Share

Bab 4

"Kau bilang Laura memiliki kekasih?" tanya Gino begitu David tiba di apartemen dan laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia duduk di samping David meminta jawaban dari pertanyaan itu. "Laura tidak mungkin mencintai orang lain." ucap Gino yakin.

"Aku hanya mendengarnya sekilas saat mereka berbicara di telepon. Gino, kau menyukainya. Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkannya bersama orang lain."

"Aku tidak bisa. Maksudku," Gino menahan kalimatnya lalu bangkit dari duduknya. "Lupakan saja. Aku keluar sebentar mencari udara segar."

Hujan masih menyisakan gerimis, Gino mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Dia tidak mempercayai ucapan David. Namun, Gino merasa terganggu mendengar Laura memiliki kekasih. Gadis itu tidak mungkin menyukai orang lain. Mereka memiliki banyak kenangan bersama masa-masa sekolah yang tidak terlupakan. Dan mereka memiliki perasaan yang sama hanya saja Gino tidak pernah mengatakannya.

Apakah dia sudah terlambat?

Gino menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Perutnya berbunyi pertanda meminta segera diisi makanan. Gino memesan pizza dan cheesecake sebagai makanan penutup. Dia tidak menyukai makanan manis. Namun, malam itu Gino ingin sekali merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin karena suasana hatinya yang buruk menyebabkan seleranya berubah.

Pesanan datang, Gino menyantap makanannya dalam diam sesekali mengawasi suasana di restoran itu. Tidak banyak pengunjung yang datang. Gino mengamati laki-laki yang berada tidak jauh darinya. Laki-laki itu tampak muram seolah memiliki beban berat. Gino meletakkan makanannya, urung menyantap cheesecake ketika melihat laki-laki itu kesulitan untuk berdiri. Tidak ada orang lain yang membantunya. Merasa iba, Gino mendekati laki-laki itu.

"Apakah anda baik-baik saja?" tanya Gino cemas.

Tidak ada jawaban, samar-samar Gino mencium aroma alkohol. Laki-laki itu mabuk dan di meja tergeletak beberapa botol wine yang kosong. Gino tidak menyukai aroma alkohol. Namun, tidak bisa membiarkan laki-laki itu berada di sana. Setelah membayar makanannya, Gino membawa laki-laki itu ke dalam mobilnya dan memutuskan membawanya ke apartemen. Gino berdoa dalam hati semoga laki-laki itu bukan psikopat. Akhir-akhir ini dia suka sekali berkhayal.

"Gino kenapa kau membawa orang asing?"

Gino hampir menjatuhkan laki-laki itu di lantai mendengar pertanyaan David sesaat setelah dia tiba di apartemen. Dengan hati-hati Gino meletakkan laki-laki itu di sofa. Dia melepas pakaiannya, aroma alkohol itu juga menempel di tubuhnya. Gino tidak menyukai aroma itu

"Gino, kau menjadi homo setelah Laura memiliki kekasih!" teriak David panik lalu menjauhi Gino.

"Aku bertemu dengannya di restoran. Dia mabuk dan aku tidak tega membiarkannya sendiri. David, jangan meracau aku masih normal." ucap Gino.

"Baguslah." David mengusap dadanya disertai napas lega.

"Kau bertugas mengantarnya. Jangan sampai Laura melihat ada orang lain di tempat ini." ucap Gino.

"Laki-laki itu sangat tampan. Menurutmu apa yang menyebabkan dia mabuk dan kehilangan kesadaran?" tanya David penasaran.

"Jangan ikut campur urusan orang lain. David, kau jaga dia. Aku mandi sebentar." ucap Gino lalu masuk kedalam kamarnya.

Sepuluh menit kemudian Gino kembali ke ruang tamu dan melihat David sudah terlelap. Teman yang tidak bisa diandalkan. Gino mengambil selimut lalu menyelimuti David dan laki-laki itu. Dia mematikan lampu ruang tamu lalu masuk ke dalam kamarnya. Keheningan di kamar itu menyebabkan kerinduannya pada Laura memuncak. Lesung pipi ketika Laura tersenyum membuatnya semakin menarik.

