Share

Bab 4

Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!

Part 4

"Masak apa kamu, Nik?" tanya Ibu mertua. Aku tak menolehkan kepala, pendanganku masih tertuju pada sayur yang sedang kumasak di atas kompor.

"Masak sayur sop, Bu," sahutku tanpa menoleh.

Derap langkah mendekat.

"Masak sayur sop, sambal teri sama goreng ikan enak kayaknya, Nik." Kali ini suara Ibu terdengar dari sampingku. Aku melirik sekilas lalu kembali fokus mengaduk sayur sop yang sebentar lagi siap diangkat.

"Iya, Bu. Enak banget pastinya. Tapi sayangnya bahannya nggak ada sama sekali. Habis!" ucapku penuh penekanan pada akhir kalimat.

"Habis gimana maksud kamu, Nik? Jadi untuk makan siang hanya nasi sama sayur sop aja?" Aku menganggukkan kepala. Membenarkan setiap kata yang diucapkan oleh ibu mertua.

"Mana bisa ketelen, Nikaa ...." Ibu menyebut namaku dengan nada panjang dan penuh kegeraman.

"Kamu tau sendiri kan kalau ibu nggak bisa makan kalau nggak pedes? Kamu ini gimana sih?!" sungut Ibu. Dari nada suaranya, terdengar sekali sedang kesal.

"Lah mau gimana lagi, Bu. Semuanya habis. Mas Rudi kumintai uang belanja juga nggak dikasih. Di kulkas adanya sayur sop, ya aku masak ini."

"Ya jelas nggak dikasih, lah! Orang kamu udah dikasih uang belanja di awal bulan. Salah kamu sendiri nggak becus atur keuangan! Mbok ya tau diri dong, Nik, jadi orang! Yang kerja itu cuma suami kamu! Mau sampai kapan kamu habis-habiskan hasil jerih payah suamimu?! Kamu juga perlu nabung buat biaya lahiran nanti, Nik. Kapan punya tabungannya kalau tiap dikasih duit selalu habis? Suamimu juga perlu sedikit bernapas, jangan kamu cek*k dia dengan keborosanmu itu!" cerocos ibu mertua.

Andai menganiaya orangtua tak dosa, pasti sudah kuletakkan sendok sayur yang panas ini ke mulutnya yang asal bicara.

Astaghfirullah!

Astaghfirullah!

Ibu dan anak sama saja. Setiap tutur katanya membuatku kesal dan murka.

Aku tak menggubris ucapan Ibu mertua. Kutuang sayur sop yang ada di panci ke dalam mangkok sayur dan kuletakkan di atas meja.

"Diajak bicara malah diem saja. Apa mulutmu itu nggak bisa bicara?!" sungut Ibu.

Aku yang sedang mencuci bekas peralatan memasak pun lantas menghentikan aktifitas. Kutolehkan kepala ke arah ibu.

Sebenarnya aku ingin diam, bukan karena takut. Akan tetapi aku sadar betul bagaimana perangaiku. Aku, jika ada orang yang membuatku kesal dan sakit hati, setiap ucapan yang keluar dari mulutku pasti tajam. Bahkan aku yakin akan menciptakan goresan luka di hati.

"Bu, nggak becus atur uang gimana? Sebulan aku hanya kebagian sejuta buat memenuhi kebutuhan rumah. Apa menurut Ibu uang segitu cukup, Bu? Ibu tau sendiri kan kalau hidup di kota itu serba mahal. Cabe aja sekilo harganya seratus ribu. Itu hanya cabe, belum bahan-bahan lainnya. Belum beli beras, kebutuhan buat mandi, nyuci dan lainnya. Apa ibu pikir jika barang itu akan tersedia dengan sekali kedipan saja?" ucapku dengan nada setenang mungkin tapi mampu membuat ibu membelalakkan kedua bola matanya.

Kuletakkan peralatan dapur yang sudah kucuci ke tempatnya sembari berkata,"Ya kali, Bu, kalau Mas Rudi ngasih uang belanja yang banyak. Ini cuma kasih segitu buat belanja bulanan tapi suruh nabung juga. Cukup buat kebutuhan aja udah syukur."

Ibu semakin menatapku tak suka.

Biarlah, kadang kejujuran dan ucapan menohok seperti ini bisa menyadarkan seseorang.

