Share

Bab 2

Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!

Part 2

"Jika kau merasa aku boros, hidup foya-foya dengan uang sejutamu itu, silakan atur sendiri uangmu, Mas!"

Aku langsung berlalu pergi meninggalkan Mas Rudi yang berdiri di ruang tamu.

"Selalu seperti itu! Saat suami ngasih masukan, main nyelonong pergi begitu saja!" Masih terdengar dengan jelas suara Mas Rudi hingga aku sudah meninggalkan ruang tamu.

Saat aku melangkah menuju dapur, aku berpapasan dengan ibu mertua yang baru saja keluar dari kamar. Ibu menatapku dengan kening yang berkerut, sedangkan aku hanya melirik sekilas dan melanjutkan langkah.

"Kenapa suamimu malam-malam teriak-teriak?" Ucapan Ibu seketika membuat langkahku terhenti. Aku memutar, menatap Ibu yang memasang wajah bingung.

"Bukankah itu sudah menjadi kebiasaan Mas Rudi, Bu? Kenapa Ibu seperti terheran?" jawabku santai.

Terlihat perempuan paruh baya berdaster bunga-bunga dengan lengan panjang itu memainkan bibirnya. Pertanda tak suka.

"Sebagai istri yang baik itu, mbok ya bikin hati suami tenang. Jangan banyak tingkah biar suamimu nggak marah-marah terus."

Aku mend*sah pelan, tanpa menjawab ucapan Ibu aku kembali memutar tubuh lalu melangkah pergi menuju ke dapur.

Begitu aku sampai di meja makan, kubuka tudung saji dan hanya terlihat satu baskom nasi yang kumasak tadi pagi.

Kuhenyakkan tubuhku di kursi yang mengelilingi meja makan. Kusandarkan tubuhku sembari memikirkan makanan apa yang kuolah untuk makan malam kali ini.

Selang sepuluh menit kemudian, suara derap langkah mendekat ke arahku.

"Nika, kata Rudi, besok dia berangkat lebih pagi. Jangan lupa masak makanan untuk sarapan. Ingat! Istri yang baik harus memenuhi dan menyediakan semua kebutuhan suami."

Aku menghembuskan napas berat.

Begitulah ibu mertuaku, ia selalu menuntutku untuk menjadi sosok istri yang sempurna, tapi ia lupa mengingatkan kewajiban putranya dengan semestinya.

"Iya, Bu, iya. Kenapa ibu kalau ngomong itu selalu begitu sih? Nuntut Nika untuk jadi istri sempurna, tapi kenapa ibu nggak mau kasih tau putra ibu itu agar menjadi seorang suami yang semestinya?" ucapku.

Ibu yang semula berhenti di ambang pintu pembatas antara ruang keluarga dan dapur itu lantas melangkah mendekat ke arahku.

Perempuan paruh baya itu berhenti tepat di sampingku. Aku melirik malas ke arahnya lalu kembali membuang pandanganku ke arah depan.

Sempat tertangkap dengan ekor mataku jika saat ini ibu sedang menatapku tak suka dengan kedua bola mata yang melotot sembari kedua tangan berkacak pinggang.

"Apa maksud kamu bilang gitu?! Kurang apa Rudi denganmu?!" pekik Ibu.

"Sudahlah, Bu. Sudah malam, tidurlah. Jangan emosiii aja terus bisanya. Jika tensi ibu naik terus ibu kena stroke siapa yang mau rawat ibu? Nika?"

Ibu semakin memelototkan kedua bola matanya. Setelahnya terdengar ia menghembuskan napas berat lalu menurunkan kedua tangannya dan berlalu pergi begitu saja.

Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan menuju ke arah kulkas yang entah masih ada apa saja isinya.

Begitu aku buka, lagi-lagi aku hanya bisa menghembuskan napas berat.

Tak ada ikan atau lauk apapun. Hanya ada sayur sawi dan sebungkus sayur sop di dalam kulkas tersebut.

Bahkan, sebutir telur pun juga tak ada.

Lantas, apa yang kumasak untuk besok? Belum lagi beras yang hanya tinggal segelas. Apa cukup kalau untuk sarapan tiga orang?

"Nika!" Tubuhku tersentak kaget saat tiba-tiba mendengar suara Mas Rudi. Kuelus dadaku yang terasa berdebar-debar.