Dan Gino sangat merindukan senyuman itu.

"Kamu nggak mungkin suka sama orang lain La." ucap Gino lirih.

Kepercayaan diri itu bukan tanpa alasan. Gino yakin jika perasaan Laura tidak berubah. Gadis kecil yang selalu mengikutinya kemana pun, Gino sangat mengenalnya. Alasan dia datang ke New York hanya untuk mencari Laura. Menolak bekerja di Indonesia dan bertengkar hebat dengan kedua orangtuanya. Gino tidak pernah menyesalinya. Dia mulai jatuh cinta pada keramaian New York. Menjunjung tinggi prinsip tidak boleh terpengaruh pergaulan bebas. Menghindari alkohol dan obat-obatan terlarang. Selama dua tahun ini Gino berhasil melewatinya. Namun, saat melihat Laura sesuatu yang menjadi prinsipnya tiba-tiba berubah. Gino ingin sekali membawa Laura dalam pelukannya, mengingat selama ini, dia tidak pernah memeluk gadis itu. Membiarkan perasaannya memiliki dinding pemisah.

Seandainya waktu berbaik hati membawanya kembali pada lima tahun silam. Gino tidak akan membiarkan Laura pergi dengan penuh luka.

***

Bunyi bel membangunkan Laura dari tidurnya. Dia melirik jam digital di samping tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Dengan langkah berat, Laura membuka pintu dan melihat Mario berdiri di sana. Perasaan bersalah itu merasukinya, Laura tidak bisa melihat raut wajah Mario yang kecewa. Dia membiarkan Mario masuk ke dalam apartemen dan mengikuti laki-laki itu menuju dapur. Setelah sikapnya semalam, Mario masih bersikap seperti biasanya. Menyiapkan sarapan sebelum Laura bangun. Dan Laura tidak pernah menghargai perlakuan itu.

"Mario aku minta maaf."

Mario mengehentikan kegiatannya lalu menatap Laura. Dia terkejut melihat Laura menangis. "Lala, apa yang terjadi?" tanya Mario panik lalu memeluk gadis itu.

"Maaf atas sikapku semalam. Mario, aku sungguh minta maaf." ucap Laura. Air matanya menetes semakin deras.

"Aku yang salah. Lain kali aku akan memperhatikan emosimu. Aku mengabaikan suasana hatimu karena kecemasanku yang berlebihan. Lala, jangan menangis."

Ucapan lembut Mario membuatnya semakin menangis. Laura cemas ketika Mario meninggalkan apartemen dan dia segera menghubungi Jason. Dan Jason mengatakan Mario tidak menginap di sana. Laura tahu, Mario akan melampiaskan kekecewaannya dengan alkohol. Laura bisa mencium aroma alkohol yang kuat dari tubuh Mario.

"Lala aku minta maaf. Sudah, jangan menangis. Lain kali aku tidak akan meminta orang mengikutimu." ucap Mario mengusap air mata di wajah Laura. "Aku siapakan sarapan sebentar. Kau tunggu di meja makan."

Laura mengangguk dan memperhatikan Mario yang sibuk di dapur. Meskipun pengaruh alkohol itu belum sepenuhnya hilang. Mario bersikeras untuk membuatkan sarapan. Sandwich dengan potongan stroberi itu terlihat lezat. Tidak lupa susu putih kesukaan Laura. Mario menarik kursi lalu duduk di sampingnya.

"Makan yang banyak semalam kau tidak makan apa pun." ucap Mario.

"Semalam kau tidur di mana?" tanya Laura.

"Ada orang baik yang membawaku ke apartemennya. Dia juga memasak sup pereda mabuk. Setelah itu meminta temannya mengantarku pulang. Laki-laki yang sangat baik, aku tidak sempat menanyakan namanya. Maaf, aku membuatmu cemas Jason pasti mencariku semalaman." ucap Mario menyesal.

