tiap habis magrib anak kita Raisa suka nangis terus. Itu artinya dia juga gak betah tinggal disini, Lin!"

"Tapi mas...."

"Cukup, Lin! Pokoknya kamu udah harus selesai packing sebelum Raisa bangun!" perintah Reihan galak dengan mata melotot. "Aku mau periksa mobil dulu!"

Seperti yang sudah-sudah, aku selalu tak berhak untuk punya pilihan.

* * *

"Reihan, anak ibu! Sehat kamu, nak? Ibu rindu, nak!" sambut ibu mertua saat kami baru tiba di halaman rumahnya. "Ayo, ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu!" ucapnya sambil memboyongnya masuk dengan semangat, melupakan aku dan cucunya yang terlelap dalam gendonganku.

Aku menghela nafas, berusaha tak terbawa perasaan.

Ku lihat ibu tengah menyuapi Mas Reihan yang makan dengan lahap di meja makan sambil ramai bercerita seperti sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Aku tersenyum melihatnya. Entah aku tersenyum karena apa? Aku juga tak paham dengan perasaanku yang selalu sakit melihatnya seolah ibu tengah menunjukkan padaku jika Reihan adalah anak lelaki satu-satunya miliknya dan kehadiranku dianggap sebagai musuh bahkan pengganggu oleh ibu yang tiba-tiba datang dan ingin mengambilnya dari sisinya.

"Padahal aku ridha, bu, jika Mas Reihan ingin berbakti sama ibu, aku pasti mendukung!" keluhku dalam hati dengan isak tangis. Meski aku bukan orang alim, aku tahu sedikit ilmu jika anak lelaki memang harus terus berbakti mengurus ibunya. Kebanyakan justru yang terjadi adalah, anak perempuan lah yang mengurus ibunya setelah jompo padahal yang bertanggung jawab merawatnya adalah anak lelaki.

"Tetapi cara ibu dan Mas Reihan memperlakukanku seperti ini rasanya seperti menguliti kulitku perlahan! Perih dan menyakitkan!" 

Aku memilih ke kamar, menidurkan Raisa yang masih terlelap dari sore. Sepertinya efek obat demam yang diminumnya membuat tidurnya lebih nyenyak. Apalagi setelah semalaman begadang karena rewel. Lagipula saat tengah berdua dengan Mas Reihan, ibu selalu menatapku sinis seperti terganggu dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka. Bahkan Raisa pun, cucu pertamanya, tak pernah ia tanya apalagi ia raih sekalipun Raisa mendekatinya.

Ibu hanya mengajakku bicara saat merasa perlu untuk menceramahiku jika Mas Reihan mengeluhkan sikapku yang kurang 'sreg' di hatinya atau menegurku saat ibu merasa posisinya di hati anak lelakinya sedikit terancam saat Mas Reihan mulai peduli dengan keinginanku.

Bahkan aku selalu bersedih hati, saat Raisa meminta gendong neneknya yang justru ditepisnya di depan mataku. Ibu hanya mau menggendong dan membujuk Raisa saat aku kewalahan menenangkan tangisnya dan Mas Reihan marah karena istirahatnya terganggu.

"ALINA!!!" Teriak Mas Reihan dari dalam kamarnya membuat jantungku serasa copot saat dirinya membanting pintu dengan keras. "Gak becus banget sih jadi istri!" bentaknya di depan ibu mertuaku yang kini bergegas meraih Raisa yang tengah tantrum hingga berguling-guling di lantai.

Hatiku yang sedang lelah menenangkan tangis dan amarah anaku sendirian setelah semalaman begadang karena anaku tengah sakit demam, rasanya bertambah hancur berkeping-keping. Harga diriku pun di depan ibu mertua semakin menyusut setelah suamiku mati-matian menyudutkanku dengan suara tinggi dan memuji-muji ibunya yang pandai menghentikan tangisan Raisa dalam sekejap.

"Tuh lihat, Raisa langsung tenang kan di gendong ibu? Gak nangis lagi, kan? Itu ibu bisa nenangin cucunya dengan gampang. Kamu aja yang gak becus jadi ibu, gak becus jadi istri! Nenangin tangisan anak aja gak bisa, bikin suaminya senang bisa tidur nyaman aja gak bisa!"

Ku tundukkan kepala dalam-dalam, menyembunyikan isak tangis yang tak lagi mampu kusembunyikan. "Andai kamu tahu, mas! Raisa tenang di gendong ibu, karena itu keinginannya dari dulu, mas. Dia ingin di gendong neneknya makanya ia cari perhatian sampai seperti ini. Karena insting kecil Raisa tahu, neneknya hanya mau menggendongnya di saat seperti ini."

Ku lirik sekilas wajah ibu yang kini sibuk mengoceh, menenangkan Raisa dalam gendongannya. Senyum sebelahnya tampak merekah dengan jelas saat menatapku dengan tatapan remeh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status