"Nika juga pengen nabung, Bu. Tapi apa yang harus Nika tabung? Selama ini duit selalu habis bukan karena Nika boros atau nggak bisa atur keuangan. Tapi emang nggak ada yang bisa diatur, Bu."

Aku langsung berlalu meninggalkan ibu yang semakin tak terima dengan ucapanku.

Selepas selesai memasak, bergegas aku menuju kamar. Aku melangkah menuju ke arah ranjang setelah memastikan pintu kamar sudah terkunci dengan sempurna.

Kuraih ponsel yang kuletakkan di atas meja lalu kuhenyakkan tubuhku di ranjang.

Aku duduk dengan posisi bersila sembari kusandarkan punggungku di tembok kamar. Jemariku mulai mengutak-atik layar ponsel.

Aku membuka aplikasi yang kugunakan untuk mengetik karya tulisanku.

Ya, sudah enam bulan aku berkecimpung di dunia tulis menulis.

Aku menulis karangan lalu aku terbitkan di aplikasi novel online. Itu lah pekerjaanku setiap harinya untuk mengisi hari-hariku.

Dari menulis, setiap bulan setidaknya aku bisa menghasilkan lima ratus ribu rupiah. Rata-rata nominal segitu yang bisa kunikmati setiap bulannya. Hanya saja uang itu kugunakan dan selalu habis untuk menutupi kebutuhan rumah. Tentu hal itu tanpa sepengetahuan Mas Rudi dan juga ibunya.

Masih teringat dengan jelas awal mula aku memutuskan untuk memulai belajar menulis. Semua itu berawal karena aku suka sekali membaca novel online di salah satu aplikasi, dan kebetulan sekali aku gabung di salah satu grup komunitas menulis di salah satu sosial media yang bernama f*cebook.

Dari sana aku menjadi tau kalau menulis bisa menghasilkan. Kebetulan juga saat itu aku membaca postingan seorang penulis senior di salah satu aplikasi baca novel online membuka kelas menulis.

Akhirnya aku memutuskan untuk ikut gabung di kelas tersebut. Untunglah biaya masuknya tak mahal, hanya seratus ribu rupiah. Akan tetapi, untuk membayar biaya masuk itu aku meminjam pada adik semata wayangku.

Selain itu, ada satu hal yang membulatkan tekadku, yaitu memiliki suami yang sangat pelit dan perhitungan. Ditambah uang bulanan yang selalu habis dan Mas Rudi selalu bersikap tak suka jika aku meminta uang di akhir bulan. Padhaal uang itu nanti juga ujung-ujungnya masuk ke dalam perutnya.

Saat itu aku berfikir, tak mungkin aku mengandalkan suami langka seperti itu.

Meskipun selama ini penghasilanku masih tergolong kecil, tapi hal itu sama sekali tak menyurutkan semangatku. Aku yakin, aku percaya jika semua perlu proses.

Tak mungkin baru usaha, tapi langsung mendapatkan hasil yang maksimal. Pasti ada yang seperti itu, tapi tak semuanya.

Aku mulai menulis, baru dapat beberapa kata sudah terhenti. Ini lah yang tidak aku suka, di setiap otakku dipenuhi beban pikiran, maka otak ini tak sanggup berpikir dengan semestinya.

Akhirnya kuputuskan untuk menutup aplikasi tersebut lalu beralih membuka aplikasi baca novel online. Aku mulai membaca satu per satu setiap komentar para pembaca yang tak hentinya menyemangatiku.

Ya, sebegitu berpengaruhlah komentar mereka. Dan cara ampuh ini selalu aku gunakan.

Setiap diri ini malas menulis, kubaca satu per satu komentar mereka, dan setelahnya semangat akan kembali untuk menghibur mereka.

Aku tersenyum samar saat melihat hasil pencapaianku bulan ini. Hampir satu juta!

Akan kupastikan jika hasilku menulis bulan ini untuk mencukupi kebutuhanku sendiri dan menyenangkan diriku seorang diri. Tak sudi lagi rasanya kugunakan uangku untuk menambah uang belanja setiap harinya.

Sesekali membahagiakan diri juga perlu demi kawarasan pikiranku.

Saat aku mulai mengetik, tiba-tiba aku mencium aroma ikan goreng. Aku mengendus.

Ya, tak salah lagi. Sepertinya ibu sedang memasak menu tambahan untuk makan siang kali ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ya Allah itu suami dan mertua sama sama rese
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status