"Mario Kau tidak boleh mempercayai orang asing begitu saja." ucap Laura serius.

"Jangan khawatir sayang. Dia orang yang baik."

Tidak biasanya Mario memuji kebaikan orang lain. Namun, Laura tidak ingin bertanya lebih lanjut. Siapa pun orang itu, Laura mengucapkan terimakasih dalam hati sudah membantu Mario dan menghilangkan kecemasannya. Laura menghabiskan sarapannya lalu mencuci piringnya. Dia mengangguk sekilas ketika Mario masuk ke dalam kamarnya. Ponselnya berbunyi sesaat setelah Laura selesai mengeringkan tangan. Nama Lucy muncul di layar. Laura hampir melupakan perbuatan Lucy. Setelah kembali ke New York, dia akan memberi pelajaran kepada perempuan itu.

"Jason bilang kau mencari Mario ke rumah sakit. Kau pasti cemas tentang kakakku."

"Kau masih memiliki nyali membicarakan hal itu?" tanya Laura menahan amarahnya.

"Hei Lala, jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda, aku ini sahabatmu melakukan sesuatu juga demi kebaikanmu. Kau ini sungguh orang yang kaku."

"Aku heran gadis sepertimu bisa memikat Jason yang tenang itu." ucap Laura dengan nada mengejek.

"Jason selalu mencintaiku. Kami saling mengenal sejak kecil. Lala, cinta pertama itu tidak mudah tergantikan. Jangan salahkan aku kalau Jason sangat menyukaiku."

Cinta pertama?

Laura menelan ludahnya susah payah. Dia tidak mendengar kalimat Lucy selanjutnya. Pikirannya melayang entah kemana hingga Mario memeluknya dari belakang. Laura hampir menjatuhkan ponselnya bersamaan dengan teriakan Lucy dari seberang.

"Lala kau tidak mendengarku dan bermesraan dengan Mario. Kau anggap aku radio rusak ya?!"

Laura menjauhkan ponselnya dari telinga membiarkan Lucy meluapkan kekesalannya. Seharusnya dia yang kesal karena perbuatan Lucy semalam. Namun, mengingat karakter Lucy, Laura tidak ingin berdebat. Beberapa saat kemudian, Lucy mulai tenang. Laura bisa mendengar hembusan napas Lucy dari seberang.

"Ibu memiliki pemikiran yang kolot dan tidak mengizinkan aku menikah sebelum Mario menikah. Lala, aku ingin kau memikirkan hal ini. Bagaimanapun ini menyangkut tentang masa depanku. Jason tidak bisa menunggu lebih lama. Mario terlalu keras pada hubungan kami. Lala, aku tahu kau takut dengan pernikahan, tapi kau tidak bisa terus melajang dan membiarkan Mario menunggumu. Aku membahas hal ini karena ibu mendesakku. Dia tidak berani meminta Mario, itu sebabnya ibu menggangguku. Lala, tolong pikirkan masalah ini baik-baik. Aku tutup dulu ya, aku masih ada pekerjaan."

Laura menggenggam erat ponselnya. Lucy tidak pernah membahas masalah pernikahan. Jika orangtua Mario terlibat maka Laura tidak bisa terus menghindar. Namun, pernikahan itu seperti mimpi buruk yang berusaha Laura hindari.

"Abaikan saja ucapan Lucy. Aku akan membahas masalah ini pada ibu." ucap Mario serius.

"Mario, apakah kau sangat ingin menikah?"

"Menikah atau tidak, selama kau ada di sampingku. Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu yang menjadi ketakutan terbesarmu. Kau tidak boleh sedih karena hal itu. Lala, aku sudah bersiap. Sebaiknya kau mandi, hari ini kita akan ke rumah tepi danau. Cepatlah sebelum hujan turun."

