Share

4. Sumber Kekuatanku

"Maaf, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak rumah!"

Duniaku rasanya runtuh seketika. Aku bahkan enggan memandang wajah Mas Reihan yang tak pernah mampu berkutik, menolak keinginan ibu.

"Kamu nggak keberatan kan, Lin?"

Aku tidak menjawab. "Tentu saja aku keberatan!" gerutuku dalam hati.

"Lin, kamu marah? Kok diem aja, sih?"

Aku yang sedari tadi mengacuhkannya akhirnya kesal dengan pertanyaannya yang tak kunjung peka dengan perasaanku.

"Kamu maunya aku gimana, mas? Senyum? Berterimakasih tinggal lebih lama disini? Kamu lihat dan dengar sendiri kan gimana bencinya ibu sama aku? Apa kamu pikir aku baik-baik aja mas setelah mendengar semua teriakan ibu tentang aku bahkan juga ibuku?" cerocosku panjang lebar. Jangan salahkan aku, mas! Kamu sendiri yang memaksaku bicara!

"Loh, kok, jadi kamu yang nge-gas, sih?" seru Mas Reihan tak terima aku berteriak dengan ketus kepadaya.

"Aku sama ibuku memang miskin, mas! Gak sederajat sama keluarga kamu! Tapi ibuku gak pernah mengemis atau menuntutmu kan? Bahkan dia tidak pernah ikut campur masalah rumah tangga kita. Ibu bahkan tak berani menyampaikan keinginannya padamu, mas, saat rindu dan ingin bertemu denganku dan ingin aku menjenguknya! Tidak seperti ibumu yang selalu ikut campur dalam segala hal bahkan mengatur setiap hal kecil dalam urusan rumah tangga kita. Kamu sadar gak sih, mas?"

"Pelankan suaramu, Lin! Aku tak suka kamu berteriak kepadaku!" bentak Mas Reihan, di luar dugaanku. Bukannya menghiburku yang tengah terluka, Mas Reihan justru menambah beban di hatiku dengan memarahiku.

"Ya sudah, mas! Kamu nggak perlu bertanya apapun lagi sama aku! Aku memang gak pernah punya hak untuk mengutarakan perasaanku disini!" teriakku kesal sambil menangis.

"Apa maksud kamu terus berteriak kepadaku, hah?" tanya Mas Reihan geram hingga mendorong tubuhku ke dinding dan mencengkeram leherku kuat-kuat.

"Mas!" lirihku dengan mata terbelalak karena sesak.

Mas Reihan akhirnya melepaskanku dengan seruan kasar lalu pergi meninggalkan kamar setelah melemparkan gelas hingga pecah dan membanting pintu dengan keras, membuatku tertegun sedikit takut. Raisa bahkan terbangun karena kaget hingga ia menangis.

Mas Reihan benar-benar tak peduli dengan air mataku dan juga air mata anaknya.

Aku kembali nelangsa memikirkan sikap Mas Reihan dan juga ibu mertuaku. Selama ini, aku memang selalu diam tertunduk saat disalahkan. Tapi kali ini aku sudah lelah dan tak tahan harus menahan lebih banyak lagi beban dihatiku yang sudah terlampau penuh.

* * *

Rasanya hidupku semakin tak bergairah. Bi Irah bahkan mengatakan tubuhku semakin kurus dan wajahku semakin pucat. Beruntung, aku punya Raisa yang menjadi sumber kekuatanku untuk terus bertahan menyambung hidup meski batinku terus tersiksa.

Jika tidak ada Raisa, sepertinya hidupku hampa. Mungkin benar yang dikatakan Rena, aku "si putri lilin". Hidup sendirian di tengah kegelapan. Membiarkan waktu terus mengikis usiaku dalam kepahitan. Aku tak mampu menemukan kehidupan lain selain terus-menerus tersiksa dengan membakar diriku sendiri.

Aku menangis sendirian di dapur. Ibu baru saja berangkat ke pengajian setelah merampas milikku yang berharga tanpa rasa bersalah.

"Kamu harus tahu diri, Alina! Reihan itu anak lelaki. Meskipun sudah punya istri, anak lelaki tetap milik ibunya termasuk hartanya sebab selama ibunya masih hidup, anak lelaki bertanggung jawab untuk merawatnya dan membuatnya bahagia. Jadi, sebelum Reihan beliin kamu perhiasan. Dia wajib membelikan untuk ibunya dulu. Jadi satu set perhiasan ini seharusnya milik ibu!"

Aku terkejut mendengarnya. Aku bahkan tidak tahu Mas Reihan membeli satu set perhiasan.

"Gimana cantik kan kalung ibu?" tanyanya menunjukkan kalung berbandul bintang yang indah, kalung yang cantik yang gambarnya pernah kutunjukkan kepada Mas Reihan dulu. Ternyata Mas Reihan masih mengingatnya. Dulu, ia pernah berjanji untuk menghadiahiku kalung bintang tersebut di hari ulang tahunku.