Aku menutup pintu kulkas, lalu menolehkan kepala ke arah lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu.

"Kenapa, Mas? Ngajak ribut lagi?"

"Ck, suami datang baik-baik malah kayak gitu!" sungut Mas Rudi.

"Besok aku berangkat pagi, jangan lupa siapkan baju kerjaku."

"Iya, Mas. Tapi maaf sekali, Nika nggak bisa kasih sarapan. Beras habis, tinggal segelas saja. Stok lauk juga habis semuanya."

Pandangan Mas Rudi beralih pada meja makan. Ia menggeser tubuhnya, diraihnya tudung saji dan diangkatnya.

"Ini kan ada nasi, bisa dijadikan nasi goreng kan?! Kagak basi juga nasinya. Selagi bisa dimakan, ya olah lagi. Kalau masih sisa terus kamu buang, rugi bandar, Nika!" ucap Mas rudi sembari mengunyah sedikit nasi yang baru saja ia masukkan ke dalam mulutnya.

Seketika aku teringat bahan makanan apa saja yang masih tersedia di dapur ini.

"Mas mau nasi goreng seafood?" Wajah yang semula tertekuk itu kini berbinar.

"Kalau mau, besok kumasakin nasi goreng seafood. Soalnya telur juga habis."

"Nah, ituh! Masih punya stok seafood! Apa jangan-jangan selama ini kamu stok ikan, udang dan lainnya hanya untuk mengenyangkan perutmu sendiri?! Kamu berikan aku dan ibuku tiap hari tempe goreng, tahu goreng, mentok pakek bakwan jagung! Ingat, Nik! Yang nyari uang itu aku, apa pantas kalau kamu bersikap seperti itu?!"

Lagi-lagi aku menghempaskan napas berat. Tanpa menjawab ucapan Mas Rudi, aku melenggang pergi begitu saja.

Sudah kesal, semakin lah dibuat kesal.

Aku melangkah menuju kamar. Kuraih gagang pintu lalu aku menyelinap masuk. Begitu kulewati ambang pintu, kututup kembali daun pintu. Tak lupa aku menguncinya.

Peduli setan dengan Mas Rudi, biarlah dia tidur di sofa atau depan tv.

Aku melangkah menuju sudut kamar yang di sana berdiri sebuah lemari yang dilengkapi kaca besar.

Aku mematut diri di depan cermin. Cekungan di leherku semakin terlihat. Tubuh yang sebelum menikah sedikit berisi, kini terlihat begitu kurus. Bahkan lingkaran hitam mengelilingi kedua mataku.

Beberapa jerawat menghiasi wajahku, ditambah kulit yang begitu kusam. Berbanding terbalik dengan keadaanku sebelum menikah dengan Mas Rudi.

Bagaimana tidak, meskipun keluargaku bukan orang kaya, akan tetapi hasil kerjaku murni untuk mencukupi keperluan pribadiku. Hanya kusisihkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk kuberikan pada ibuku.

Aku meraba kulit wajahku yang terlihat begitu menyedihkan, seketika aku teringat ucapan demi ucapan Mas Rudi sebelum kuterima pinangannya.

"Impianku, setelah menikah kita bisa hidup berdua. Aku pengen kamu selalu menyambut kepulanganku dari tempat kerja. Aku tak ingin kamu capek-capek bekerja. Gajiku lumayan besar, setidaknya sebulan aku bisa bawa pulang tujuh juta, aku yakin uang segitu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah dan untuk biaya perawatan kamu nantinya."

Brak!

Brak!

Brak!

"Nika! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran pintu seketika membuatku kembali dari ingatan masa laluku.

Aku menolehkan kepala, gagang pintu itu bergerak naik turun. Mas Rudi tengah berusaha membuka pintu yang terkunci itu.

"Nika! Buka pintunya!"

Lagi, teriakan suamiku diiringi oleh gedoran pintu kembali memekakkan gendang telinga.

Bergegas aku melangkah menuju ranjang lalu kuhempaskan tubuhku di pembaringan, dan setelahnya kututupi kedua telingaku dengan bantal hingga tak bisa lagi mendengarkan suara teriakan dan gedoran pintu itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Nika malangnya nasibmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status