Laura hampir melupakan akhir pekan yang ditunggunya sejak lama. Rumah tepi danau menjadi tempat yang paling dia rindukan. Bukan karena tempat itu terpencil. Melainkan keheningan di rumah itu yang membuatnya merindukan kampung halamannya. Sudah lama, Laura tidak mendengar kabar apa pun dari keluarganya. Dia menghindari semua hal yang berkaitan dengan masa lalu. Terdengar kekanakan dan Laura mengakuinya.

"Lala, aku membawa sebagian pekerjaanku. Mungkin aku sedikit sibuk dan tidak bisa menemanimu memancing."

Laura menoleh ke samping. Dia tidak keberatan dengan kesibukan Mario, lagipula tempat itu cocok untuk mendapatkan inspirasi. "Kau dikejar deadline?" tanya Laura.

"Sutradara memintaku segera menyelesaikan skenario. Syuting film sebentar lagi dimulai dan aku belum menyelesaikan naskahnya."

"Maaf aku tidak bisa membantu,"

"Kau ada di sampingku itu sudah cukup. Lala, kau adalah sumber inspirasiku." ucap Mario mengusap rambut Laura.

"Menjadi penulis kau pasti kesulitan dan suasana hatimu tidak baik. Mario aku minta maaf dan tentang pernikahan itu, aku akan memikirkannya."

"Tidak apa-apa. Aku akan membujuk ibu. Lucy bisa menikah lebih dulu, tidak ada aturan untuk itu, ibu hanya terbiasa dengan pemikiran kuno."

"Bukan karena Lucy, tapi karena kau sangat ingin menikah dan aku sudah menolakmu berkali-kali. Mario beri aku waktu untuk meyakinkan diri. Bagaimanapun aku pernah," Laura menahan kalimatnya.

"Lala kau bicara panjang lebar hari ini hanya karena Lucy. Saat dia kembali, aku akan membahas masalah ini pada ibu. Dia pasti mengerti."

Laura mengangguk. Dia tahu Mario menghiburnya, sebenarnya laki-laki itu juga terbebani dengan masalah Lucy. Mungkin sudah saatnya bagi Laura menyingkirkan ketakutannya akan sebuah pernikahan. Dia tidak bisa berada dalam masa lalu. Mengabaikan masa depan yang terus menunggunya.

"Mario, aku ingin bertemu ibumu."

***

Semula Laura mengira Mario akan bahagia mendengar ucapannya. Namun, setelah Laura mengatakan ingin bertemu orang tua Mario. Laki-laki itu tampak diam dan berusaha untuk menghindari percakapan itu. Tidak biasanya namun Laura tidak ingin bertanya mengapa Mario enggan membahas hal itu. Selama menjadi kekasihnya, Mario nyaris tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Laki-laki itu seolah menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Dan Laura sedikit terganggu dengan hal itu.

"Lala?"

Sentuhan halus di pundaknya menyadarkan Laura dari lamunan. Mereka sudah tiba dan Mario telah mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Dia terlalu lama melamun!

"Maaf," ucap Laura lalu membantu Mario membawa barang-barang mereka masuk kedalam rumah.

"Kau selalu melamun. Apa ada seseorang yang kau rindukan?" tanya Mario dengan tatapan menyelidik.

Laura mengabaikan pertanyaan itu dan berpura-pura sibuk memindahkan barang-barangnya. Dia mengeluarkan bahan makanan dan meletakkannya di atas meja makan. Mario membawa banyak sekali bahan makanan. Mereka hanya menginap satu malam dan makanan sebanyak itu tidak mungkin habis dalam satu hari. Laura memasukkan buah ke dalam lemari pendingin kemudian menghampiri Mario yang berada di ruang tengah. Laki-laki itu tampak serius dengan pekerjaannya. Tidak ingin menganggu, Laura memutuskan untuk menghirup udara segar. Dia duduk di tepi danau melihat air danau yang tenang. Angin bertiup menyebabkan udara dingin semakin terasa. Laura urung berenang di musim gugur itu. Dia hanya mencelup sebagian kakinya kedalam air. Memperhatikan bayangan wajahnya dari pantulan air danau.