"Ba... bagaimana kalung itu bisa ada di tangan ibu?"

"Reihan cerita mau beliin kamu kalung dan minta antar ibu ke toko emas. Tapi ibu berubah pikiran untuk merahasiakannya darimu sebagai kejutan. Ibu menyukai kalung ini dan kalung ini jadi milik ibu!"

"Tapi, bu! Mas Reihan kan beli itu untuk aku!"

"Oh, jadi kamu nggak mau bikin ibu mertuamu bahagia, hah? Kamu kan bisa minta dia beliin yang baru!"

"Bu! Cukup, bu! Aku sudah lelah dengan semua ini!" teriakku di luar kendali.

Ibu menangis sesenggukan saat tahu Mas Reihan baru saja pulang dan langsung mengadu.

"Reihan, lihat istrimu!" adu ibu sok paling menderita. "Dia membentak ibu karena gak mau berbagi perhiasan yang kamu beliin dengan ibu!"

"Alina! Tolonglah, mengalah demi ibu!" pinta Mas Reihan membuatku muak.

"Baik, bu! Silakan ambil semuanya untuk ibu!" jawabku dengan kesal.

Wajah akting ibu yang tengah menangis berubah sumringah.

"Jangan semuanya, bu! Kasih ke Alina yang Alina suka!"

"Aku minta kalungnya saja, bu!"

"Jangan kalung! Ini aja gelang buat kamu, Lin! Biar tangan kamu tambah cantik pakai gelang ini!" ucap ibu sambil lalu setelah menyerahkan gelang emas berbentuk rantai kecil dengan hiasan bintang di atas meja.

Setelah mengamankan perhiasannya, ibu kembali dan pamit untuk pergi menigisi pengajian.

"Maaf, ya, Lin! Kalungnya diminta ibu! Nanti aku belikan yang baru!"

Aku menangis tersedu di hadapannya sambil membisu. Bukan itu masalahnya tapi percuma menjawabnya. Seperti yang sudah-sudah, setiap aku berdebat dengan ibu, Mas Reihan tak pernah membelaku meskipun jelas-jelas aku yang selalu menjadi korban disini.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Reihan izin ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

"Aku mandi dulu ya, Lin! Udah lengket banget badan aku! Kamu siap-siap ya, kita makan malam di luar!"

Aku hanya bisa menangis sendirian di dapur. Meratapi nasibku yang entah kapan bisa terlepas dari bayang-bayang ibu mertuaku yang terang-terangan memusuhiku.

"Mama! Mamaa!" teriak Raisa menyadarkanku untuk tetap tersenyum.

"Mama nangis lagi?" tanyanya lugu dengan kening berkerut.

"Nggak, sayang! Mama kelilipan tadi! Jadi mata mama perih sampai berair!" ucapku pilu dengan tetap tersenyum.

Raisa tiba-tiba memelukku hingga air mataku tumpah bertambah deras.

"Raisa peluk mama, biar mamah sembuh, gak perih lagi matanya!" celotehnya dengan riang dalam pelukanku.

Aku buru-buru menghapus air mata saat tubuh kecil kesayanganku melepaskan pelukannya. "Pantas mama lama sekali bikinin susunya! Mama matanya perih ya, sakit?" ujarnya dengan lucu membuatku terkekeh.

"Raisa mau bantuin mama bikinin susu punya Raisa?"

Matanya yang bulat, membola dengan lebar pertanda antusias. Raisa lalu belajar menuangkan air ke dalam cangkir dan juga menyendokkan susu bubuk ke dalam cangkirnya. Ia tampak kaget saat tak sengaja menumpahkan susunya hingga berceceran di meja. Ia menatapku dengan tatapan khawatir, takut jika aku akan memarahinya.

"Gak apa-apa sayang, mama tahu kamu gak sengaja tumpahin susunya!" ucapku lembut sambil tersenyum.

Raisa pun tersenyum riang, merasa lega. Ia lalu tak sabar ingin merebut sendok yang kupegang untuk mengaduk susunya sendiri.

"Emh, enak, mama!"

"Wah, Raisa pinter udah bisa bikin susu sendiri!" pujiku sambil mengusap kepalanya dengan bangga.

"Terima kasih, mama! Raisa sayang mama!" ucapnya tulus sambil mencium pipiku.

Aku pun tersenyum kepadanya. Mendadak suhu hatiku yang panas terbakar amarah, berubah sejuk seketika dengan satu kecupan tulus dari anakku.

"Oh, Allah! Terima kasih atas hadiah terindah yang kau titipkan padaku! Aku berjanji akan merawatnya dengan penuh cinta sebagai rasa syukurku kepadaMu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status