Ponselnya berbunyi mengalihkan perhatian Laura untuk sesaat. David menghubunginya, Laura lupa mengabari David hari ini tidak bisa datang ke apartemen.

"Laura, kau terlambat satu menit."

Laura mendesah pelan. Mirip sekali dengan nyonya Miranda.

"Aku tidak bekerja hari ini. Maaf," ucap Laura lirih.

"Apa kau sakit?"

"Aku memiliki urusan pribadi. Besok sore baru kembali. David, aku tidak bisa datang ke apartemen selama dua hari ini."

"Baiklah, tapi jangan terkejut saat kau melihat kondisi apartemen yang berantakan. Nikmati waktumu Laura. Aku tidak akan menggangu kalian."

Laura belum membalas ucapan itu ketika David memutuskan sambungan itu. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Laura tidak terlalu peduli. Dia bersyukur David mengerti dan tidak menuntut pekerjaannya seperti orang lain. Gaji yang dia dapatkan dari pekerjaan itu menghemat tenaganya untuk bekerja di tempat lain. Laura memangkas dua pekerjaan paruh waktu setelah bekerja di apartemen milik David. Lain kali, Laura akan bersikap lebih baik pada laki-laki itu.

Suasana tenang di tempat itu menyegarkan pikiran Laura dari ucapan Lucy. Desakan pernikahan itu teratasi dengan suasana nyaman itu. Dia tidak membutuhkan obat untuk beberapa hari ini. Mungkin Mario akan bahagia mendengarnya. Sejak Laura mengidap depresi, ketakutan Mario lebih dari apa pun. Membawanya ke psikiater dan terjaga setiap kali Laura mencoba untuk bunuh diri. Dia bahkan hampir melukai pergelangan tangannya jika Mario tidak mencegahnya. Mengingat masa-masa sulit itu jika bukan karena Mario ada di sampingnya. Mungkin saat ini Laura sudah tenang di alam baka.

Waktu cepat sekali berlalu.

Laura kembali ke rumah dan menemukan Mario tertidur di sofa. Beberapa gumpalan kertas tergeletak di meja. Laura membuang kertas-kertas itu ke tempat sampah kemudian membenarkan posisi tidur Mario. Dia meletakkan kepala Mario di pangkuannya. Sudah lama Laura tidak melakukan hal itu. Dia memperhatikan wajah Mario yang terlelap. Wajah yang tampan dengan sepasang alis tebal. Laura membelai rambut Mario disertai senyum tipis. Dia tidak pernah menyadari kelebihan Mario hanya karena masa lalunya. Ketenangan bersama Mario, Laura tidak akan melewatkannya.

"Aku pernah sakit karena kamu No. Kalau waktu bisa diputar ulang, sejak awal aku lebih memilih nggak ketemu sama kamu. Karena kamu, aku bahkan mengabaikan seseorang sebaik Mario. Lima tahun, aku coba untuk ikhlas. Nyatanya mimpi buruk itu terus datang. Aku nggak bisa lupa sama kejadian itu. Kamu,"

Laura menghentikan kalimatnya ketika ponsel Mario yang berada di atas meja berbunyi. Biasanya Laura akan mengabaikan panggilan itu namun melihat Mario tertidur lelap dan takut membangunkan laki-laki itu. Laura meraih ponsel itu dan melihat nama yang muncul di layar.

Mika?

Dengan hati-hati Laura menempelkan ponsel itu di telinga. Dia menunggu hingga seseorang bernama Mika itu mengeluarkan suara.

"Mario aku tiba di New York. Jason menjemputku, setelah kau menyelesaikan naskahmu. Segera hubungi aku. Aku menunggumu di rumah. Sampaikan salamku untuk Lucy. Bocah kecil itu pasti sudah besar sekarang."

Laura diam, membiarkan Mika terus berbicara. Mario tidak pernah membicarakan tentang Mika. Entah apa hubungan keduanya, Laura seolah menjadi orang ketiga yang tidak mengetahui apa-apa.

"Aku akan berkunjung ke rumah ibumu. Aku dengar dia tinggal di Queens. Sudah lama sekali aku tidak merasakan pai buatannya. Saat waktumu luang, bawa aku ke rumah ibumu."

Laura hanya mendengarkan Mika yang antusias. Cara bicara perempuan itu mirip sekali dengan Lucy. Berapi-api akan sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Mario aku bicara panjang lebar kau hanya diam. Kau ini membuatku kesal. Baiklah, aku akhiri saja. Jangan lupa kau berjanji untuk membawaku ke taman bermain. Aku tunggu kabar darimu."

Sambungan itu berakhir. Laura meletakkan ponsel itu di meja lalu menatap Mario. Apakah Mario juga akan melukainya?

***

Mood Gino semakin memburuk. Bukan karena kasus perceraian yang sedang ditanganinya. Namun, kabar tentang Laura yang menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Setelah David mengabarkan Laura tidak datang ke apartemen dan memilih bersama kekasihnya. Emosi Gino meluap. Dia bangkit dari duduknya mengabaikan kliennya yang masih berada di ruangan itu. Perceraian dan hadirnya orang ketiga, omong kosong itu Gino lelah mendengarnya. Dia meninggalkan gedung perusahaan lalu mengendarai mobilnya melewati jalanan yang padat. Siang itu, jalan macet total. Gino menghempaskan tinjunya pada kemudi mobil. Dia cemburu karena Laura menghabiskan waktu bersama orang lain. Dia tidak rela gadis kecilnya yang polos berubah menjadi orang yang tidak dikenalnya. Gino mengumpat lalu menekan klakson mobilnya. Sebuah mobil tiba-tiba menyalip dan menabrak mobilnya dari sisi kiri. Dia mendengar suara keras dan itu berasal dari mobilnya.

Sialan!

Gino menepikan mobilnya dan hampir terserang penyakit jantung melihat sisi kiri mobilnya tergores, goresan panjang itu menyadarkan Gino. Mobilnya baru saja ditabrak secara brutal. Dia memejamkan matanya untuk meredakan emosinya bersamaan dengan tepukan halus di bahunya.

"Maaf aku tidak sengaja." ucap perempuan itu menyesal.

"Apa kau buta?!" tanya Gino emosi. Dia tidak bisa berteriak menyadari saat ini berada di tempat umum. Meskipun Gino ingin sekali mencekik perempuan itu. "Aku baru membelinya kemarin dan hari ini mobilku cacat!"

"Aku akan mengganti biaya perbaikannya. Maaf, aku tidak bisa menyetir. Aku terpaksa melakukannya untuk menghindari wartawan. Sepupuku berada di toilet dan aku tidak bisa menunggunya. Aku mohon jangan perpanjang masalah ini."

Kerumunan orang membawa kamera membuat perempuan itu panik. Gino menarik perempuan itu masuk ke dalam mobilnya. Akhir-akhir ini kebaikannya meningkat dengan membiarkan orang asing menaiki mobilnya. Setelah laki-laki mabuk malam itu, dia juga membantu perempuan yang bersikap seperti artis. Gino mendengar helaaan napas panjang dari perempuan itu. Dia menoleh ke samping, memperhatikan perempuan itu dengan seksama.

Gino tidak pernah melihatnya. Baik di televisi maupun surat kabar. Jangan-jangan perempuan itu seorang penipu?

"Terimakasih atas bantuanmu. Ambil ini sebagai permintaan maafku."

Gino menatap kartu debit ditangan perempuan itu. "Kau bercanda? Kartu ini tanpa limit. Kau sangat royal." ucap Gino tidak percaya.

"Uang bukan masalah hampir saja reputasiku hancur. Terimakasih tuan tampan semoga di lain waktu kita bertemu lagi."

Gino hanya menatap kepergian perempuan itu. Bunyi klakson di belakangnya menyadarkan Gino dari lamunan. Dia memutuskan kembali ke apartemen, pikirannya yang kacau mungkin David bisa memberikan saran.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status